Wira hannyalah laki-laki biasa, dan terlahir dari keluarga yang sederhana. Wira bisa kuliah kedokteran karna mengandalkan beasiswa. Wira tipikal orang yang tidak banyak neko-neko, selama itu tidak menghambat jalannya dia akan menurut saja. Seperti saat ini Wira terlihat biasa saja, tidak marah atau pun senang saat peringkatnya harus di geser oleh David.
“Lo ngga marah?” tanya Alin.
“Untuk apa?” Wira mengangkat bahunya. “Sama seperti kamu, aku juga ngga rugi. Malah aku beruntung, bisa dapat pekerjaan, rumah dan uang.” Wira menatap Alin, dia tersenyum tipis, tanda bahwa dia baik-baik saja.
“Enaknya jadi lo, bisa dapat semuanya secara cuma-cuma, lah gue malah di usir seperti ini.” ujar Alin.
“Kamu mau aku turuni di mana?” tanya Wira.
Mendengar pertanyaan Wira barusan membuat Alin tercengang, ia tak habis pikir di buatnya.
Alin menatap Wira “Gue mau numpang tidur di tempat lo malam ini.” ujar Alin, sedikit memelankan suaranya, bibirnya tersenyum semanis mungkin dengan mata yang mengerjap manja menatap Wira.
“Ngga bisa.” jawab Wira cepat, ia mengalihkan kepalanya kembali menatap jalanan.
“Oh. Ayolah Wira. Lo kan sudah dapat banyak uang dari kakek gue. Lagian gue cuma numpang satu malam doang kok!”
“Kamu bukan lagi cucu dari kakek tadi. Jadi tidak ada hubungannya dengan uangku.” ujar Wira.
Alin memejamkan matanya, menghela napas, tangannya mengepal kuat. Ia terlihat sangat kesal sekarang.
“Ok baiklah. Lo memang benar, gue bukan lagi cucunya. Tapi gue mohon, bantu gue kali ini saja, gue bakal ingat selalu dengan kebaikan lo ini, ya!” Alin terlihat memohon dengan sungguh-sungguh, matanya memelas, kedua tangannya menggoyang-goyangkan lengan kiri Wira.
Wira menghela napas, kemudian berucap. “Aku harus pulang ke rumah Mamaku malam ini, dan itu jauh dari Kota.”
“Ngga masalah, Aku ikut!” jawab Alin cepat.
Agak sulit memang, membujuk Wira si anti sosial yang selalu acuh dengan orang-orang di sekitarnya.
Wira memang tidak terlalu suka berhubungan dengan orang lain. Menurutnya itu hanya akan membuat pusing dan merepotkan. Terbukti sekarang, belum genap satu jam lamanya ia mengenal Alin (tahu namanya sudah lama, hanya saja baru mulai bertegur sapa sejak satu jam yang lalu). Ia sudah di buat repot oleh makhluk yang di sebut orang “wanita” itu.
Malam semakin larut, Alin sudah terlelap dalam tidurnya sejak tadi. Wira menghentikan kendaraannya di halaman sebuah warung nasi, sebenarnya ia agak lapar, hanya saja dia tidak tega membangunkan Alin. Akhirnya Wira memutuskan untuk take away saja. Sebab dia tahu bahwa Alin juga belum sempat makan malam di rumah kakeknya tadi.
Wira keluar dari warung nasi dengan menenteng beberapa kantong plastik, menaruhnya di jok belakang bersebelahan dengan tas yang ia bawa dari rumah kakek Alin tadi. Lalu kembali mengendarai mobilnya.
“Alin... Alin...” Wira menggoyang-goyangkan pundak Alin, berusaha membangunkannya.
“Kita sudah sampai.” gumam Alin. Mengerjapkan matanya. “aaahhh...” Alin menutup mulutnya yang menguap dengan tangannya. Alin keluar dari mobil, hawa dingin pedesaan langsung menerpa kulitnya. “Dingin..” Alin berlari menuju teras rumah, sambil mengusap-usap lengannya.
Wira menyusul Alin yang terlebih dahulu sampai di depan rumahnya, dengan menenteng kantong plastik dan sebuah tas.
CKLEK!!!
Pintu rumah terbuka dari dalam. Seorang ibu-ibu muncul dari balik daun pintu.
“Wira!” Si ibu terlihat sangat senang. “mengapa tidak mengabari Mama kalau mau pulang?” Membuka pintu lebar-lebar agar Wira bisa masuk dengan leluasa.
“Masuk!” ujar Wira menatap Alin yang terdiam di tempatnya.
“Siapa?” tannya Mama pada Wira.
“Teman satu kampus.” jawab Wira.
“Ayo masuk nak! Di luar dingin.” Menarik tangan Alin, menuntunnya masuk ke dalam rumah. “Duduk dulu, Mama buatkan teh sebentar.” Mama Wira berjalan ke belakang, Wira tidak terlihat lagi sejak ia masuk ke dalam rumah.
Alin memperhatikan sekelilingnya dengan saksama, terdapat beberapa foto tergantung di dinding rumah itu. Tapi, dari semua foto hannya tampak gambar wira dan ibunya saja.
“Apa hannya mereka berdua saja yang tinggal di sini” batin Alin.
“langsung ke belakang saja, kita makan dulu!” ujar Wira. Dia baru muncul dari pintu kamar. Alin berdiri mengikuti langkah Wira dari belakang.
“Kalian belum makan malam?” tannya Mama saat melihat mereka berdua masuk ke dapur. “Sudah berapa kali Mama bilang menunda makan itu tidak baik.” oceh Mama, meletakan dua cangkir teh hangat ke atas meja makan. “Duduk dulu, minum tehnya, biar mama panaskan makanan ini sebentar.” Mama mengambil alih kantong plastik dari tangan Wira.
Wira dan Alin pun duduk, seperti yang di perintahkan oleh Mama. “Ayo cepat, makanlah.” Ujar Mama saat lauk terakhir telah di letakannya ke atas meja makan, ikut duduk di samping Alin.
“Mama tidak makan?” tanya Alin saat melihat Mama Wira hannya senyum-senyum menatapnya.
“Tidak. Mama tadi sudah makan, cepat makanlah.” Mama mendekatkan mangkuk nasi pada Alin.
“Siapa namamu nak?”
“Eh. Iya, nama saya Alin Mama.” Alin tertawa menyeringai, dia sudah makan beberapa suapan di rumah itu, namun si pemilik rumah bahkan belum tahu siapa namanya.
“Nama yang cantik. Apa nak Alin pacarnya Wira?”
“Huk Huk!!!” Wira tersedak mendengar perkataan Mamanya barusan.
Alin menyodorkan gelas berisi air putih ke pada Wira dengan cepat. Ekspresi Alin terlihat biasa saja tidak seperti Wira yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Tidak. Dia hanya teman satu fakultasku saja.” jawab Wira cepat, setelah dia selesai minum. “Kami saja baru saling mengenal sejak sore tadi.” lanjutnya. Wira terlihat kurang suka dengan pertanyaan Mamanya barusan.
“Oh, sayang sekali. Padahal Mama akan sangat senang bisa memiliki menantu secantik ini.” ujar Mama, mengabaikan tatapan kesal dari anak semata wayangnya. Alin hanya tersenyum santai, sama sekali tidak terganggu oleh ucapan Wira dan Mamanya. Tetap melanjutkan makan malamnya dengan tenang.
***
“Aww!!” David meringis kesakitan saat Mamanya mengobati luka di punggungnya. “pelan-pelan dong Ma!” ujarnya.
“Awas saja anak sialan itu, akan Mama balas semua ini.” geram Amel. Dia sangat sakit melihat David yang selalu di pukuli oleh suami dan papa mertuanya, jika Alin selalu mengungguli anak kesayangannya ini.
“Sudah, kamu istirahatlah.” Amel membenahi selimut David. Malam ini sepertinya David harus tidur dengan posisi tengkurap, karna luka di punggungnya masih nyeri jika tertindih.
Amel masuk ke kamarnya, ia mendapati Haris suaminya sudah berbaring di atas kasur dengan mata terpejam. Amel duduk berpangku tangan di sisi ranjang miliknya, menatap tajam punggung suaminya.
“Sampai kapan kamu dan Papa memperlakukan David seperti ini?” ucap Amel, dia tahu bahwa suaminya belum tidur.
“Jika kau mau anakmu di perlakukan dengan baik, buat dia menjadi berguna.” Haris bangkit dan duduk, menatap tajam pada Amel. “Apa kau tidak malu di perlakukan seperti tadi oleh Alin? Aku saja sebagai Ayah kandungnya sangat malu di perlakukan seperti itu olehnya. Semua ini karna kau terlalu bodoh untuk menjadi nyonya di keluarga ini. Kalau saja yang melahirkan Davit adalah Diana dia pasti tidak akan sebodoh ini, dan aku tidak perlu mendapat hinaan seperti tadi oleh anakku sendiri.” seru Haris. Dia sudah berdiri dengan tangan mengepal erat.
“Cih. Sekarang saja kau akui bahwa dia adalah anakmu, dan apa kau sadar dengan ucapanmu barusan? Setelah Diana mati dengan mengenaskan karna ulahmu sendiri! Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri!” seru Amel, suaranya tak kalah tingginya dengan Haris. “Kau lebih memalukan!” tekan Amel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Ailien
ternyata bukan dunia novel aja, dunia nyata juga ada seperti ini, anak teman saya dipaksa mama nya belajar sampe subuh demi nilai yg perfect... hingga anaknya sempat ngomong kalo benci sekali dg mama nya. Ini nilai tak sesuai dg harapan kakek & papa nya di Hajar trs, bisa2 kena gangguan jiwa karena tekan trs😱
2021-06-04
1
Helis Helis Mariayani
ngeri thor😆
2021-03-20
0
Tanti Purba
wow
2021-03-11
1