SUAMI KITA BERSAMA
“Danan ambin motol-motolantu!”
Debuk.
Aku ngacir dari arah dapur menuju ruang tengah. Seorang anak lelaki gembul dengan entengnya melayangkan sebuah motor-motoran berwarna merah tepat di atas perut bayi mungil yang tergeletak beralaskan karpet bulu di atas lantai.
“Loh! Bang Refa kenapa?”
Refa. Anak lelaki berpostur balon yang berusia empat tahun. Dia adalah anak sulung sekaligus sematawayang dari pemilik rumah tempatku bekerja saat ini. Pembawaannya yang memang bengis sedari dulu menjadikan kekhawatiran tersendiri bagiku mana kala ia sedang berdekatan dengan Pricilia, putri kecilku yang masih berusia delapan bulan.
Contohnya saja hari ini.
Aku dapat dengan jelas melihat ia menubrukkan benda berbentuk kendaraan itu ke permukaan perut bayiku yang kulitnya pun masih memerah dengan guratan urat-urat halus di bagian atasnya.
“Atu nda cuka dek plicil ambin moton atu!” Refa menghentakkan kakinya penuh emosi. Anak gembul itu menganggap bahwa putriku telah mengambil mainan kesayangannya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah dia meletakkan benda merah itu di sembarang tempat yang kemudian di raih oleh Pricilia mengingat tempat mereka yang bersebelahan badan.
“Dek Pricil gatatu kalau itu mainan abang.” Kataku menenangkan Rafa. Aku mengangkat tubuh putriku lalu memindahkannya ke dalam gendongan.
“Makanya ibu kacih dia motolan, cupaya dia nda mainin motolan atu!” Anak majikanku ini memang sangat keras kepala. Lagi pula Pricilia juga tidak akan tahu bahwa yang ia genggam di tangannya adalah mainan milik orang lain. Jangankan untuk mengetahui hal seperti itu, untuk berbicara saja pun ia belum bisa. Hanya ocehan-ocehan tidak jelas yang saat ini bisa dihaturkannya.
Mengingat-ingat tentang kebengisan Refa, waktu itu dia pernah berada di atas karpet yang sama dengan Pricil. Aku menidurkan anakku sesaat setelah menyuapi bocah gendut itu bubur ayam favoritnya. Ia melayangkan netra ke arahku, memperhatikan kehikmatanku yang sedang menepuk-nepuk bokong Pricil lembut. Lalu entah setan apa yang mendadak menyambangi isi kepalanya, dengan gamblangnya ia menendang bagian belakang anakku dengan kakinya yang kala itu terlapisi oleh sepatu sneaker.
Gedebuk.
Pricilia menangis hebat. Tubuh belakangnya yang masih lemah itu memar-memar akibat ulah Refa. Dan mirisnya lagi di saat aku bertanya mengapa ia berbuat demikian dengan rasa tak bersalah ia menjawab “Ibu tan teljanya di lumahtu. Jadi ibu nda boyeh dagain dek Plicil. Ibu cuman boyeh dagain atu!”
Astagfirullah.
Sungguh, jika bukan karena pundi-pundi rupiah yang ku peroleh dari pekerjaan ini aku tak akan sudi menghadapkan putri kecilku dengan bocah bengis bin kejam seperti Refa. Aku sadar mencari pekerjaan itu sangatlah sulit, maka dari itu sebisa mungkin aku tetap bertahan di sini meskipun keselamatan anakku yang menjadi taruhannya.
“Iya sayang iya. Nanti ibu belikan dek Pricil motoran ya biar bisa main bareng sama abang Refa.” Aku kembali bersahut ketika bayang-bayang kenakalan Refa selesai melintas dalam ingatanku. Mainan itu telah kembali utuh di tangannya, namun emosi yang sudah terlanjur tinggi membuat ia sangat sulit untuk ditenangkan.
“ATU NDA MAU MAIN CAMA OLANG MIS-TIN-“
Plak.
Hatiku terasa ditampar-tampar.
“Refa apa-apaan kamu! Sini.” Sebuah jeweran kasar mendarat sempurna di telinga bocah tengil itu. Mataku berkelebat mencari siapa gerangan yang berhasil membuat anak gendut itu meringis kesakitan. Ternyata pak Reno, papanya Refa.
“Aduuuh ampun pa ampuuun.”
“Berapa kali harus papa bilang jaga ucapan, hah!”
“Huaaaa huaaaa hikss.” Isak tangis pun pecah membuat suasana yang sudah kacau itu menjadi lebih parah. Suara Refa bergema besar hingga menembus bagian paling belakang dari rumah ini.
Aku yang tidak tega melihat telinga bocah yang kian memerah seperti kepiting rebus itu secepat kilat menariknya dalam pelukanku. Meraih tubuhnya yang gembul lalu menyandarkannya pada bahuku.
“Sudah pak sudah. Kasihan Refanya jangan dimarahin.”
“Anak ini semakin lama semakin ngelunjak!”
“Iya mungkin karna dia masih ke-“
“Eh apa-apaan ini hah!” Pekikan lantang seorang wanita dari arah atas memotong kalimat yang belum utuh kuucapkan. Aku dapat menebak kalau suasana rumah akan semakin kacau.
“Farah! Tolong kamu kasih tahu sama anak kamu ini untuk ga sembarangan menghina orang!” Dua manusia yang berstatus sebagai pasutri itu bersitatap dengan luapan emosi yang bersarang di dalam dada mereka. Persis seperti Refa, bu Farah memiliki kebengisan akut yang kapan saja bisa meledak.
“Eh Chevani!” Tatapan bu Farah beralih ke arahku. “ Semenjak ada kamu di rumah ini suami ku jadi suka marah-marahin aku. Memang perempuan ga tau diri kamu!” Mendadak kepala ku terasa nyeri. Aku dapat melihat dengan jelas ada lengan berkuku panjang yang menjambak-jambak rambutku tanpa ampunan.
Sakit.
Sangat sakit.
Refa yang sedari tadi masih mendekam dalam pelukanku pun mendadak terjungkang sesaat setelah tubuhku terombang-ambing karena dorongan yang dilakukan oleh bu Farah. Manusia satu itu memang sudah kehilangan akal, saban hari aku dijadikannya squishy siap pakai. Diuel-uel. Astagfirullah.
“Kamu yang salah!” Tangan yang tadi masih asyik menjambak-jambak rambutku hingga ke akar kini telah beringsut entah kemana. Ada lengan kokoh yang menjauhkan tubuhku dari wong kesetanan itu. Aku lega karena sekarang aku dapat menegakkan kepalaku dengan benar meskipun ada tumpukan helai rambut yang tercecer di atas lantai. Namun ketakutanku dari sisi lain kian mencuat. Setelah berhasil melepaskan keberingasan bu Farah atas diriku pak Reno memboyong wanita itu ke dalam kamar entah untuk diapakan.
Sungguh. Aku juga tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini.
Rafa yang tidak bisa menjaga ucapan.
Bu Farah yang emosinya kelewat akut.
Atau malah kehadiranku di rumah inilah penyebab dari semua kemarahan.
“Atu tatut bu huuuuu.” Bocah gembul itu menghamburkan tubuhnya kembali ke pelukanku. Wajahnya memerah padam, buliran air mengembun banyak di kantong matanya.
Aku menyambut pelukan itu dengan hangat. Meskipun hatiku sering sakit akibat ulah ucul satu ini, namun sejatinya ia belum paham bagaimana cara bersikap kepada semua orang dengan benar. Terlebih memang karena bu Farah tidak pernah mendidik ia dengan ilmu-ilmu agama atau sesuatu yang berhubungan dengan budi pekerti.
Pricilia juga terlihat tegang. Aku yakin sekali, meskipun ia belum dapat mencerna setiap kata per kata yang orang lain ucapkan tapi dia dapat merasakan apakah itu sebuah kenyamanan atau malah kemarahan.
Kasihan bayiku.
Dia juga harus ikut menanggung akibat dari perbuatan Hero.
Hero!
Awas saja kau bajingan!
...***...
Suasana sempat hening selama beberapa saat walau pada akhirnya pertempuran itu kembali terjadi. Telingaku dapat menangkap dengan jelas percakapan sepasang suami istri yang sudah bergeser posisi ke lantai dua, tempat di mana mereka mengistirahatkan diri.
“Berapa kali harus ku bilang jadilah ibu yang baik.”
“Apa maksudmu? Aku tidak mungkin memberi anakmu itu uang yang banyak jika aku seorang ibu yang jahat.”
“Mencintai anak itu bukan hanya perihal uang Farah. Melainkan ada adab yang harus kau didik!”
“Ya kamu jangan salahin aku terus dong. Kamu juga harus berperan buat ngedidik dia.”
“Hah! Apa! Aku kamu bilang? Sadar ga kamu siapa yang selama ini sering ngajak dia bicara? Siapa yang setiap hari ngasih nasehat ke dia? Aku Fa, aku! Dan kamu! Taumu hanya shopping-shopping dan shopping.” Kali ini suara pak Reno mengalahi wanita yang tengah berdebat dengannya itu.
Kalau boleh aku jujur. Bu Farah memang sosok sosialita yang saban hari keluar masuk mall untuk memenuhi hasrat kewanitaannya. Aku dapat melihat deretan tas dan sepatu branded yang sengaja dipajangnya di ruang tengah. Ia juga selalu keluar malam kalau pak Reno sedang bertugas keluar kota. Dan Refa? Ia tidak perduli dengan Refa. Memberi anak sematawayangnya itu materi dalam jumlah banter sudah dirasa cukup untuk melunaskan semua tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.
“Ini semua karna Chevani!”
Peperangan belum berakhir.
“Jangan mengkambinghitamkan Chevani atas kejadian ini. Kamu yang tidak becus mengurus anak.”
“Kenapa kamu selalu bela dia hah? Kamu cinta sama dia!”
Plak.
...***...
Bersambung
Penasaran dengan peperangan berikutnya? Ehehe
Stay terus ya 😉
Comment & vote
Supaya author lebih semangat lagi update ceritanya
Semoga kalian sehat selalu 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
itin
bacaan diatas umur rata rata karna banyak diwarnai kekerasan 🤭
2021-06-29
0
Aulia Nia
kyknya seru aq tuh seneng alurnya penuh airmata
2021-05-27
0
Dhina ♑
masih bocil sudah jahat
2021-05-26
0