Eps. 05

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah membawa setumpuk buku tugas. Ini sudah jam pulang sekolah tapi karena hari ini jadwalku piket, aku masih harus berkutat dengan buku teman-teman yang harus ku kumpulkan ke meja pak guru Oshin. Jam terakhir pak guru Oshin memberikan kami tugas.

Sesampainya di ruang guru ternyata memang sepi. Pak guru Oshin bilang ia harus meninggalkan kelas karena rapat guru, mungkin saja guru-guru sedang rapat di ruang rapat. Aku langsung masuk dan mencari ruangan bertuliskan : guru Kohsi Nara. Nama lengkap walikelas ku yang masih lajang itu.

“Tidak mau.”

Aku mendengar suara yang tak asing. Aku mulai familiar dengan suara ini. Ku hentikan langkahku begitu aku sampai di depan ruangan guru Oshin. Aku melihat bayangan dua orang laki-laki yang sedang bicara. Apa guru Oshin sudah kembali ke ruangannya? Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena kaca yang dipasang di penyekat ruangan full buram. Aku menunggu sebentar.

“Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan, Hideki.”

Itu suara guru Oshin. Aku bisa mengenalnya karena hampir satu tahun aku bersamanya di kelas. Guru Oshin sedang bicara dengan Hideki. Apakah Hideki sedang ada masalah di kelas sampai ia harus dipanggil ke ruang guru? Ku rasa sejak tadi ia baik-baik saja.

“Ayahmu sudah menelponku berkali-kali. Cobalah pulang dan bicara dengannya.” Lanjut guru Oshin.

“Sudah ku bilang, aku tidak akan pulang.” Jawab Hideki tegas.

“Bagaimana kalau ayahmu marah?”

“Aku tidak peduli.”

Terdengar helaan napas panjang dari guru Oshin. Ada perdebatan alot tapi masih wajar untuk ukuran murid dan guru. Mereka sedang membicarakan ayah Hideki? Ternyata guru Oshin sangat dekat dengan ayah Hideki. Apa Hideki sedang bertengkar dengan ayahnya dan kabur dari rumah?

“Kau yakin hal seperti ini akan berakhir hanya dengan kamu tidak peduli? Bisa jadi ayahmu akan mengirim beberapa orang kemari untuk membawamu pulang secara paksa.”

“Itu tidak akan terjadi. Aku ...”

“Kau yang paling tahu siapa ayahmu.”

Tak ku dengar suara apapun dari mulut Hideki lagi tapi sepertinya ia tak bisa menjawab. Siluet tubuhnya menunjukkan kalau ia terkejut. Aku yakin ini memang pertengkaran ayah dan anak. Dan guru Oshin sedang berusaha membujuk Hideki.

“Terakhir ku dengar, ayahmu memaksamu pulang, memukulmu dan mengurungmu di kamar berminggu-minggu. Apa kau mau itu terulang lagi setelah kau kesini?” Lanjut guru Oshin.

“Tidak! Aku .... Ukh!”

“Hideki! Hei?!”

Aku mendengar suara rintihan dari Hideki. Aku belum sempat melihatnya tapi dari balik kaca Hideki mencengkeram kepalanya dan guru Oshin langsung menolongnya. Hideki kenapa?

“Kau belum sembuh? Apa kau masih terapi?” Tanya guru Oshin.

Hideki tak menjawab. Tapi aku bisa mendengar suara napasnya yang tiba-tiba terengah-engah. Kepala Hideki tiba-tiba sakit. Guru Oshin juga bicara soal terapi. Apakah Hideki sedang sakit?

Bruk!

Tiba-tiba tumpukan buku yang ada di tanganku terjatuh sebagian. Ah aku fokus menguping lagi hingga aku tak ingat kalau aku membawa tumpukan buku. Pasti Hideki dan pak guru Oshin mendengarnya. Habis sudah riwayatku! Mereka pasti mengira aku sedang menguping. Meskipun memang begitu.

Pak guru Oshin tiba-tiba membuka pintu saat aku sedang mengambili buku-buku yang jatuh. Aku mendongak. Wajah pak guru tidak kelihatan marah tapi lebih seperti cemas dan memikirkan sesuatu. Aku mencoba memperbaiki keadaanku agar tak kena marah olehnya.

“A .... Aku mau menyerahkan buku tugas ...” Kataku terbata-bata.

“Agika, masuklah.” Kata pak guru Oshin.

Aku segera mengikutinya masuk ke ruangan. Aku tak berani menegakkan kepalaku. Aku malu dan takut guru Oshin menanyaiku macam-macam kalau aku menguping. Aku melirik ke samping. Hideki duduk di kursi depan meja kerja pak guru Oshin sambil bersandar. Wajahnya sedikit pucat. Ia masih memegang kepalanya tapi begitu tahu aku meliriknya ia segera melepas tangannya dan memperbaiki keadaan.

“Letakkan saja disitu.” Perintah pak guru Oshin.

“Baik.”

Ku letakkan tumpukan buku itu di depan meja kerjanya. Ia masih berdiri di depan meja kerja pak guru Oshin. Menunggu apakah ia masih mau menanyaiku atau langsung menyuruhku keluar.

“Agika, bisakah kau antar Hideki ke UKS?” Tanya guru Oshin.

“Eh?” Aku cukup heran guru Oshin tidak mencurigaiku menguping.

“Kepalanya sedikit pusing. Ia belum tahu di mana ruang UKS.”

“Aku tak apa.” Sanggah Hideki.

Aku belum sempat mengiyakan tapi Hideki sudah bangkit dan berdiri. Ia langsung keluar ruangan tanpa bicara apapun. Terlihat sekali kalau jalannya masih sempoyongan tapi ia menolak pergi ke UKS.

Setelah berpamitan dengan guru Oshin aku langsung mencari pria dingin itu. Aku tak menemukannya di kelas tapi tasnya masih disana. Mataku sibuk mencari sosok itu. Entah kenapa aku sedikit cemas. Ia memang tak terlihat baik-baik saja. Akhirnya aku menemukannya berjalan di koridor. Aku segera menghampirinya.

“Kau baik-baik saja?” Tanyaku.

“Ya.” Hideki menjawab dengan dingin seperti biasa. Ia bahkan tak menoleh ke arahku. Ia tetap berjalan meskipun ada orang yang menghampirinya.

“Kau yakin tak ingin ke UKS?”

“Tidak.”

“Kau belum mau pulang?” Tanyaku lagi.

“Aku ada latihan hari ini.”

“Latihan?”

Aku tak sadar kalau aku mengikutinya sampai di lapangan sekolah. Banyak siswa yang sedang berkumpul bermain sepak bola. Ada yang latihan mandiri ada yang bertanding. Tetsuya dan yang lainnya juga sudah disana. Sepertinya mereka mengajak Hideki latihan untuk persiapan pertandingan minggu depan. Aku tak mengerti. Baru saja ia kelihatan sakit kepala tapi ia memaksakan diri ikut latihan sepak bola?

“Hai, Agika. Kau belum pulang?”

Pria tinggi berambut coklat dengan wajah paling bercahaya ternyata ada di sana juga. Matsu Yama. Kak Matsu tak sengaja melihatku. Ia langsung menyapaku dan tersenyum manis. Ah, senyum yang bisa membuat semua orang dekat padanya. Rasanya aku juga ingin begitu. Dekat dengannya.

“Y .... Ya. Aku ada piket jadi pulang sedikit telat. Kak Matsu sedang latihan sepak bola?” Tanyaku balik.

“Ya. Aku ikut lomba sepak bola antar kelas.”

“Eh? Kak Matsu masih mau ikut?”

“Haha. Tentu saja. Ngomong-ngomong, dia siapa?”

Kak Matsu rupanya mengamati laki-laki yang ada di sampingku ini. Ah benar, karena senang bisa mengobrol dengan kak Matsu, aku lupa kalau Hideki masih disini. Aku melirik laki-laki tampan itu.

“Aku Hideki.” Jawab Hideki pendek.

“Aku belum pernah melihatmu.” Kata kak Matsu heran.

“Kak Matsu, Hideki ini murid baru. Ia baru masuk sejak semester dua ini.” Jelasku.

“Ah! Pantas saja. Senang mengenalmu, Hideki. Aku Matsu Yama.”

Kak Matsu mengulurkan tangannya pada Hideki sebagai tanda perkenalan. Ia tersenyum manis tapi Hideki hanya membalas uluran tangannya dengan wajah datar seperti biasa. Baru kali ini ada orang yang tak terbius dengan senyum manis kak Matsu.

Sejenak berlalu, Hideki dipanggil oleh teman-teman sekelasnya yang sudah berada di lapangan. Mereka memintanya agar segera mengganti baju dan berlatih dengan mereka.

“Kau ikut lomba sepak bola antar kelas juga?” Tanya kak Matsu pada Hideki.

“Ya.”

“Berarti kita akan bertemu di pertandingan. Aku ingin melihat permainan anak baru sepertimu.”

“Aku bisa tunjukan padamu.”

“Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa di pertandingan, Hideki.”

Kak Matsu melempar senyumnya pada Hideki dan melambaikan tangannya padaku. Ia langsung kembali ke lapangan. Aku terus memperhatikannya sampai tak berkutik. Pandanganku terhadap kak Matsu sejak SMP sampai SMA tidak berubah. Ia menjadi siswa yang paling populer karena baik dan ramah ke semua orang. Dan bagiku ia adalah orang yang paling bercahaya.

“Wajahmu memerah.” Kata Hideki tiba-tiba.

“Eh?!”

Aku langsung menyentuh wajahku. Ternyata Hideki memperhatikanku sejak tadi. Aku sangat malu. Ia pasti mengira aku menyukai kak Matsu. Tapi memang benar. Aku tak pernah bisa bersikap biasa saja di depan kak Matsu Mungkin semua orang, termasuk kak Matsu, tahu kalau aku menyukainya. Aku punya banyak kesempatan untuk mengungkapkannya seperti yang dilakukan perempuan lain tapi entah kenapa aku ragu. Ragu dengan perasaanku. Alhasil aku tak pernah sampai menyatakan rasa suka ku dan akhirnya kak Matsu bersama Ayumi.

Aku belum sempat merespon perkataan Hideki padaku tapi seseorang dari jauh sudah memanggilku dan melambaikan tangannya padaku. Kazuma. Ia sudah menungguku dan mengajakku pulang bersama. Hideki melirik sahabatku itu sebentar lalu ia menghela napas.

“Aku akan pergi.” Kata Hideki.

“Sa ... sampai jumpa, Hideki.”

Hideki berlari ke arah teman-teman yang sudah menunggunya. Aku juga langsung berlari menemui Kazuma. Entah apa yang ia pikirkan ketika melihatku tadi. Rasanya tak ingin lagi Hideki melihat ekspresi wajahku. Tunggu! Baru kali ini pria dingin itu bicara lebih dulu padaku. Ia bahkan memperhatikan wajahku. Apa itu artinya kami sudah berteman baik?

***

Terpopuler

Comments

adibah doank

adibah doank

bagus kk novelnya👍👍👍... terus berkarya ya💪💪💪

2021-08-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!