Sudah setengah jam Nana berada di dalam kamar itu. Dia ingin sekali keluar. Dia ingin tahu bagaimana keadaan Gita. Tapi sungguh dia tidak berani.
Dia memberanikan diri menarik meja kecil tadi. Menempelkan telinganya di daun pintu. Berusaha menangkap suara dari luar. Apakah perampok itu masih ada di rumah? Atau sudah pergi?
Dia menarik kunci yang masih menggantung di pintu. Mengintip dari lubang kunci. Berharap dapat melihat keadaan luar. Namun sayangnya dia tidak bisa melihat apa apa.
Menggigit kuku jarinya dan mondar mandir di belakang pintu. Itu yang bisa dilakukannya sekarang. Keluar pun dia benar-benar tidak berani. Tapi disisi lain dia begitu khawatir dengan Gita.
Di depan rumah terlihat Ega telah pulang dan memarkirkan mobilnya sembarangan. Kondisinya yang mabuk berat tidak fokus dengan sekitar.
Pintu rumah yang terbuka lebar membuatnya dengan mudah masuk begitu saja. Dengan berjalan sempoyongan dia langsung menuju kamarnya. Sekilas melihat adiknya yang tidur di sofa tanpa membangunkannya. Keadaan rumah yang sudah seperti kapal pecah tidak dipedulikannya.
Sesampainya di depan pintu kamar. Dia segera menarik gagang pintu.
"Siapa di dalam? Hei.. Buka pintunya. Gue mau masuk. Cepat buka!" hardiknya menggedor pintu dengan sebelah tangan memegang kepalanya. Pusing.
Nana yang berada di dalam semakin ketakutan. Ternyata perampok itu belum keluar dari rumah ini. Begitu pikirnya. Keringat semakin bercucuran membasahi pelipisnya. Suhu ruangan yang dingin seketika menjadi panas.
Gedoran pintu dari luar mengagetkan Nana. Kunci yang dia pegang terjatuh. Melangkahkan kakinya mundur dan tubuhnya terbentur meja.
"Kalo Lo nggak mau buka. Gue yang akan dobrak, nih, pintu!" teriak Ega.
Keadaan mabuk justru tidak menyulitkannya mendobrak pintu kamarnya. Dia dengan keras menendangnya. Hanya dengan dua kali tendangan pintu itupun terbuka.
Nana yang tidak jauh dari belakang pintu. Seketika terjatuh tertabrak pintu yang terbuka dengan keras. Menimpa kepalanya hingga dia pingsan.
Tubuh Ega yang dikuasai alkohol seketika terbelalak. "Siapa gadis ini? berani beraninya dia masuk ke kamarnya. Apa dia mau mencuri?" batinnya.
Baru saja dia akan berjongkok untuk melihat siapa gadis itu. Dia ikut pingsan juga. Pengaruh alkohol yang banyak membuat kepalanya pusing tak tertahankan. Dia pingsan dan jatuh di atas tubuh gadis itu.
..... ...
Sudah tengah malam. Gita yang tadinya pingsan di atas sofa mulai siuman. Dia memegang kepalanya yang pusing dan terbangun.
"Duh, pusing banget gue," gerutu Gita sambil terduduk. Beberapa menit kemudian dia teringat bahwa rumahnya kerampokan. Lalu dimana dia sekarang.
Dia melihat sekeliling rumah yang berantakan. "Alhamdulillah, gue selamat," ucapnya bersyukur. Lega.
Sejurus kemudian dia teringat bahwa Nana tadi bersamanya. Dan dia juga masih ingat kalau Nana berlari untuk bersembunyi. Tidak tahu dimana.
Dengan tergesa Gita masuk kedalam. Mencari dimana Nana bersembunyi. Belum sempat berucap dia sudah sangat syok melihat pemandangan di depannya.
"Hah. Astaghfirulloh..." kaget Gita berlari.
"Hei. Apa yang kalian lakukan, Ya Alloh. Kak bangun, Kak. Kalian ngapain? Ayo bangun," ucapnya menggoyangkan tubuh Ega.
Namun bukannya Ega yang terbangun justru Nana yang dulu membuka matanya. Melihat tubuhnya tertindih, Nana seketika mendorong keras tubuh Ega untuk beranjak. Kemudian menatap wajah Gita dengan menggelengkan kepalanya.
"Git. Ini nggak seperti yang Lo lihat. Sumpah! Gue nggak ngapa ngapain. Gu-gue juga nggak inget kenapa," ucap Nana membela diri.
Gita yang sedari tadi duduk berjongkok memijat keningnya. Apa yang tengah dilakukan oleh teman dan kakaknya disini. Belum sempat menjawab Nana, kedatangan orang tuanya mengagetkan mereka.
"Apa apaan ini? Kenapa rumahnya berantakan sekali, Git? Apa yang kalian lakukan disini?" hardik Bapak Gita marah.
"Te-tenang Pak. Aku bisa jelasin. Ayo kita ke depan dulu." Gita mengajak orang tuanya ke ruang tamu untuk menjelaskan kronologi yang sebenarnya.
Ibu Ve yang saat itu tengah syok melihat keadaan rumah dan ditambah dengan keberadaan Nana di kamar Ega membuatnya hampir saja pingsan. Berjalan mengikuti anaknya dengan menggandeng lengan suaminya.
"Duduk! Sekarang jelaskan sama Bapak apa yang sebenarnya terjadi. Dan kenapa ada perempuan di dalam kamar kakakmu Gita?" sentak Bapak Gita sedikit berteriak.
Pekerjaan yang menumpuk belum lagi acara kantor yang membuatnya pulang sampai selarut ini benar-benar membuat emosinya memuncak.
"Ta-tadi rumah kita kerampokan, Pak. Trus, trus aku tadi nggak tau. Bangun-bangun udah di sofa."
"Trus lagi, tadi pas ada rampok, barengan sama aku lagi ngerjain tugas sama temenku. Di-dia tadi lari ke dalam buat sembunyi. Karena aku udah di bekap sama mereka."
"Ta-tapi a-aku nggak tahu lagi Pak!" jawab Gita menunduk takut.
Terdengar helaan napas berat dari Bapaknya. Istrinya yang saat itu duduk bersebelahan dengannya hanya bisa mengusap pelan lengan suaminya. Berharap bisa meredakan emosinya.
"Panggil temanmu kesini!" perintah Bapak Malik pelan, berusaha meredam emosi.
Tanpa menjawab, Gita segera berlalu menyusul Nana yang saat ini sudah berdiri di depan kamar kakaknya ketakutan.
"Na, ayo ikut gue. Kita jelasin sama-sama, yah. Udah nggak usah takut. Mereka hanya salah paham kok," ucap Gita menenangkan Nana.
Tidak menunggu jawaban, Gita segera menarik lengan Nana untuk bertemu dengan orang tuanya. Menjelaskan kepada mereka sejelas-jelasnya.
Nana menunduk takut. Tidak berani melihat orang tua Gita. "Duduklah, nak!" perintah Pak Malik kepada Nana.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Na-nama saya Nana, Pak. Maaf sebelumnya ta-tapi ini tidak seperti yang Bapak lihat. Sa-saya tadi hanya takut. Trus sembunyi di dalam, Pak. Sumpah! Saya nggak bohong," ucap Nana berusaha membela diri.
"Sudahlah,nggak pa-pa. Bapak percaya kok sama kamu. Tapi Bapak tidak percaya kalo kalian berdua di dalam kamar dengan tidak melakukan apa-apa," senyum miring tersungging dari bibir Pak Malik.
Nana yang semula menunduk seketika mengangkat kepalanya. Syok mendengar ucapan Bapak Gita.
"Tapi kita tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya berani di sumpah pocong. Saya tadi hanya pingsan karena ada seseorang yang mendobrak pintu. Cuma itu aja, Pak," sanggah Nana.
"Itu katamu. Tapi kamu tidak tau apa yang dilakukan anak saya waktu kamu pingsan 'kan?"
"Saya tidak mau tau. Pokoknya kalian harus menikah!" tegas Pak Malik meninggalkan mereka.
Nana hanya melongo, bingung. Apa yang di dengarnya tidak salah? Menikah. Lelucon macam apa ini. Dia harus menikah karena sesuatu hal yang tidak tau salah siapa.
Ibu Ve yang ikut bingung mencoba menenangkan Nana.
"Sudahlah, Nak. Kamu nggak usah takut. Mungkin Bapaknya Gita masih emosi. Jadi makhlum, ya. Jangan diambil hati. Biar saya nanti yang ngomong," ucapnya.
Ibu Ve tahu kalau ini hanya akal-akalan suaminya agar anaknya segera menikah. Ya, Ega sudah berusia 26 tahun. Kuliah yang tidak terurus ditambah perilakunya yang semakin menjadi.
Bermabuk-mabukan, judi, dugem dan masih banyak hal-hal buruk lain yang dilakukannya. Semakin membuatnya terlihat miris. Mungkin dengan menikahkannya dia bisa kembali seperti Ega yang dulu. Menjadi anak yang bisa dibanggakan orang tua. Dan melindungi keluarganya.
Ibu Ve berjalan menyusul suaminya. "Pak, apa kita tidak salah mau menikahkan Ega. Ibu percaya mereka tidak melakukan apapun. Ibu juga tau Bapak hanya main-main saja 'kan?"
Lagi-lagi Bapak Gita hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Bapak tidak main-main, Bu. Dengan menikahkan Ega. Mungkin dia bisa menjadi anak yang lebih baik lagi. Kembali seperti Ega yang dulu. Dan Bapak lihat, gadis itu gadis yang baik. Apa salahnya menikahkan mereka? Lagi pula inilah waktu yang tepat."
"Tapi Nana masih sekolah, Pak. Dan dia juga belum menyetujui ini. Bapak yang memaksanya. Belum lagi bagaimana jika orang tuanya juga tidak setuju?"
"Itu masalah gampang, Bu. Biar Bapak yang mengatur semuanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Ira Irawati
lanjut penasaran jd mampir dh lnjutt
2022-02-17
1
Hamzasa
bapak..cakep banget idenya...
2021-09-19
1
Wulan Sari
kalo aku sih mending di visum deh dari pada sumpah pocong
2021-04-08
1