Ora obah, ora mamah
♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪
Hampir jam sepuluh malam saat hujan mulai reda dan menyisakan rintik yang masih cukup deras. Safira mulai menata lapak kebab miliknya, bersiap untuk tutup dan pulang ke rumah.
Diam-diam, sejak hujan turun selepas isya, Safira telah menggerutu tentang Pak Edi yang dengan tepat menyuruh Agus untuk tidak membuka lapak. Walau sebenarnya Safira hanya terlalu gengsi untuk menuruti perintah Bapaknya itu.
“Nasib, nasib. Buka dari sore malah hujan, sampai malam begini baru reda.”
Safira melirik Pakde Gimin, pedagang wedang ronde yang berjualan di sisi kiri lapaknya. “Namanya juga orang jualan, Pakde,” sahut Safira sekenanya, masih berberes.
“Iya sih, Mbak. Tapi yo piye, anak istri di rumah juga butuh makan.”
“Pun, mboten sah nggersulo to, Pakde. Disyukuri mawon,” ujar Safira sok bijak, padahal dalam hati dia juga menangis karena tidak mendapatkan penghasilan apa-apa hari ini.
Alun-alun yang biasanya ramai di padati pengujung, baik untuk berwisata kuliner atau naik becak lampu bersama keluarga, nyatanya sepi karena hujan deras selama berjam-jam. Beberapa pedagang memilih langsung menutup lapak begitu hujan turun dan sisanya mencoba bertahan, siapa tahu hujan segera reda dan rejeki mengalir sama derasnya.
“Ya … namanya cari rejeki,” sahut Pakde Gimin, terdengar pasrah. “Saya duluan ya, Mbak Fira.”
Safira yang baru menyelesaikan pekerjaannya sontak menoleh. “Injih, Pakde.”
Dia menggelengkan kepala saat Pakde Gimin terlihat berhenti di depan lapak pedagang lain. “Pasti bergosip, mengeluh nggak dapat duit,” batin Safira.
Safira baru saja mengambil lap untuk membersihkan kaca gerobak yang basah saat tiba-tiba seorang anak lelaki dengan wajah dan rambut yang basah berdiri tepat di depan gerobaknya. Anak lelaki itu menatapnya intens dari balik kaca, membuat Safira merasa heran juga takut secara bersamaan.
“Anak ini nggak mungkin arwah penasaran yang mau nyobain kebab, ‘kan?” batinnya ngawur. Sedikit ketakutan, ia balik menatap wajah pucat anak lelaki itu.
“Tante siapa namanya?”
“Astaga!” Safira terperanjat, mundur beberapa langkah. Dia terbungkuk memegangi dadanya, seakan mengalami serangan jantung mendadak saat anak lelaki itu tiba-tiba bersuara.
“Tante nggak apa-apa?”
“I … iya, nggak apa-apa kok,” jawab Safira, menolehkan wajahnya ke samping dan kembali terkejut karena wajah pucat anak lelaki itu yang tepat berada di hadapannya. Membuat Safira sontak jatuh terjerembab ke atas genangan air.
“Ya Allah, Fi!” pekik Vera, pedagang pukis di samping kanan Safira, yang lantas menghampiri dan membantu. “Kamu kenapa?”
Safira menunjuk anak lelaki yang berdiri di dekatnya, rasanya ia kehilangan suara karena terlalu terkejut.
Vera menoleh ke arah anak lelaki yang Safira tunjuk, lalu menatap Safira dan anak itu bergantian. Dia merasa heran, kenapa Safira harus seterkejut itu saat melihat seorang anak laki-laki?
“Dek, ada yang bisa dibantu?” tanya Vera kepada anak itu.
Anak lelaki itu tidak langsung menjawab, ia masih memandangi Safira yang kini sedang sibuk mengurusi bokongnya yang sakit dan basah. Sial sekali dia hari ini, Safira pikir hujan berjam-jam hingga ia tidak mendapatkan pengahasilan adalah hal terakhir yang bisa ia terima sebagai nasib buruk untuk menutup hari, tapi nyatanya tidak.
Saat tidak juga mendapatkan jawaban, Vera kembali bertanya, “Dek?” Vera melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah anak lelaki itu.
Namun, anak lelaki itu masih terus bergeming dan tak melepaskan pandangannya dari Safira. Menyadari hal itu, Vera lantas menyenggol Safira yang masih mengomel karena celana bagian belakangnya basah juga bokongnya yang lumayan berdenyut.
“Stt! Tuh,” tunjuk Vera pada anak lelaki itu melalui gestur mata.
Safira mengerutkan keningnya lalu menolehkan wajah ke arah anak lelaki yang terus memandanginya, sekali lagi membuat Safira merinding. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Vera dengan tidak melepaskan pandangannya pada anak lelaki itu. “Mbak Ve, anak ini bukan hantu, ‘kan?” bisiknya.
“Sembarangan!” balas Vera, yang juga berbisik. “Lihat, kakinya napak itu.”
Safira membenarkan ucapan Vera dalam hati. Anak itu tidak mungkin hantu, tapi kenapa penampilannya seperti ….
"Dek, kamu nggak apa-apa?” tanya Safira, mensejajarkan tubuhnya.
Anak itu masih terdiam, membuat Safira kian bingung. Terlebih sekarang ia semakin ditatapi seperti potongan daging kebab siap santap. Anak itu mengerutkan kening, bibirnya terbuka dan tertutup beberapa kali sebelum akhirnya bersuara, “Nama tante Nita bukan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Bundanya Naz
😂😂😂 lucu jg awal pertemuan Safira dan Alvin.. mungkin Alvin natap terus utk menerka dia Nita ibunya Zain..yg ada fira malah jd ketakutan 😂
2021-10-14
0
VANESHA ANDRIANI
ooo jebul nggoleki mbokne...
2021-08-10
0
Desak Fery
wah..jangan2 anakx ditaruh di panti asuhan ini sm emakx demi berkarier wahh..parah..
2021-06-04
0