Anak Suamiku
Safira menatap gamang pantulan dirinya di cermin, di ruang tunggu pengantin wanita. Mengenakan setelan kebaya marun, riasan mulus buah karya MUA dan rambut panjang yang baru ia ganti warna menjadi lebih gelap, membuat Safira merasa asing pada penempakannya saat ini.
Tangan kanannya terulur merapihkan anak rambut yang mencuat dari barisannya, mungkin tidak terkena hair-spray. “Apa ini keputusan yang benar?” bisiknya lirih.
“Ayo, ijab Kabul sudah selesai.”
Safira berbalik, manik matanya mendapati pria paruh baya dengan setelan beskap dari salah satu rumah mode terkenal di Solo berdiri di ambang pintu. Safira tidak menjawab kecuali sebuah gumaman halus seraya menghampiri pria tersebut.
“Anak bapak cantik sekali,” komentar pria itu, Edi, ayah dari Safira.
Safira kembali tak menanggapi, bahkan untuk sebuah gumaman halus. Mungkin karena ia tengah merasa gugup, antara ketidak siapan dan rasa takut. Mungkin juga karena Safira belum sepenuhnya bisa menerima kembali kehadiran Edi sebagai orang tua satu-satunya. Entah mana satu yang tepat, Safira tidak bisa memilah.
Begitu sampai di tengah taman dari restoran yang dijadikan tempatnya menggelar akad nikah dan resepsi, Safira diserang perasaan panik. Ia meremas jari-jarinya karena mendapatkan atensi penuh dari tamu-tamu undangan. Safira sama sekali tidak suka menjadi pusat perhatian, itu juga yang menjadi alasan pesta pernikahannya diadakan private hanya untuk keluarga dekat dan beberapa orang kolega saja.
Dari tempatnya, Safira melihat Ashqar, lelaki yang mempersuntingnya, sudah berdiri menunggu ke datangannya. Lalu ketika Safira benar-benar telah berada di hadapan lelaki itu, Ashqar dengan lembut meraih tangan Safira dan membimbingnya duduk.
“Karena pengantin wanitanya sudah datang, maka selanjutnya pasangan pengantin menandatangani buku nikah,” ucap penghulu.
Safira menerima pena yang di sodorkan Ashqar ke arahnya. Safira terdiam sejenak membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang sama kembali muncul tanpa permisi. Lalu tanpa sengaja sudut matanya menangkap visual Zaini yang tersenyum lebar ke arahnya bersama Alvin yang duduk tenang di samping Zaini.
“Aku nggak pernah mengharapkan kesempurnaan di hidupku, tapi … Tuhan, jika Kau masih bersamaku maka mudahkanlah jalanku,” batin Safira, pasrah pada pemilik hidup. Tanpa mampu melepaskan gundah di benaknya, Safira menadatangani buku nikah yang sebelumnya sudah ditandatangani Ashqar lebih dulu.
“Alhamdulillah hirabbil alamin. Sekarang Mas AShqar dan Mbak Safira sudah menjadi pasangan suami-istri yang resmi secara hukum dan agama,” ucap penghulu, yang kalimat selanjutnya tidak Ashqar begitu pedulikan.
Ashqar telah mengalami hal ini sebelumnya, dan ia masih ingat betul nasehat-nasehat yang diucapkan penghulu. Namun, pernikahannya yang terdahulu tetap saja kandas. Ashqar melirik jari manis sebelah kanannya yang tersemat cincin hitam palladium, lalu beralih melirik Safira yang tertunduk, terlihat khidmat dalam doanya.
Ah … gadis itu. Tidak ada yang berubah dari gadis yang baru tiga-empat bulan ini dia kenal kecuali warna rambutnya, dari ungu menjadi hitam. Seperti gulali, begitu Zaini, putranya, bilang.
“Mbak Safira boleh mencium tangan Mas Ashqar. Cuma tangan ya, Mbak, yang lainnya nanti malem aja loh,” kelakar penghulu, dihadiahi gelak dari orang-orang yang menyaksikan prosesi akad keduanya.
Ashqar sedikit tersentak dan buru-buru menaikan wajah. Sejak kapan doa telah selesai? Sial! Dia benar-benar kehilangan fokus.
Safira yang telah membuka telapak tangannya membuat Ashqar benar-benar tersadar dari lamunan. Sedikit bergegas, tetapi masih bisa mengontrol diri, Ashqar mengulurkan tangan dan hampir mengambil tangan Safira sampai tiba-tiba Zaini datang ke arah mereka.
“Mamah! Kata Mas Alvin, Zain bakal punya adek, ya?” tanya Zaini penuh semangat, bergelayut manja memeluk kaki Safira.
Orang-orang di sekitar Ashqar dan Safira tertawa hampir berbarengan mendengar ucapan Zaini yang polos. Berbanding terbalik dengan Ashqar dan Safira yang saling melempar pandang sambil tersenyum kaku.
“Maafin mamah, ya, Zain. Mungkin keinginanmu itu bakal lama terwujud atau bahkan nggak akan pernah. Mamah cuma berharap pernikahan ini bisa sebaik jalan cerita sinetron,” batin Safira, mengusap surai hitam Zain. Tanpa dia tahu bahkan jalan sinetron jauh lebih rumit dari kehidupan nyata.
Sementara itu, Ashqar mesejajarkan tubuhnya dengan Zaini. “Zain harus janji dulu untuk jadi kakak yang baik.”
“Seperti Mas Alvin?”
“Iya, seperti Mas Alvin.”
Zaini menganggukan kepala penuh semangat. “Iya, Pah. Zain mau adek perempuan, ya?”
Ashqar menyunggingkan senyum tipis, sekedar membuat Zaini merasa senang. Akan tetapi dalam benaknya timbul pertanyaan lain. Bagaimana mungkin keduanya memberikan adik untuk Zaini jika pernikahan mereka hanya berdasarkan kompromi agar bisa memberikan Zaini sosok orang tua yang utuh.
Ashqar mendadak merasa pening. Dia mencoba mengingat kembali kapan dan bagaimana kekacauan ini bermula.
Itu mungkin terjadi sekitar tiga atau empat bulan yang lalu ketika Rahma, kakak perempuannya, mengirimi Ashqar foto yang diambil dari majalah dewasa. Lalu berlanjut dengan pencariannya terhadap Zaini hingga akhirnya ia bertemu Safira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
MoEsT*Mυɳҽҽყ☪bUnAaL
masih nyimak..bahasanya bagus..mudah dipahami
2021-11-16
0
Bundanya Naz
bc lg utk kedua kalinya 😍..br ngeh di sini Zain koq sdh bs sbt huruf 'k'?🤔
2021-10-14
0
Erica Rahma
lanjutt
2021-08-13
0