“Awww!” Sebuah tamparan keras melayang di permukaan pipi entah siapa. Suaranya kentara sekali. Baik bu Farah ataupun pak Reno kini tiada lagi bergelut dengan kata-kata. Aku berteriak histeris, jantungku bisa segera copot bila terus mendengar perdebatan mereka.
“Ibu dangan jelit-jelit shhhht.” Refa meringkus mulutku dengan telapak tangan mungilnya. Tak ada lagi sisi amarah yang keluar dari rautnya. Semua berubah menjadi ketakutan yang tak berkesudahan.
Sepertinya membawa Pricilia dan Refa pergi sejenak dari rumah panas ini adalah ide yang cocok. Karena akan tidak baik rasanya jika mereka mendengar apalagi sampai menyaksikan hal-hal buruk seperti tadi. Aku memboyong Refa dengan tangan kananku sedangkan yang sebelahnya lagi masih kukuh menggendong Pricil. Pintu dapur yang sedari tadi ternganga lebar akan menjadikan celah keluar yang aman bagiku dan anak-anak.
“Tita mau temana bu?”
“Ikut saja ya.”
...***...
“Huuuh.” Hembusan napas kasar keluar begitu saja di saat kami berhasil meloloskan diri dari suasana mencekam itu. Syukurlah. Di sini aku dan kedua bocah ini akan lebih tenang dan damai.
Rerumputan hijau anom dan pinus-pinus kecil menyambut kedatangan kami kala itu. Ujung daunnya yang bergoyang-goyang karena tertiup angin menambah kesan nyaman saat kami menjejakkan kaki di kawasan itu. Biasanya setiap sore akan ada banyak anak yang bermain di sini. Mereka berlari riang bersama teman-teman sebayanya, termasuk Refa.
“Temalam atu main cama papa di taman ini bu.” Bocah gembul itu kembali membuka suara setelah sukses mendaratkan bokongnya di sebuah ayunan mini.
“Ohya?”
“Iya. Atu main cama teman-teman.”
“Kenapa dek Pricil ga diajak bang?”
“Nda mau dek Plicil jelek.” Kurasa segala jenis hinaan dan sumpah serapah telah melekat di dalam diri ucul tengil ini. Jika dihitung-hitung mungkin dalam sehari ia bisa berpuluh-puluh kali melontarkan kalimat hinaan kepadaku atau anakku. Bibirnya yang pedas seperti bon cabe inilah yang kadang membuat Pak Reno tersulut emosi dan akhirnya bertengkar dengan Bu Farah.
“Ibu mau ngomong deh sama bang Refa.” Aku merengkuh bahunya dari arah samping. “Allah ga suka loh bang sama orang yang suka menghina. Tau ga? Diatas sana-“ Kataku seraya membidik langit. “Allah sudah siapkan neraka untuk manusia yang suka ejek-ejek orang lain. Abang mau masuk neraka karna suka ngomongin dek Pricil jelek?”
“Tata papa tu nelaka itu panaaaaaaas telus ada api becal.” Refa merentangkan lengannya lebar seakan memberitahu bagaimana bentuk neraka itu.
“Nah iya bener. Abang mau masuk neraka?”
“Enda.”
“Kalau ga mau makanya abang ga boleh ejek-ejek dek Pricil atau siapapun lagi ya.”
“Atu nda ejek kok. Kan emang benel dek Plicil jelek, mistin lagi.”
Ampun Gusti.
Kalau Engkau tak menitipkan hati nurani pada diriku, mungkin tuyul satu ini sudah ku remas-remas lalu kujadikan makanan bebek. Entah otaknya yang belum bisa menyerap kata-kata atau memang didikan bengis mamanya yang telah menjadi darah daging sehingga nasehat jenis apapun tak mampu lagi untuk mengubahnya.
Aku menatap langit-langit alam. Menarik panjang napasku lalu mengeluarkannya secara perlahan. Pricilia masih anteng dalam gendongan, sesekali netranya berkirap-kirap tersapu angin taman. Dalam detik berikutnya tak sengaja pengelihatanku menangkap beberapa anak kucing yang tengah menyusu pada induknya. Aku memperhatikan hikmat, bayi-bayi kucing itu menyedot gundukan yang ada di perut ibunya dengan lahap. Ummm sepertinya aku punya ide.
“Eh eh bang Refa. Coba liat kucing di ujung sana.” Aku melayangkan jari telunjuk ke pojokan, semoga anak gendut yang tengah bersamaku ini dapat melihatnya dengan jelas.
“Waaah ada tuting. Atu cuka tuting bu.”
“Sini sini ibu kasih tau. Coba liat, kucing-kucing itu saling menyayangi satu sama lain. Mereka ga berantem sama saudaranya sendiri, ga ejek-ejekan. Masak bang Refa kalah sama kucing.”
“Iya tapi itu tan taudalanya. Dek Plicil kan butan taudala atu.”
Dapat ku taksir bila sudah dewasa Refa akan menjadi debater yang hebat. Bagaimana mungkin ia dapat menangkis semua kata-kataku sedari tadi kalau tidak memang Tuhan yang menitipkan keluasan berpikir pada dirinya. Ya meskipun buah pikirannya saat ini masih tidak benar.
Tapi aku tak mau kalah.
“Loh bang Refa sama dek Pricil kan saudara juga. Namanya saudara Seiman. Bang Refa Muslim dan dek Pricil juga Muslim. Nah, jadi saudara dong.”
“Apa iya bu?”
“Iya. Makanya ga boleh ejek-ejek dek Pricil lagi ya.”
“Tapi ejek olang lain macih boyeh tan?”
“Ga boleh juga sayang. Orang lain kan juga saudara Seimannya bang Refa.” Aku menjawil hidung bocah berpipi bakso tersebut. Sepertinya kali ini ia menerima perkataanku.
“Maapin abang Lefa ya dek Plicil. Abang nda ejek adek lagi.”
Alhamdulillah.
Akhirnya si unyil ini nurut juga dengan nasehatku.
Refa mendekatkan tubuhnya pada Pricil hingga menyisakan jarak beberapa centimeter di antara mereka. Kemudian bocah itu mengelus lembut kepala anakku yang belum ditumbuhi oleh rambut.
Ah senang sekali rasanya.
Andai saja bukan karena mulut remesnya, pasti bu Farah dan pak Reno tak akan bertengkar hebat seperti tadi.
Oh iya, apa kabar mereka di rumah?
“Bang pulak yuk.” Kataku seraya menarik lengan Refa. Aku harus pulang. Siapa tahu rumah sudah jadi kapal pecah karena ulah pasutri tersebut.
...***...
Tah ubah layaknya maling. Aku menyembul dari pintu belakang bersama gelagat was-was level tinggi. Menyapu pandangan ke seluruh penjuru rumah, kemudian beringsut menuju zona dapur.
Hening.
Hei, kemana mereka?
Tidak ada sesiapapun di sini.
Syukurlah, batinku.
Kesempatan emas tak boleh disia-siakan. Aku menidurkan Pricilia di kamar khusus pembantu kemudian mengamankan Refa kembali di ruang tengah. Memberi ia beberapa snack yang ada di dalam kulkas dan membiarkannya bermain playstation tanpa batas waktu.
Ritual kepembantuan pun segera kulaksanakan. Piring-piring yang masih tercuci setengah akibat gangguan dari perang Badar tadi saat ini kusambung lagi guna menghindari amarah baru.
Aku masih ingat betul kala itu bu Farah pernah memarahiku habis-habisan perkara piring kotor yang belum sempat kucuci. Tidak-tidak, bukan salahku. Wanita itu memintaku untuk membuatkannya selai nanas. Dan dengan egoisnya ia mentotol kepalaku dengan gagang sapu saat tak sengaja matanya menangkap pemandangan tumpukan piring yang belum tercuci di atas wastafle. Ah seram sekali. Amit-amit. Aku tak ingin lagi bertemu dengan kejadian itu.
Lelah sekali. Pinggulku rasanya ingin mencelos dari tempat. Menyapu rumah lalu mengepelnya, membersihkan debu-debu yang melekat diguci, menyiram tanaman, menyetrika gunungan pakaian, merapikan mainan Refa yang berserakan bak puingan pesawat yang baru meletup, mencuci piring plus bonus tambahan menonton perang dunia ketiga di rumah ini telah kugeluti sejak pagi tadi hingga sekarang.
Nasib menjadi babu di rumah orang, ya seperti ini.
...***...
Tiga bulan yang lalu
“Awww aduh.” Aku meringis kesakitan saat sesuatu yang tajam menembus telapak kakiku secara mendadak. Suasana yang gelap mencekam waktu itu membuat aku bergidik ngeri dan tak bisa meminta bantuan pada siapapun. Aku terduduk lemah di bibir trotoar, menyambangi telapak kakiku yang mulai mengeluarkan cairan merah kental.
Berjam-jam berlalu. Hatiku semakin kalut. Bagaimana jika ada penjahat yang akan memperkosaku di tengah-tengah malam begini. Atau mungkin ada komplotan sundel bolong yang akan menelanku hidup-hidup.
Memekik dan menangis. Hanya itulah yang dapat ku lakukan di kegelapan yang aku sendiripun tidak tahu entah sedang berada di mana. Ingin sekali rasanya aku bunuh diri. Tapi itu mustahil. Karena jika aku mati bagaimana dengan bayi lima bulan yang saat ini tengah terlelap pulas dalam gendonganku.
Bajingan kau Hero!
Aku bersumpah! Akan kucari kau sampai dapat!
...***...
Bersambung
Hero siapa sih?
Ikuti terus biar tau jawabannya ya 😉
Comment & vote guys
Supaya aku semakin semangat updatenya
Sehat selalu readers🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Fauzan Abdillah
iaa...dia sapa y..?
namax yg hero kok dibenci amat ?
2021-06-15
0
Dhina ♑
perang ??
2021-05-17
0
Titik pujiningdyah
like kak
2021-05-17
0