“Emmmph Pak Reno. Saya kira bapak ga di rumah.” Aku berbalik badan mencari sumber suara. Seorang pria berkaos putih dan celana selutut menatapku lekat-lekat. Antara bahagia atau sendu, wajahnya sungguh tak bisa terprediksi. Raut datar itu menghiasi parasnya yang rupawan.
“Baju kamu basah?” Ia mengedarkan pandangan mengikuti arah kakiku dan berhenti pada satu titik di mana ia menemukan rembesan air yang membanjiri bagian bawah pakaianku.
“I- iya pak. Itu tadi-.” Haduuuh aku kok jadi gagu kaya orang sumbing begini sih. Aku menunjuk westafle yang masih basah dengan percikan air. Semoga ia mengerti maksudku melalui isyarat jemari.
“Lebih baik kamu tukar dulu pakaianmu itu. Bisa masuk angin.”
“Iya pak, ini juga mau saya ganti kok.” Aku mengambil langkah pelan meninggalkan Pak Reno yang masih terkesiap di tempat semula. Namun belum sempat aku melenggang pergi, suara besarnya kembali menginterupsi dan membuat aku membeku di tempat.
“Chevani tunggu!” Katanya seraya melaungkan tangan ke arah depan. Aku menoleh.
“Saya minta maaf atas perlakuan anak dan istri saya tadi. Tapi kamu tenang aja, ssaya pastikan setelah ini ga akan ada yang berani nyakiti kami di rumah ini lagi.”
“Tidak perlu minta maaf pak. Mmm ma- maf, maksud kalimat terakhir bapak tadi apa ya?”
“Saya sudah menampar istri saya.”
What!
Jadi suara tamparan dari arah atas tadi-
Ah sungguh. Ku kira Bu Farah lah yang menampar Pak Reno. Ternyata sebaliknya. Ada apa ini? Kenapa Pak Reno mendadak kasar terhadap istrinya sendiri? Apa dia sudah mengikuti jejak Bu Farah menjadi seorang nenek lampir?
“Astagfirullah. Kenapa bapak ngelakuin itu?”
“Semakin dibiarkan dia semakin menjadi-jadi Che. Lagi pula memang sudah lama aku memendam kesal dengan Farah. Dia sama sekali tidak memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang ibu dan juga istri.”
“Ja- jadi Ibu kemana?”
“Entah. Mungkin pulang ke rumah orang tuanya.” Astaga kenapa semakin ruwet begini? Bagaimana jika kedua orang tua Bu Farah merasa tersinggung dengan perlakuan menantunya? Ya Rabb tolong selamatkan rumah tangga Pak Reno dan istrinya, aku tidak ingin sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi. Kasihan Refa.
“Sepertinya bapak harus segera mencari Bu Farah sebelum masalah ini semakin berlanjut.”
“Biarkan saja. Istri seperti dia sesekali harus dikasih pelajaran.”
Aku terdiam. Pikiranku terbang dan berpusat pada Bu Farah. Emosinya yang gampang naik akan membuat ia memerlukan waktu lama untuk memaafkan sesuatu. Atau mungkin ia tak akan membuka hati lagi setelah kejadian ini pada Pak Reno. Astagfirullah Chevani, buang jauh-jauh pikiran burukmu itu.
“Kalau begitu saya duluan ya pak.” Aku berangsur menjauh lalu masuk ke kamar untuk berganti baju. Ternyata anakku masih lelap tidur di atas ranjang yang terselubung oleh sprei biru. Sungguh aku sangat tak tega mengganggu tidurnya saat ini, tapi mau bagaimana lagi. Ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan.
“Ibu, ibu mau temana?” Seorang anak berpipi gembil yang sedang asyik bermain PS mendadak lari dan menghamburkan tubuhnya di bagian kakiku. Kue tar yang dikulumnya sedari tadi pun tersembur keluar, membuat ampas-ampasnya berceceran di atas jejari kakiku.
“Ibu mau pulang dulu ya. Kan kerjaan ibu udah selesai.”
“Atu nda cuka kalau ibu puyang. Atu nda punya temen.”
“Kan ada papa kamu sayang.”
“Pokokna ibu nda boyeh puyang!” Refa kian menguatkan pelukannya di kakiku, otomatis aku tak bisa berjalan kali ini.
“Biarkan Ibu Chevani pulang Ref.”
“Papa.”
Kakiku seketika dapat bernafas bebas takkala Refa melonggarkan pelukannya dan bergeser menghadap Pak Reno. Ayah dari ucul berpostur balon itu selalu saja mengagetkanku dengan kedatangannya yang secara mendadak seperti jelangkung. Karena setahuku ia telah kembali ke kamarnya sesaat setelah aku beranjak masuk ke kamarku juga.
“Nanti kamu main sama papa ya. Mau diantar pulang Che?”
“Hah? Siapa pak, saya?”
“Penjual kangkung di depan. Ya kamu lah!”
Jantungku serasa terpompa lebih kencang dari semula. Kena sambet jin mana pria ini ingin mengantarkan aku pulang, biasa juga tidak begitu. Ah! Andai saja yang berbicara padaku adalah seorang adam tanpa istri, pasti hatiku di dalamnya sudah ditumbuhi oleh kembang-kembang berbagai warna.
“Oh ga perlu pak. Saya biasa pulang sendiri. Permisi.”
Tidak ada sahutan lagi setelah itu. Refa yang tadinya berat melepaskanku saat ini sudah anteng bergelayutan di kaki papanya. Baguslah. Apa jadinya jika aku bertahan sampai malam di rumah itu demi dia?
...***...
Pendar-pendar jingga menembus netra setiap orang yang saat ini bernanung di bawahnya. Kilauan orangenya membuat siapapun yang memandang pasti terpesona dan tak ingin beranjak dari panorama tersebut.
“Ta ta ta ta.” Pricil yang sedari tadi tak henti-hentinya mengoceh begitu menunjukkan kecerian melalui sorot mata. Tangannya terkepal-kepal di udara, kakinya bergelinjang seolah ingin minta di lepaskan.
Aku menatap para pengendara yang sedang bersenja-senja ria dari balik kaca kendaraan pribadi yang setiap hari kutumpangi. Kendaraan yang memiliki beragam warna dan nomor tersebut selalu menjadi jet khususku untuk sampai ke lokasi tujuan. Apalagi kalau bukan angkutan umum.
Lima belas menit berlalu.
Aku sampai di sebuah bangunan berlantai dua yang memiliki banyak sekali ruangan dan kamar-kamar kecil di dalamnya. Kendaraan beroda empat dan dua juga turut andil memberikan kesan ramai pengunjung di tempat itu.
“Langsung ke tempat pencucian aja ya cin.” Seseorang dengan tubuh gemulai mengerlingkan mata sesaat setelah aku menurunkan kaki dari angkutan umum. Kemeja tosca yang dipadu dengan jeans ketat kian menambah kecantikannya sore itu. Ups ralat. Maksudku tampan.
Tampan?
Lantas, mengapa dia menggunakan pakaian serba ketat?
Yaah lebih tepatnya dia adalah seorang waria hihi.
Rasa penat yang bersarang dalam punggungku belum juga hilang malah saat ini sudah disuguhkan dengan cucian yang membubung seperti bukit. Perlu tenaga ekstra untuk melakukan seluruh pekerjaan ini. Sudahlah, tak apa. Ini semua kulakukan demi Pricil, anakku tersayang.
Aku menoleh ke segala penjuru kawasan tersebut lalu beralih memandang ke arah jam yang tercantel di dalam ruangan. Masih pukul enam sore. Tetapi kawasan ini sudah dipadati oleh muda-mudi yang kutaksir masih bersegel haram alias pacaran. Juga sekomplotan duda nakal beserta para selir-selirnya. Semua berkumpul di dalam satu tempat yang umunya dikenal sebagai bar. Tempat di mana makhluk-makhluk konyol bergoyang ria dan meluapkan hasrat birahinya.
“Kamu suka adegan kita tadi kan sayang?”
“Suka banget. Kamu jago deh.“
“Kamu mau lagi?”
“Kalau aku mah tiap hari juga gapapa kok.”
“Uhuk uhuk uhuk.” Aku sontak terbatuk setelah secara tak sengaja telingaku menangkap percakapan sepasang manusia yang sedang melintas tepat di sampingku. Seorang lajang ABG bersama nenek reot menampakkan wajah ceria sesaat setelah mereka keluar dari kamar berdiamter 4*4m yang disediakan di tempat ini. Lelaki yang kutaksir berusia 19 tahun itu tengah menggandeng seorang wanita lansia yang keseluruhan jemari tangannya diisi oleh cincin emas dengan sangat mesra. Entah apa yang baru saja nenek dan si brondong muda itu lakukan di dalam sana, yang jelas saat ini aku menangkap pemandangan yang sangatlah sayang bila tidak ditertawakan. Sleting depan celana lajang ABG itu ternganga lebar dan menampilkan gundukan besar yang ukurannya menyamai buah mentimun. Mungkin dia sedang tidak sadar kikikik. Aku tertawa lepas.
......***......
Bersambung
Aku ngetik paragraf terakhir juga sambil senyum-senyum sendiri😂
Jangan lupa comment & vote guys
Dukungan kalian semangat buat aku
Sehat selalu yaaa🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Fauzan Abdillah
dapat rezeki nih..cuci mata 😁😁😁
2021-06-15
0
Anonymous
🤪🤪🤪🤪
2021-06-04
0
Dhina ♑
Timun enaknya dirujak
2021-05-26
0