Eliane memang menceritakan segala permasalahannya pada kedua sahabatnya, kecuali pernikahan singkatnya dengan Vero. Itu merupakan hal yang sangat pribadi dan Eliane tidak bisa membeberkan hal sebesar itu pada orang lain. Bukan tidak memercayainya, dia hanya tidak ingin mengingat kejadian itu lagi.
"Terlepas dari alasanmu itu, aku akan selalu mendukungmu, Elia. Jadi, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat Keyla saja?" Callista menyahut dengan senyuman ramahnya.
"Tetapi, dia pasti masih bekerja bukan?"
"Kita tidak akan mengganggunya, kita datang sebagai pengunjung, ayo!"
Berbeda dengan Eliane yang sedang diterpa kekhawatiran karena merindukan saudara beserta keluarganya. Daniel yang baru saja tiba di ruangan MRI itu pun terkejut melihat gadis kecil di atas ranjang menangis terisak, dan hal tersebut membuatnya masuk untuk menghampiri gadis kecil itu.
"Hei, kenapa menangis? Apa dokter Brian berbuat jahat padamu?" Daniel mengusap air mata gadis kecil itu, dan gadis kecil tersebut segera mencengkram erat lengan Daniel. "Katakan padaku, apa yang kalian lakukan padanya?" imbuhnya yang menatap rekan-rekannya yang bersekatkan sebuah kaca.
Salah seorang dari mereka yang berada diluar itu pun mematikan microphonenya dan segera menghampiri Daniel yang tampak marah. Meminta Daniel untuk ikut bersamanya, sejenak membuat gadis kecil itu menatap lirih ke arah Daniel.
Memberikan sebuah senyuman hangat seraya mengusap puncak kepalanya membuat gadis itu mengangguk mengerti, dia pun melepaskan pegangannya dan membiarkan Daniel keluar bersama dengan rekannya.
"Via benar-benar di ambang kematian, Daniel." pungkas salah satu rekannya yang bernama Brian. Melihat raut wajah Daniel membuat Brian membawa Daniel untuk melihat hasil MRI yang berada di layar komputer. "Lihatlah! Terdapat sel kanker didekat paru-parunya, dan..."
"... bukankah Freya bilang hanya ada cairan di paru-parunya?" Daniel menyela ucapan rekannya.
"Yah, aku pikir awalnya sesak napas yang sering di alami oleh Via hanyalah karena cairan yang berada di paru-parunya, tetapi ketika aku menelitinya lagi ternyata ada kanker yang bersemayam ditubuhnya. Kau bisa lihat gambarnya bukan?" Brian menunjuk ke arah layar komputer dan menunjukkan letak kanker tersebut pada Daniel.
"Apa kau memberitahunya?" Brian menggeleng menjawab pertanyaan Daniel. "Lalu, kenapa dia menangis?" tukasnya seraya menatap ke arah dalam.
"Sejak tadi dia mencarimu, dia enggan melakukan MRI karena tidak ada dirimu. Disini, dia hanya memeceryaimu dan kakaknya, Daniel. Kita harus segera melakukan operasi, kau hubungi Krista agar segera mengurus prosedur operasi Via."
Setelah memberitahukan hasilnya, Brian lekas meninggalkan ruang MRI dan juga Daniel yang diam terpaku menatap gadis kecil yang tengah berbaring di ranjangnya. Beberapa detik kemudian, dia pun kembali masuk dan memeluk tubuh gadis mungil tersebut.
Via, dia adalah gadis kecil yang ditangani dalam pengawasan Daniel. Sudah tiga bulan lamanya Via berada dirumah sakit tersebut, dan selama itu keduanya menjadi sangat dekat. Daniel yang menyukai anak kecillah yang membuat mereka kian dekat.
Orang tua Via sudah tiada, dia hanya hidup bersama dengan kakak perempuannya, Krista. Dia jarang datang ke rumah sakit karena dia harus bekerja dibanyak tempat demi bisa membayar pengobatan Via, keluarga satu-satunya yang ia miliki.
Kehidupan mereka mengingatkan Daniel pada dirinya dahulu. Bagaimana dirinya harus bekerja keras demi memberi pengobatan yang layak untuk Zian. Mungkin itulah salah satu alasan Daniel membantu Krista untuk menjaga adiknya selama dia tak ada.
"Sebaiknya kau datang kemari, Krista. Via benar-benar membutuhkanmu," tukas Daniel melalui telepon rumah sakit.
"Tetapi... tabungan belum mencukupi biaya operasi itu. Tidak bisakah kau tunda dulu operasinya?" terdengar suara yang begitu parau dari seberang sana.
"Aku sarankan sebaiknya kau datang lebih dulu. Mengenai biaya, kita bisa pikirkan nanti," imbuh Daniel. Ketika wanita diseberang sana menyetujui untuk datang, panggilan pun berakhir.
Swiss. Seorang wanita tiba diruangan Erian dengan napas yang begitu tersengal, bukan hanya itu, wanita itu pun tampak habis menangis sehingga membuat Erian yang berada disana pun merasa khawatir dengan keadaan wanita di hadapannya.
Dengan menghampirinya, Erian membantunya berdiri tegak dan memintanya untuk mengatakan apa yang telah terjadi padanya. Bukannya menjawab, wanita itu justru semakin histeris, lalu Erian menuntunnya untuk duduk lebih dulu.
Terlihat sudah begitu tenang, Erian memintanya untuk mengatur napasnya lebih dulu. "Apa yang terjadi, Aurora?" pungkasnya yang tak langsung dijawab oleh Aurora. Aurora masih terlihat belum siap untuk mengatakannya, meski begitu dia harus memberitahunya.
"Cincin pernikahan kita... temanku... dia telah menipuku, Erian." Wanita itu kembali menangis setelah mengatakannya, namun Erian masih mengerlingkan dahinya tak mengerti. "Dia mengatakan padaku bahwa hari ini aku bisa mengambil pesananku, tetapi ketika aku tiba disana, gedungnya kosong. Dia membawa pergi uang cincin itu. Lalu,..."
"... kenapa kau begitu ceroboh, Aurora? Pernikahan kita bukan hanya tinggal satu atau dua bulan, pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari dan bisa-bisanya kau terkena tipu oleh temanmu?" Erian tampak marah mendengar pernyataan wanita di seberang sofanya.
"Aku juga tidak menginginkan ini. Salahku karena tidak melihat semua lisensi design serta sertifikatnya. Dia teman lamaku dan aku pikir dia tidak akan melakukan hal sekejam ini," tuturnya yang masih terdengar suara isakan.
"Jika saja kau mau menurutiku untuk memesan design pada paman Charlie, hal seperti ini tidak akan terjadi dan semua akan berjalan dengan normal. Kau sudah merusak acara pernikahan kita, Aurora. Sudah ku putuskan bahwa tidak akan ada sesi pertukaran cincin di acara tersebut." Erian lekas berdiri, mengambil dokumen yang berada dimeja dan bergegas meninggalkan ruangan, namun dengan cepat Aurora menahan lengan pria itu.
"Kau.. mau.. kemana? Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk menemaniku untuk fitting baju hari ini?"
"Rapat hari ini benar-benar tidak bisa ku tinggal. Aku akan menghubungi ibu untuk menemanimu," tanpa menatapnya, Erian melepaskan genggaman Aurora dan keluar dari ruangannya.
Butik. Sesuai yang dikatakan Erian, pria itu meminta ibunya untuk menemani calon istrinya fitting baju. Sejak tadi, Sharon memperhatikan wajah Aurora yang tampak lesu, sudah bisa dipastikan telah terjadi sesuatu antara putranya dengan Aurora.
Saat gaun pernikahan terpasang ditubuhnya pun hanya ada senyuman terpaksa dari bibirnya. "Ibu, bagaimana menurutmu?" Aurora memecahkan lamunan Sharon dan melangkah menghampirinya.
"Cantik. Tetapi, apa kau merasa nyaman? Maksudku apa kau merasa kebesaran atau ada hal lain yang ingin dirubah?" ucapnya dan Aurora hanya menggelengkan kepalanya.
Berhubung semua sudah pas, Aurora melepaskan gaun tersebut dan kembali menuju ruang tunggu. Memperhatikan calon ibu mertuanya mengurus segala kebutuhan pernikahannya dengan pemilik butik tersebut.
Mereka memutuskan untuk kembali setelah semua selesai. Persiapan pernikahan sudah hampir mencapai 100% dan itu masih tetap membuat Aurora murung.
Malam harinya, tiba-tiba saja Erian menghampiri ibunya yang berada diruang tengah. Dia bahkan berbaring dipangkuan Sharon dan Sharon tersenyum menanggapi sikap putranya kali ini.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada kalian?" tukas Sharon dengan mengusap puncak kepala putranya.
"Apa Aurora mengatakannya?" Sharon menggeleng, karena wanita itu memang tidak membahas apapun. "Aku memutuskan untuk tidak mengadakan acara tukar cincin, bu. Teman Aurora menipunya, biarlah ini menjadi pelajaran untuknya agar lebih teliti lagi dikemudian hari," imbuh Erian dengan mata menatap langit-langit.
"Nak, apa kau tahu kenapa beberapa orang banyak yang batal menikah disaat persiapan pernikahan mereka sudah hampir selesai?" menanggapi pernyataan tersebut hanya membuat Erian menggeleng. "Itu karena terjadi sebuah perselisihan kecil yang tidak dapat mereka selesaikan. Aurora seperti itu pasti karena dia terlalu bahagia, sampai dia tak memikirkan hal yang akan terjadi ke depannya."
"Tetapi jika dari awal dia menuruti perkataanku untuk mengambil design di paman Charlie, semua ini tidak akan terjadi."
"Turunkan egomu, Erian. Apa kau akan terus marah padanya dihari pernikahan kalian nanti? Jika menjelang pernikahan saja kau tidak bisa menahan egomu, kedepannya kau tidak akan berhasil untuk mengarungi bahtera rumah tangga," entah sejak kapan Charles datang dan kedatangannya tentu saja membuat Erian menghela napasnya. "Hubungi Charlie sekarang dan katakan padanya bahwa kau membutuhkan cincin untuk pernikahan kalian. Kau masih memiliki waktu untuk itu dan jangan lupa untuk meminta maaf pada Aurora."
"Baik ayah, aku akan melakukan apa yang kau pinta,"
"Selain itu, pergi dari pangkuan istriku. Kau tidak boleh seenaknya berbaring disana. Dia adalah milikku," dengan cepat Charles menarik lengan putranya agar bangun dari baringannya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Claracelia_
astga sdh tua, mash aja cmburuan😁😁😁
2021-02-17
2
ibuke Syakintul
semangat kak
2021-02-16
1
Nur Aini Tarigan
lanjut
2021-02-16
1