Tidak ada kata-kata didunia yang bisa menggambarkan bagaimana bahagianya Eliane ketika bersama dengan kedua sahabatnya. Mereka benar-benar orang yang berbeda, disaat orang lain berteman dengannya hanya untuk bisa dekat dengan Erian atau sebatas melihat latar belakangnya, Callista dan Keyla benar-benar tidak memedulikan hal seperti itu.
Hal tersebut terlihat jelas karena mereka bisa berteman dengan siapa saja, keduanya bahkan sangat murah hati dan sangat mudah bersosialisasi dengan baik. Selama berada di London, sebulan sekali Eliane beserta kedua sahabatnya selalu melakukan acara amal.
Keyla, dia jarang ikut andil untuk acara tersebut. Tidak seperti Callista dan Eliane yang berasal dari keluarga berada, Keyla merupakan dari keluarga menengah, dia bahkan mampu masuk ke universitas berkat beasiswa yang didapatnya dan alasan dia jarang ikut serta yaitu karena kesibukannya dengan pekerjaan paruh waktunya.
Meski tidak berasal dari keluarga berada, dia tidak pernah merasa minder ketika sedang bersama dengan Eliane maupun Callista, lagi pula keduanya tidak pernah melihat seseorang dari kasta, karena itulah dia merasa nyaman bersama dengan dua teman lainnya.
Diwaktu yang bersamaan, seseorang ditempat yang berbeda tampak tengah sibuk mengurus segala dokumen-dokumen yang harus dia bawa untuk pertemuan besok pagi. Jam sudah menunjukkan waktu pulang, namun dia tampak tak memedulikannya.
“Jam pulang lewat dari dua jam yang lalu, mau sampai kapan kau disini, Vero?” Julian yang sejak tadi hendak pulang pun merasa tak enak karena direkturnya bahkan masih terlihat enggan untuk meninggalkan pekerjaannya.
“Jika ingin pulang, pulang saja,” mata Vero masih tertuju pada laptop yang berada dihadapannya dan hal itu hanya bisa membuat Julian menghela napasnya.
“Kau belum makan sejak siang tadi, setidaknya pergilah makan terlebih dulu, setelah itu kau bisa kembali bekerja,”
Sudah tiga tahun terakhir direktur yang sekaligus sahabatnya itu menjadi penggila kerja. Yah, hal itu terjadi lebih tepatnya setelah Eliane memutuskan untuk pergi dari sisinya, semua itu dilakukan semata-mata untuk mengalihkan pikiran sepinya.
Selain menjadi penggila kerja, Vero juga menjadi pribadi yang begitu dingin, sangat berbanding terbalik dari sikap yang melekat didalam dirinya dahulu kala. Vero yang dikenal sebagai pribadi yang hangat, ramah itu pun seakan menghilang ditelan bumi, sehingga membuat para karyawan sangat takut jika berhadap dengan Vero untuk sekarang.
“Apa kau sudah menemukan informasi mengenai keberadaan Elia?” Vero terlihat menutup laptopnya, yah setidaknya dia mendengarkan nasihat sahabatnya untuk saat ini.
“Pencarian masih dilakukan seperti biasa, setiap jam aku sudah menyuruh orang-orangku untuk mengecek jadwal keberangkatan maupun kepulangan di bandara, mereka tetap tak menemukan nama Elia disana.”
“Begitu ya,” balasnya singkat, kemudian dia pun menyambar jasnya dan segera mengenakannya. Langkah kakinya membawa dia untuk meninggalkan ruangannya, dia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan dirumah agar lebih tenang.
“Tidak bisakah kau menyerah untuk mencarinya?” Ucapan Julian berhasil menghentikan langkah Vero yang sudah berdiri di ambang pintu. Melihatnya berhenti, dalam sekejap langsung membuat Julian sedikit merinding, meski tak melihat ekspresi wajanya, dia masih bisa merasakan aura yang menyeramkan melalui punggung pria itu.
Tidak berbalik dan juga tidak menjawab, Vero kembali melanjutkan langkahnya, lalu Julian mengusap dadanya, kini dia bisa bernapas dengan lega lagi.
Tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti. Aku harap kau bisa melupakannya dan mendapat pengganti yang lebih baik lagi, Vero.
Vero yang saat ini tiba dirumahnya langsung masuk kedalam kamarnya. Membiarkan tubuhnya diguyur oleh air shower yang mengalir, dan bayangan Eliane kembali hadir didalam pikirannya.
Setiap detik, menit sampai jam, tak sedetik pun Vero tidak memikirkannya. Pikirannya selalu mengingatnya, hatinya akan kembali bergetar setiap mengingat senyum dan tawanya. Itulah sebab kenapa dia menjadi gila kerja, rasa sepi itu akan kembali menghantuinya setiap dia sadar bahwa gadis itu sudah tak bersama dengannya.
Setelah membersihkan tubuhnya, pria itu memasak sesuatu untuk hidangan makan malamnya dan betapa terkejutnya dia saat merasakan sebuah tangan melingkar dipinggangnya. Sentuhan itu membuatnya berbalik, senyumnya terukir dengan teramat sangat.
“Aku ingin memakan zurcher geschnetzeltes untuk malam ini, kak.”
“Te.. tentu Elia. Aku akan membuatkannya untukmu. Sebaiknya tunggulah di....,” hilang. Apa yang dilihatnya barusan hanya sebuah bayangannya saja. Setiap kali dia memikirkannya, dia akan selalu melihatnya dan itu sangat menyakitkan untuknya.
Makanan telah dihidangkan di atas meja, lagi-lagi dia melihat Eliane tengah menata piring disana. Bukan hanya itu, dia juga melihat gadis itu tersenyum ke arahnya. Dengan menarik kursi makan, Vero duduk disana dan akan menikmati makan malam bersama dengan gadis kecilnya.
Vero menopang wajahnya menggunakan tangan kirinya, matanya terus menatap Eliane yang tengah menikmati masakannya. Yah, dia selalu senang saat melihat gadis itu memakan masakan buatannya.
“Makanan kak Vero selalu menjadi yang terbaik,” puji Eliane seperti biasa dan Vero tersenyum mendengarnya. Saat hendak membersihkan sudut bibirnya, gadis itu kembali menghilang dari hadapannya.
Elia, aku merindukanmu. Dimana kau sekarang? Tidakkah kau memikirkanku untuk saat ini? Tidakkah kau merindukan makan malam bersamaku? Bukankah kau ingin kembali ke Felsenegg bersamaku? Apa kau melupakannya? Kembalilah padaku jika kau mengingatnya. Aku sudah hampir gila karena mencari keberadaanmu.
Pria itu meremas rambutnya dan mengacak-acaknya dengan kacau. Hatinya terkoyak, dia sudah tidak bisa lagi menahan gejolak rindu yang tertahan di relung hatinya. Dia ingin memeluk gadis itu sampai gadis tersebut menyadari betapa besarnya rindu yang tengah dirasakannya kali ini. Namun, jangankan untuk memeluknya, tahu keberadaannya saja merasa sangat sulit.
Eliane, dia yang saat ini sedang mengambil air didapur pun tiba-tiba mengalami bersin. Menggosok hidungnya dan mengambil air hangat untuknya. “Astaga, aku pasti flu akibat kehujanan kemarin.” Rutuknya yang langsung menenggak habis air digenggamannya.
“Eliiaaa~ cepat kemari! Callista sudah memainkan filmnya, jangan lupa untuk mematikan lampunya,” teriak Keyla dari ruang tengah. Mendengar teriakannya membuat Eliane menyimpan gelasnya dan berlari menuju arah kedua sahabatnya. Tak lupa juga dia mematikan lampu sesuai permintaan Keyla.
Mereka duduk dilantai yang telah beralaskan permadani, dengan menyandar pada kaki sofa, Eliane yang berada ditengah itu pun memegang snack berukuran besar untuk dimakan oleh mereka. Yah, seperti itulah pesta yang mereka lakukan selama ini. Menghabiskan malam dengan makan sekaligus menonton film bersama hingga larut.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
ifahoifah86.gmail.com hoifah
elia,aku padamu
2021-03-29
2
Yayah Khoiriyyah
lanjut
2021-02-15
2
surianti
thx upnya author.. semangat utk upnya lagi..bikin Elia ketemu ama Daniel donk author.. walaupun kayaknya Elia Masih ad perasaan am vero
2021-02-15
1