Pagi ini Nana terbangun dengan kepala yang terasa berat. Kurangnya jam tidur dan beban pikiran yang seakan memenuhi otaknya membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur.
Dia membuka matanya. Menelisik setiap jengkal ruangan. Menoleh ke samping, memperlihatkan Gita yang masih bermimpi indah. Dia beranjak berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Nana memandang wajah basahnya di depan cermin di dalam kamar mandi. Terdengar helaan napasnya yang terasa berat. Dia tengah dalam kebingungan.
"Ya Alloh, apa yang harus kulakukan? Ibu, bagaimana kalo Ibu tahu semua ini? Apa yang harus ku katakan padanya nanti," batin Nana mengusap wajahnya kasar. Berkali-kali membasuhnya dengan air berharap bisa menjernihkan otaknya lagi.
Setelah selesai menyibukkan diri di kamar mandi, dia bergegas keluar. Dia harus menyelesaikan satu per satu urusannya hari ini. Belum lagi tugas sekolah yang belum selesai ditambah dengan beban lainnya.
Tanpa membangunkan Gita. Dia bergegas mengambil barang-barangnya dan langsung pulang. Dia harus menjelaskan semuanya kepada ibunya.
Ditempat lain, orang tua Gita baru saja meninggalkan rumah Nana. Ibunya yang masih sedikit ragu dengan keputusannya terlihat mondar mandir di depan rumah. Baru saja dia hendak melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Panggilan dari putri satu-satunya menghentikannya.
Nana yang setengah berlari dengan memanggil-manggil ibunya menghentikan langkahnya tepat di depan rumahnya. Berulangkali meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menetralkan napasnya yang memburu.
"Ibu!" Panggil Nana sambil mengatur napas.
"Bu, aku bisa jelasin. Kenapa aku semalem nggak pulang. Aku--
Belum sempat Nana melanjutkan pernyataannya ibunya sudah menghentikannya berbicara. "Stop, Na! Ibu sudah tahu semuanya. Ayo, kita masuk dulu. Kita bahas di dalam."
Tanpa menunggu jawaban anaknya, bu Saroh menggandeng tangan Nana dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
"Sini duduk kamu!"
"Kamu ini bener-bener, ya. Masak mau dikawinin anak orang nggak minta restu sama ibu. Kamu 'kan masih sekolah, Na. Ijin dulu gitu, kek, sama ibu. Ini malah sembuarangan aja," goda bu Saroh sambil menahan senyum.
"Eh, nggak gitu, Bu. Ibu itu salah kaprah, eh salah paham. Aku, tuh, dijebak, Bu. Sumpah aku masih perawan, masih gadis. Ibu nggak percaya?"
"Ini, nih, cuma akal-akalan orang tua Gita aja biar cepet dapet mantu. Apa jangan-jangan mereka mau manfaatin aku ya, Bu? Bahkan aku nggak dikasih waktu buat jelasin semuanya. Mereka main seenaknya aja mutusin sesuatu sepihak."
"Padahal 'kan semua itu hanya salah paham, Bu," jawab Nana dengan sendu. Dia menjelaskan rentetan kejadian dari awal sampai akhir dengan deraian air mata. Dramatis sekali.
Bu Saroh hanya diam mendengarkan penjelasan putrinya. Dia mencocokkan apa yang diceritakan anaknya sama atau tidak dengan penjelasan orang tua Gita. Dan dia tidak menemukan perbedaan itu. Ternyata orang tua Gita tidak membohonginya. Begitu pikirnya.
"Sudah Na, nggak usah sedih gitu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tadi orang tua Gita kesini. Mereka sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi." Bu Saroh mendekati Nana dan mengelus pundaknya pelan.
Nana yang kaget akan hal itu kemudian menoleh. "Trus, ibu jawab apa, dong?"
"Sebenarnya ibu bimbang, Na. Hanya saja ibu ingin kamu bisa meraih cita-cita kamu. Bersekolah sampai ke jenjang yang tinggi. Bisa bergaul dengan teman-temanmu yang lain."
"Ibu sudah tua, Na. Ibu pikir dengan menerima keputusan mereka tidak ada salahnya. Kamu akan tetap bisa bersekolah seperti biasa. Nggak ada yang berubah. Jadi, apa kamu mau menikah muda, Na?"
Nana hanya melongo mendengar penjelasan ibunya. Bukannya ibu harus membela anaknya ketika mereka benar. Ini kenapa seolah-olah ibunya pun tidak berada di pihaknya sama sekali.
"A-apa? Ja-jadi ibu mengiyakan permintaan mereka? Jadi ibu menyuruhku untuk menikah juga?"
"Ck! Bu, 'kan tadi aku udah jelasin semua. Masa iya, sih, Bu aku nikah sama orang yang sama sekali nggak aku kenal. Kakaknya Gita itu tukang minum, loh. Suka mabuk-mabukkan. Mainnya ke club malam, Bu."
"Apa ibu rela kalo anak ibu satu-satunya ini dinikahi oleh pemuda macam begitu? Huh!" Emosi telah menguasai dirinya saat ini. Dia tidak habis pikir, kenapa ibunya bisa berpikir sependek ini?
"Aku nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, Bu. Itu memang keinginanku. Tapi masih banyak cara yang lain. Aku nggak mau menikah muda."
Tanpa menunggu jawaban ibunya. Nana bergegas masuk ke dalam kamar. Sungguh dia diliputi emosi. Lebih baik dia menenangkan diri dulu. Daripada berakhir debat dengan ibunya. Dia hanya tidak mau melukai hati ibunya.
Bu Saroh diam mematung mendengar penjelasan Nana. Anaknya memanglah benar. Tapi apa salahnya kalau dia menikahkannya dengan anak itu. Bukankah manusia tempat salah dan dosa. Ah, mungkin dia harus bersabar dulu menghadapi anaknya. Biarlah dia menenangkan diri dulu.
.........
Sementara Ega yang sudah bangun dari tidurnya merasa ada sesuatu yang aneh. Pintu kamarnya jebol. Ada apa ini?
"Sial! Kenapa gue bisa tidur disini. Duh, mana badan sakit semua," gumam Ega kemudian berdiri dengan merentangkan kedua tangannya. Merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku semua.
Kemudian dia berjalan menuju dapur. Membuka kulkas dua pintu yang ada di depannya dan menenggak habis air dingin yang telah diambilnya.
Mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi dan menyandarkan punggungnya. Menaruh botol air dingin itu di meja. Dia termenung sejenak. Mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi sialnya dia tidak ingat apapun.
"Pagi, Kak. Kenapa ngelamun?" tanya Gita yang baru saja duduk di samping kakaknya.
"Oh ya, Kakak lihat Nana nggak? Kok, aku bangun udah nggak ada ya? Kemana, tuh, anak?"
Ega yang merasa heran pun dibuat bingung. "Nana? Emang temenmu itu ada disini? Perasaan dari tadi nggak ada siapa-siapa deh."
"Hah! Masak, sih, Kak? Nana itu semalem tidur sini. Tapi pas aku bangun udah nggak ada. Udah pulang kali, ya?"
"Ya mana gue tahu. Dibilangin nggak ada malah ngayal!" jawab Ega sambil menjitak adiknya.
"Duh. Sakit tahu! Oh ya, Kak, semalem rumah kita kedatangan rampok. Tahu, tuh, untung tv doang yang ilang."
"Eh, apa? Kemalingan maksud kamu, Ta?"
"Ya iya. Maling sama rampok beda dikit deh perasaan. Oya, satu lagi. Kakak mau dinikahin sama si Nana."
"Apa!!" Teriak Ega.
"Lo jangan macem-macem deh, ah. Main nikah sembuarangan! Kerja aja enggak, main nikah, nikah."
"Ya terserah. Nih, buktinya, ya, yang pertama gara-gara rampok itu tugas kelompok aku sama Nana itu berantakan. Yang kedua hari ini aku jadi bolos 'kan. Yang ketiga gara-gara Kakak, Nana mau dinikahin, tuh, sama Kakak."
"Enak aja main nyalahin gue. Gue nggak tau apa-apa ya, disini. Kenapa, sih? Salahku dimana coba?"
"Ta. Gita. Tunggu! Ta!"
"Dasar adek kiringijir!" umpat Ega sambil menggedor-gedor pintu kamar Gita.
Gita yang saat itu belum mencuci muka dan menggosok gigi selepas bangun tidur, bergegas pergi. Masuk ke kamar mandinya tanpa menggubris panggilan kakaknya yang saat ini begitu penasaran.
Dia begitu senang menjahili kakaknya walaupun apa yang dikatakannya memang benar. Gita tidak peduli. Dia tengah puas mengerjai kakaknya yang keras kepala itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Daffodil Koltim
dasar ega gendeng,,,,
2021-04-07
3
Enka Idris
Kamu yang KiringIjir Egaaaaaaak
2021-03-26
4