Aku melenggang menuju tempat pencucian setelah sebelumnya menidurkan Pricilia di suatu tempat. Ada Rama, Elin dan juga Neni yang telah stand by kemudian mulai memadukan antara air dan sabun agar menghasilkan gunungan buih.
Aku bekerja sebagai tukang cuci peralatan ranjang di bar ini. Mulai dari sprei, selimut hingga sarung bantal dan guling pun sudah setiap hari menjadi santapanku. Jadi selain bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Reno aku juga mengabdikan diri di bar ini, yang pasti sebagai tukang cuci, bukan selir para duda tajir.
Waktu itu, seminggu setelah aku bekerja di rumah Pak Reno aku bertemu dengan Rama yang ternyata juga menjabat sebagai pembantu di sebuah rumah pengusaha kaya yang tak lain adalah tetangga Pak Reno sendiri. Rama adalah teman SMAku dan waktu itu kami tak sengaja bertemu di sebuah grosir yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat aku bekerja.
Setelah mendengar cerita tentang mengapa aku bisa berada di rumah itu dan memiliki majikan yang perangainya seperti nenek lampir, akhirnya Rama mengajakku untuk bekerja di sebuah bar sebagai tukang cuci. Awalnya aku menolak mengingat tempat itu adalah tempat di mana perseteruan secara jantan dan betina terjadi. Namun setelah temanku itu menjelaskan bahwa kami tidak ada kaitannya dengan para makhluk-makhluk konyol itu dan murni hanya sebagai tukang cuci baru lah aku mulai tertarik dengan ajakannya.
Sejak saat itu lah mulai dari jam tujuh pagi sampai lima sore aku bekerja di rumah Pak Reno, kemudian kusambung lagi pada jam enam sore sampai jam satu malam untuk kembali membabu di bar ini. Sangat lelah sebenarnya. Namun demi anakku, apapun pasti akan kulakukan.
Aku menatap sekeliling. Ada banyak sekali sabun- sabun berbentuk persegi yang berserakan di atas lantai tempat pencucian ini.
“Ada apa nih? Habis ada perang Badar ya?” Tanyaku memulai pembicaraan. Ketiganya sontak menoleh, lalu Elin memanyunkan bibirnya mengarah kiri sebagai suatu isyarat jawaban dari pertanyaanku.
Astaga!
Aku ga salah lihat?
Banyak sekali cairan kental berwarna merah yang merembes di atas sprei yang tengah berada di pojok kiri. Bukan hanya setetes dua tetes, cecair itu bersimbah layaknya air dalam gayung yang di buang begitu saja. Banyak sekali.
“Loh loh loh. Kok bisa kaya gini?”
“Senamnya kekencengan kali.” Neni si mulut remes menyahut dari sudut bak. Urat-urat biru di lengannya keluar takkala ia menggayung air dari dalam bak dengan jumlah banter.
“Ga mungkin sebanyak ini. Aku aja yang tiga kali dalam semalam sama suamiku aja ga sampai segitunya kok.” Kali ini Rama pula yang menyambar.
“Kalian ini bicara apa sih? Senam apa sampai berdarah-darah banyak gitu?”
“Etdah gimana sih kamu. Gitu aja pake ga tau.”
“Itu loh Che, senam ranjang.”
“Hahahahaha.”
Ketiganya tergelak lepas setelah mendengar penuturan dari Neni. Ibu beranak dua itu memang asal ceplos kalau ngomong, apa pun topiknya ia tak akan pernah memfilter kata-kata tersebut sekali pun itu berbau sensitif.
Aku yang baru paham maksud dari pembicaraan mereka hanya bisa geleng-geleng kepala dan sedikit menarik kedua sudut bibir. Sudahlah. Mungkin ini efek dari kejablaian akut yang membuat otakku lemah koneksi saat membahas hal-hal berbau seperti itu.
Tapi jika dipikir-pikir, kenapa cairan kental merah itu banyak sekali? Mustahil sekali rasanya. Ah! Mungkin mereka senam berjamaah di atas atas tempat yang sama.
Astagfirullah.
Kenapa otakku yang jadi travelling begini.
...***...
20:00
Remang-remang cahaya mulai tampak dari arah atas. Saat ini aku tengah berada di lantai tiga bersama Rama, Elin dan juga Neni. Pekerjaan trip satu kami telah selesai dan akan dilajutkan pada trip kedua di jam 11 nanti. Sebenarnya bisa saja kalau mau pulang dan datang lagi setelah sprei-sprei yang mau dicuci sudah tertumpuk banyak di zona pencucian. Hanya saja rumahku yang jauh dari lokasi bar menjadi pertimbangan tersendiri bagiku untuk pulang.
Pendaran dari jutaan bintang membuat mataku membelalak kagum dan damai saat memandangnya dari tempatku berjejak saat ini. Mereka sangat cantik, jika dihubungkan secara simetri akan ada banyak bentuk yang dihasilkan dari bintang-bintang itu.
Sial! Aku malah jadi ingat sesuatu.
Dulu aku, Hero dan Pricil kerap sekali tidur di ruang terbuka beralaskan tikar yang kami anyam dari daun kelapa. Pria itu memang kerap memberikan asupan batin padaku berupa kasih sayang, kenyaman dan perkataan-perkataan lembut nan hangat yang keluar dari bibir indahnya. Aku merasa seperti ratu yang diistimewakan bila berada di sampingnya. Karena perlakuan baiknya itulah membuat aku jatuh cinta dan semakin cinta setiap harinya.
Drrrt.
Drrrt.
Getaran handphone membuat nostalgia yang sedang menari-nari di kepalaku lantas berhamburan entah kemana. Aku tersentak lalu mengeluarkan benda berukuran pipih tersebut dari saku celana, ternyata sudah ada tiga panggilan tak terjawab yang tertera di layar depannya. Astaga! Sudah sampai mana alam kenanganku tadi?
“Halo.” Sapaku setelah menjauhkan jarak dari ketiga emak-emak rumpi tersebut.
“Che, kamu dimana?”
“Di lantai tiga Ren. Kenapa?”
“Aku mau ajak kamu makan di luar bareng Pricil.”
“Umm bukan nolak nih. Cuma aku udah makan tadi sama Rama dan yang lain.”
“Oh oke thanks ya.” Tuuuuut.
Sambungan terputus. Aku meletakkan kembali benda persegi panjang pemberian Hero jauh sebelum aku bekerja di rumah pak Reno dan bar ini. Akhir-akhir ini handphone itu memang acap berbunyi antara jam tujuh sampai sembilan malam yang bersumber dari penelpon yang sama. Aren.
...***...
Elin membawa tumpukan sprei kotor dan mencampakkannya begitu saja di lantai tempat pencucian. Pukul sebelas malam. Waktunya kembali bekerja. Sebenarnya seluruh sprei dan semua jajarannya dicuci dengan menggunakan mesin. Namun sebelum itu, kami harus menggosoknya dengan sabun guna membersihkan segala sesuatu yang tertinggal di sana. Ada noda bekas cokelat, es krim, saus tomat bahkan cecair legit berwarna putih yang dapat kutebak jenisnya apa juga kerap kali menghiasi sprei berwarna putih tersebut.
Dengan sisa tenaga yang sudah tak seberapa, kami mulai menggosok kain-kain tersebut dengan perlahan hingga jam membidik tepat di angka satu.
“Akhirnya kelar juga lo lo pada.” Neni menunjuk satu persatu benda yang baru saja keluar dari mesin pengering. Ia merenggangkan jari-jarinya sehingga menghasilkan bunyi ‘kletek-kletek.’ Sungguh ibu dua anak yang tangguh. Aku dapat dengan jelas menyaksikan bagaimana rasa lelahnya melalui suara tulang-tulang jemarinya yang beradu.
“Pinggang aku berasa lepas.”
“Mending pinggang. Lah aku, berasa nyawa yang lepas.”
“Yeee jangan dong. Kan kasian si mas di rumah ga pernah dapat jatah kalau istrinya mati kikikik.”
Cekikikan dari para emak-emak rempong ini sedikit menghilangkan rasa penatku. Ada saja ide mereka untuk menciptakan banyak lelucon. Setelah dirasa cukup puas tertawa, mereka semua pun beranjak pergi meninggalkan zona pencucian dan beberapa buih sabun yang masih menyangkut di siku-siku lantai. Aku menyusul. Namun belum sempat aku mengambil langkah, tiba-tiba …
“Huaaaaa huaaa hiksss.”
Astaga!
Aku terlonjak kaget takkala mendengar suara tangis pecah dari arah bawah. Bersamaan dengan sepasang kakiku yang masih setengah kering, aku menuruni anak tangga demi menemui anak manusia yang sedang menangis pada jam satu malam.
Aku tahu itu suara siapa.
Bayiku.
...***...
Bersambung
Comment, Like & Vote guys
Dukungan kalian semangat buat aku
Sehat selalu yaaa🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Agus Irawan
Semangat salam dari pria kaku ini jodohku
2021-05-28
0
Dhina ♑
kasihan Pricila, mungkin sangat haus, atau lapar
2021-05-26
0
🅰🅽🅰 Ig: meqou.te
perjuangan seorang ibu sungguh tak bisa diragukan lagi. ia rela banting tulang dr jam tujuh pagi hingga tengah mlm demi menghidupi anak kesayangannya.
i love you mom
2021-05-08
1