“Waktu mungkin bisa menyembuhkan luka, tapi tidak dengan luka menahun tanpa diobati.”
♪♫•*¨*•.¸¸❤¸¸.•*¨*•♫♪
Seluruh ruangan dibalut sinar jingga, hangat menyentuh tiap-tiap benda yang terlewati dalam ruangan itu. Termasuk dua orang beda usia yang tengah duduk saling berhadapan. Keduanya saling melemparkan hening sejak dua puluh menit yang lalu, meninggalkan dua cangkir es teh manis yang telah kosong.
Suara jam dinding terdengar nyaring, menunjukan pukul 17.35 dengan tepat. Sementara suara pendingin ruangan yang sepertinya perlu perbaikan terdengar sumbang dan tidak ingin kalah. Persis seperti seorang gadis yang terus melayangkan permusuhan lewat diamnya.
Safira merasa jengkel, tapi tak bisa ia tunjukan begitu saja. Saat ia memutuskan untuk datang menemui lelaki di depannya, Safira telah berjanji pada diri sendiri untuk menjaga emosi. Mereka telah berperang dingin selama beberapa hari dan Safira pikir hari ini setidaknya lelaki di hadapannya ini akan mengalah dan melepaskannya, tapi
sayangnya tidak.
“Aku nggak akan menghalangi Bapak, tapi aku nggak mau tinggal di sini,” ucap Safira memecah keheningan. Suaranya terdengar lirih, merasa lelah juga jengah.
Satu kalimat itu dihadiahi desahan panjang oleh lawan bicaranya. “Kalau gitu, artinya kamu nggak setuju.”
“Kenapa Bapak terus ngotot kalau aku nggak setuju?” Safira mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar pelan, ia tidak ingin membentak orang yang lebih tua.
“’Kan, kamu sendiri yang bilang nggak mau tinggal sama Bapak.”
Safira menatap lama wajah lawan bicaranya, sebelum akhirnya berbicara penuh penekanan. “Tapi bukan berarti aku nggak setuju, Pak.”
“Kalau kamu setuju harusnya kamu mau tinggal di sini, sama bapak.”
Edi Sumarno, bapak dari Safira, menatap balik wajah putri sulungnya. Wajahnya yang mulai dihiasi keriput terlihat lelah. Membujuk Safira bukanlah perkara mudah, putrinya itu sangat keras kepala dan tidak mudah untuk dilobi jika sudah membuat keputusan, persis seperti mendiang istrinya. Pak Edi telah berkali-kali mencoba membujuk Safira agar mau tinggal dengannya, tapi anak gadisnya itu bersikukuh pada pendiriannya.
“Apa karena Tante Sari?”
Safira menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. “Tidak ada hubungannya,” jawab Safira ketus sembari memalingkan wajah, menatap halaman samping rumah lelaki lima puluh tahun yang kini menjadi orang tua satu-satunya.
Halaman itu dihiasi rumput jepang, beberapa tanaman hias dan pohon mangga, buah kesukaan Pak Edi. Melihat pohon itu telah berbunga membuat Safira melukiskan senyum tipis, ia ingat bagaimana dulu menghabiskan sore hari dengan keluarganya yang utuh sembari menikmati buah mangga ranum. Rasanya sudah lama sekali. Tidak, itu memang sudah sangat lama.
“Tante Sari itu orang yang baik, kamu cuma belum mengenal dia aja. Lain kali kita pergi bertiga, ya? Bapak yakin kamu pasti akan suka dengan Tante Sari.”
Senyum Safira memudar ketika sebuah bujukan terlontar untuk kesekian kali, ditambah dengan pujian kepada orang asing yang sama sekali tidak ingin Safira dengar. “Aku nggak mau pergi, dan nggak akan pernah,” ucapnya final dengan nada dingin, beranjak meninggalkan ruang keluarga tanpa berpamitan.
Safira tidak ingin menjadi anak durhaka, tapi ia juga tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Setelah sekian lama menjalani hidup masing-masing, rasanya terlalu egois jika bapak memintanya untuk menerima dengan tangan terbuka seseorang yang Safira anggap orang lain. Belum lagi permintaan ini-itu yang terlalu banyak baginya untuk dipenuhi.
Saat hampir melewati ruang tamu, Safira mendengar bapaknya meminta untuk datang lagi. Diam-diam Safira berdecih, “Mana sudi aku datang lagi,” gerutunya dalam hati. Lalu ia kembali melangkah dan meninggalkan rumah yang lebih mewah berkali-kali lipat dari rumahnya itu.
Kanvas langit telah berubah menjadi jingga keunguan saat Safira ke luar dari rumah mewah Pak Edi, awan-awan berjejalan memenuhi langit yang perlahan abu-abu. Safira naik ke atas motor abu-abu keluaran 2016, gerbang kompleks hanya beberapa meter di depan, tapi rasanya ia ingin berhenti sejenak. Menengadahkan wajah, Safira menatap lama langit yang perlahan tak lagi cantik.
Semilir angin membelai wajah Safira. “Sepertinya bakal hujan,” monolognya.
Baru saja Safira ingin menyalakan mesin motor ketika dering ponsel mengintrupsinya. Safira melihat nama Agus, orang yang mengurusi lapaknya, tertera di layar ponsel. “Ya?” ucapnya tanpa basa-basi.
“Anu … Mbak Fira, ini ....”
Safira mengerutkan kening. “Ada apa, Gus?”
“Anu …,” Agus terdengar ragu. “Bapak minta saya buat nggak buka lapak, Mbak.”
Safira berubah jengkel. Bapaknya benar-benar selalu seenaknya sendiri. “Nggak usah didengerin, Gus. Buka aja.”
Tanpa mendengar respon Agus, Safira langsung mematikan sambungan telefonnya.
Safira menoleh ke arah rumah Pak Edi dan memandang sengit pagar tinggi yang menutupinya. “Dasar, Pakde Edi kampret!” Safira menendang udara seakan-akan udara itu adalah bapaknya sendiri.
Safira sangat benci sifat Pak Edi yang selalu ingin ikut campur dalam hidupnya tanpa bertanya dan meminta saran lebih dulu. Dan yang paling dibencinya adalah sikap seolah-olah tak terjadi apa-apa yang selalu bapaknya tunjukan padanya setelah keputusan sepihak yang terjadi pada hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
MoEsT*Mυɳҽҽყ☪bUnAaL
alur maju mundur cantek...perlu pemahaman
2021-11-16
1
Desak Fery
saking g suka sm bapakx dipanggil pak de jadix anggap bukan bapak kandung ya
2021-06-04
0
Putri Salsa Bila Jasmin
bukanya di awal safira udah nikah ya 🙄🙄🙄
2021-05-26
0