St. Exeter Hospital. Seorang pasien tengah mengalami masa kritisnya didalam ruang operasi, tekanan darah menurun drastis dan detak jantungnya yang dibawah angka normal pun membuat para medis yang terlibat didalam harus segera mencari solusi untuk mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.
“Rein, panggil dokter Noam untuk datang kemari, kita membutuhkan saran darinya sekarang juga. Temui dia di ruang lab,” pinta salah satu dokter yang memimpin operasi. “Mark, jepit luka dengan bulldog clamp,” imbuhnya lagi.
Sedangkan dilaboraturium, seorang dokter muda baru saja menerima hasil lab yang sejak dua jam lalu dia masukkan. Dia menelitinya dengan begitu rinci, memilih untuk duduk sejenak diruang tunggu, dia merasa ada yang aneh dengan hasil lab tersebut.
Seorang wanita tiba dengan napas tersengal, hal yang membuat dokter tersebut menoleh dengan senyum khasnya. Senyumannya itu benar-benar bisa membuat seluruh para perawat terpesona setiap kali melihatnya.
“Rein, apa yang membuatmu berlari?” ujarnya yang mencoba berjalan mendekati rekan kerjanya.
“Dokter Carol memintaku untuk memanggilmu, Daniel. Pergilah ke ruang operasi 4 sekarang juga,” ucapnya setelah napasnya teratur.
“Bagaimana hasil lab pasien gadis kecil itu, Noam?” Seorang wanita menghampirinya dengan sebuah senyuman yang tersungging dibibirnya.
“Aku menemukan kejanggalan pada hasil labnya, berikan laporan ini pada dokter Brian dan katakan padanya untuk melakukan MRI pada Via,” dia menyerahkan laporan yang berada digenggaman pada rekan timnya. “Kita harus bergegas, Rein,” tukasnya yang langsung menuju ruang operasi.
Setelah membersihkan diri dan selesai mengenakan pakaian sekaligus kacamata bedah, dia bergegas menghampiri Carol yang sudah menunggunya. Detak jantung pasien masih belum normal dan Daniel melihat apa yang telah terjadi disana.
Dengan memperhatikan setiap organ didalam tubuh tersebut serta mencari penyebab apa yang membuat pasien menjadi tidak stabil. Mengernyitkan dahinya, Daniel mengambil clamp tersebut dan memasukkan tangannya agar dapat melihat lebih jauh lagi.
“Suction,” satu tangannya terangkat ke arah samping, kemudian seorang perawat memberikan alat yang diminta oleh Daniel. “Apa golongan darah pasien? Kita membutuhkan dua kantung untuk transfusi sekarang juga,” tukasnya dengan nada yang terdengar begitu tenang.
Beruntung rumah sakit memiliki stok darah dengan golongan yang sama seperti pasien. Daniel membantu Carol untuk meneruskan operasi, dan mereka kembali lega saat semua sudah kembali stabil.
“Haruskan kita mengangkat tumornya sekaligus?” Carol menatap sebuah tumor yang kini sudah terlihat dengan jelas.
“Jangan lakukan sekaligus, Carol. Jika kau mengangkatnya dalam sekali angkat, kau akan merusak pembuluh venanya, itu akan menyebabkan jantungnya tidak mendapat pasokan darah yang cukup,” Daniel menahan tangan Carol yang hampir mengangkat tumor tersebut. “Gunakan laser untuk menghancurkan sebagian tumor, dan sebagiannya lagi kau bisa mengangkatnya.” Begitulah saran yang dia berikan, sesuai intruksinya, Carol menggunakan cara yang diberikan oleh pria dihadapannya.
Laser telah dilakukan dengan baik, kemudian Carol mengangkat sebagiannya lagi dengan begitu perlahan. Terlihat dari bentuk matanya, Carol tersenyum saat tumor berhasil dikeluarkan dari dalam tubuh pasien, sedangkan Daniel menganggukkan kepalanya menanggapi reaksi wanita di hadapannya.
“Kau bisa menutup lukanya sekarang,” begitulah ucapnya sebelum dia meninggalkan ruang operasi.
Daniel Noam, dia yang dahulu bercita-cita menjadi seorang dokter bedah pun telah mewujudkan mimpinya tersebut. Semester pertama dia berkuliah, dia benar-benar membuat para dosen serta petinggi disana dibuat kagum oleh kemampuan berpikirnya, sehingga tak membuat mereka merasa sia-sia telah memberikan beasiswa kepadanya.
Berkat keterampilan serta kecerdasan yang dimilikinya, Daniel membuat salah seorang pemimpin rumah sakit tertarik padanya. Yah, setelah setahun berkuliah, Daniel dan salah satu temannya langsung dibawa untuk melihat proses magang, bahkan ikut serta dalam operasi. Hal tersebut tidak semua orang dapat melakukan itu.
Hingga setelah tiga tahun berkuliah, dia menjadi seorang dokter magang disalah satu rumah sakit bedah ternama. Pemimpin rumah sakit sangat memercayainya hingga menimbulkan banyak rasa iri dari staff rumah sakit yang sudah bekerja lama, meski merasa memiliki saingan yang luar biasa, mereka selalu bersaing dengan sehat.
“Bagaimana? Apa Carol masih saja meminta bantuanmu? Bukankah dia pemimpin operasi itu, lalu kenapa dia tidak...”
“... bagaimana hasil MRI Via?” Daniel yang masih berjalan tampak tak menggubris pertanyaan dari wanita di sisinya.
“Paru-paru kanannya mengalami kebengkakkan dan dipenuhi dengan cairan. Dokter Brian sedang mengurus prosedur untuk membawa Via menjalani operasi,” setelah mendengar penjelasan rekannya, Daniel bergegas menuju ruangan gadis kecil disana.
Setibanya dia disana, dia tidak menemukan Via didalam ruangannya sehingga Daniel memberikan tatapan yang penuh tanya pada wanita disisinya. Yah, dia adalah teman yang dimaksudkan tadi, seseorang yang memiliki kemampuan sama seperti Daniel, tidak, tidak sama, Daniel jauh di atasnya.
“Via masih berada di ruang MRI bersama dengan dokter Brian, kau...” belum dia melanjutkan ucapannya, Daniel sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya. “Kenapa dia selalu bersikap dingin padaku? Apa aku pernah membuat salah padanya?” Rutuknya kesal dan kembali mengekori Daniel.
Ditempat yang berbeda, Callista merasa lelah karena sejak tadi terus mendengar salah satu sahabatnya menghela napasnya terus menerus. Dia bahkan tidak fokus dalam pelajaran tadi, sehingga membuat dia harus mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh dosen pembimbingnya.
“Apa terjadi sesuatu?” Callista menyahut seraya mengapit lengan sahabatnya, namun dia benar-benar tidak mendapat jawaban darinya. “Hei Eliane Hwang, apa yang terjadi?” Imbuhnya lagi yang kini mencubit lengan Eliane.
“Aku ingin ikut serta dalam pernikahan kakakku,” rengeknya dengan mengerucutkan bibirnya, itu pertama kalinya Callista melihat Eliane merajuk seperti itu hingga membuatnya sedikit terkekeh.
“Lalu, kenapa tidak pergi saja? Orang tuamu dan kak Erian pasti akan sangat senang melihat kehadiranmu disana,” ucapnya yang dibalas dengan gelengan oleh Eliane. “Kenapa?” tanyanya seraya mengernyitkan kedua alisnya.
“Apa kau lupa bahwa pekan depan adalah ujian kenaikan semester?” Kini rengekkannya kembali terdengar, bukannya kasihan, Callista justru tertawa menanggapi keluhan sahabatnya.
“Kenapa harus memusingkan itu, seminggu kemudian kau bisa mengajukan susulan, dan aku yakin jika ketua fakultas akan memberi izin padamu, kau adalah mahasiswi kesayangannya, selain itu...”
“... tidak, aku tetap tidak akan pergi. Selain ujian, aku memiliki alasan lain untuk tidak datang kesana.”
“Alasan lain?” Lagi-lagi Callista mengernyitkan kedua alisnya dan menerka-nerka alasan apa yang membuat sahabatnya tidak bisa pergi, padahal itu adalah acara pernikahan saudara kandungnya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
¥~🍭Naa_Liana🍭~¥
Hehhhh daniell dh lupa ma elianee kah? Secepat itu kah? Apa" an kamu niell🥺🥺
2021-02-21
1
Halijah
up lgi Thor ...
2021-02-16
1
Min Bee
halo babang Daniel. cari uang yg banyak buat halalin si Eliana ya
2021-02-16
1