Akibat Taruhan Menikah
Wanita itu menuju ke minimarket terdekat, ia membeli sekotak rokok sekaligus korek gas. Ia tak pernah merasa luar biasa kalut seperti saat ini. Ia membutuhkan sebatang atau dua batang rokok untuk membuat pikirannya tenang.
Ia berjalan menuju ke sebuah restoran cepat saji yang buka hingga dua puluh empat jam. Ia kembali duduk di salah satu meja di mana temannya sudah menunggu. Mereka saling diam tanpa mengatakan apa pun. Wanita itu membuka kotak rokoknya, sementara temannya sibuk mengunyah kentang goreng.
Ia menyulut sebatang rokok, menghisap kuat-kuat, membuat bara api merah menyala di ujung rokoknya. Kemudian menghembuskan kepulan asap dari mulut, menatap kosong kepulan asap melayang di udara malam yang mulai dingin.
Ia merasa sedikit lebih tenang, rokok memang menjadi salah satu obat penenangnya ketika ia merasa suntuk. Bukan berarti ia seorang perokok aktif, ia hanya menjadikan rokok sebagai pelarian.
Kenapa masalah tiba-tiba datang bertubi-tubi menghampirinya?
Apa memang ini sudah nasibnya?
"Vara, kau ada masalah apa?" tanya Santika ke arah wanita bernama Vara yang masih sibuk menghambur-hamburkan asap rokok ke udara.
Santika tahu teman masa kuliahnya itu merokok jika banyak masalah yang membebaninya. Santikalah yang mengajari Vara untuk merokok jika ada masalah besar untuk sekedar menenangkan diri.
Santika jadi teringat saat pertama kali Vara belajar merokok, yaitu sebelas tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Vara bahkan terbatuk-batuk heboh saat pertama kali menelan asap rokoknya.
"Banyak sekali masalahku, San," jawab Vara dengan tatapan mata menerawang.
"Kau ini, seperti kau saja yang punya masalah," cibir Santika sambil menyeruput minuman bersodanya.
"Orang tuaku mau pulang kampung, San," kata Vara.
"Kenapa?" tanya Santika sambil mengambil sebatang rokok dari kotaknya.
"Aku menolak perjodohan yang mereka lakukan," jawab Vara.
"Serius? Wah, kau benar-benar gila!" seru Santika. "Kau pikir saat ini usiamu berapa sampai kau menolak perjodohan dari orang tuamu?" lanjut Santika usai menyalakan rokoknya.
"Makanya mereka marah dan malu, akhirnya memutuskan untuk pulang kampung," jawab Vara. "Kau sendiri bagaimana?" tanya Vara.
"Aku sedih adik bungsuku akan menikah akhir tahun ini," jawab Santika sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Wah, kau dilangkahi lagi?!" Vara terpana menatap Santika.
Santika tertawa getir di sela-sela menghembuskan asap rokoknya. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara tentu saja ini masalah yang sangat besar bagi wanita itu.
"Jadi, kau ikut pulang kampung, Vara?" tanya Santika.
Vara mematikan puntung rokoknya di asbak.
"Itu tidak mungkin, San! Bagaimana dengan pekerjaanku? Aku sedang berusaha menjadi pegawai tetap di perusahaan tempatku bekerja! Tujuh tahun sudah aku berjuang untuk mendapat status pegawai tetap! Masa iya, aku harus ikut pulang kampung?!" Vara menyeruput segelas teh rasa buah lalu mengunyah kentang gorengnya.
"Rasanya aku tidak sanggup menjadi bahan gunjingan keluarga besarku, Vara," kata Santika penuh kegetiran.
"Kau pikir aku sanggup setiap hari mendengar omelan dari ibuku yang merasa sangat terganggu dengan gunjingan tetangga? Bapakku bahkan sudah menjual rumah kami untuk modal hidup di kampung!" lanjut Vara menceritakan masalahnya.
"Jadi kau akan tinggal di mana? Berencana nge-kos?" tanya Santika lagi.
"Orang tuaku tidak mengizinkanku untuk hidup sendiri! Mereka mau aku menikah agar mereka bisa tenang pulang kampung!" jawab Vara sambil memijat keningnya.
"Oh, makanya kau harus menikah agar ada yang bisa bertanggung jawab penuh, ya?" Santika menarik kesimpulan.
"Rasanya aku bisa gila! Bagaimana caraku bisa menikah hingga akhir bulan ini? Pacar saja tak punya!" keluh Vara.
"Kau ini, sudah bagus orang tuamu menjodohkanmu, bisa- bisanya kau tolak! Kita ini sudah tiga puluh dua tahun, jangan berlagak masih berusia dua puluh tahun!" celetuk Santika.
"Hei, apa kau tahu orang tuaku menjodohkanku dengan pria seperti apa? Pria yang bahkan belum menjadi suamiku tapi sudah menuntutku untuk berhenti bekerja dan fokus menjadi pembantunya saja! Sedangkan aku masih mengejar tujuanku untuk jadi pegawai tetap! Lagipula sekarang wanita jangan pernah mau bergantung sepenuhnya kepada pria! Apalagi di zaman sekarang begitu marak perselingkuhan! Istri ditinggal suami selingkuh hanya bisa menyanyi 'kumenangis membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku'!" cerocos Vara.
Santika tertawa lagi, tapi apa yang dikatakan Vara memang benar adanya. Zaman sekarang wanita yang mandiri secara finansial akan lebih beruntung daripada wanita yang bergantung kepada pendapatan suaminya. Memang, rejeki sudah diatur oleh Tuhan, tapi kemandirian finansial seorang wanita merupakan salah satu langkah meminimalisir resiko wanita agar tidak diperlakukan semena-mena oleh suaminya.
"Jadi, Vara, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Santika.
"Tentu saja mencari seseorang yang bisa bersandiwara menjadi suami!" jawab Vara.
"Kau mau melakukan kencan buta?" tanya Santika sambil menyalakan kembali batang kedua rokoknya.
Vara mengedikkan kedua bahunya, ia tak tahu harus bagaimana. Dalam lubuk hatinya ia tentu mendambakan sebuah pernikahan, namun ia tetap ingin berkarir, apalagi ia masih mengincar status pegawai tetap di tempat ia bekerja. Rasanya, ia begitu sayang melepas pekerjaan yang sudah begitu dinikmatinya dalam kurun tujuh tahun ini. Sungguh sangat disayangkan, karena ia tak kunjung mendapat promosi menjadi karyawan tetap.
Visual
Varadisa ( Vara )
Viceroy ( Roy )
Victoryo ( Ryo )
Ozy
Santika
Virda
Riko
Laras
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Kar Genjreng
ha ha ha ha ini sidah 2021 Say...🤣🤣👍👍
2023-02-08
0
Jenk Siz
nyimak lagi 😁
2021-12-26
0
Milan Oh
nyimak
2021-07-15
0