Suasana jam makan siang di restoran 'Avec Amour' cukup ramai karena jam makan siang adalah kesempatan bagi mereka para pekerja untuk melepaskan diri dari tugas sejenak. Karena memang restoran ini letaknya dekat dengan beberapa perusahaan maka tak heran jika selalu ramai pengunjung.
'Avec Amour' memiliki bangunan bergaya klasik modern dengan luas 1000 m2. Terdapat lima VIP room yang mempunyai deretan jendela kaca mozaik dengan warna warni pastel yang mendominasi menciptakan atmosfer yang hangat.
Terdapat kurang lebih 100 tempat duduk yang terbagi tiga, ruang VIP, teras dan bar. Bagian belakang ada kantor, dapur, loker pekerja bahkan ada sedikit taman untuk para pekerja agar terhindar dari kejenuhan. Restoran ini buka dari pukul 12.00 sampai dengan 21.00
Hari ini benar - benar melelahkan lengkap sudah dengan drama satu babak kedatangan Tuan Adam. Sambil duduk dan memandang bunga - bunga ditaman belakang, Jenar menghela napas panjang meregangkan otot - otot dibadannya.
" Capek Nar?" tanya Hana, Jenar menoleh ke arah suara.
"Eh mbak Hana, iya mbak sedikit." ucap Jenar sedikit meringis.
"Ini kan pengalaman pertama kamu, nanti juga terbiasa." ucap Hana sambil menyeruput secangkir kopi ditangannya. "Dulu waktu pertama kali kerja aku juga sering kena marah chef Efendi, karena sering keliru dalam menilai mutu dan kualitas bahan untuk restoran ini." cerita Hana sambil menerawang jauh ke masa lalunya.
"Awalnya aku ingin terlihat sempurna di hari pertama kerja mbak, tapi ini diluar ekspektasiku ada yang suka dan tidak suka." ucap Jenar
"Tidak ada sesuatu yang sempurna Jenar, semuanya butuh proses." jelas Hana sambil menepuk bahu Jenar. "Sudah tidak usah dipikirkan, sekarang kamu beres - beres sebentar lagi restoran tutup, semangat ya."
"Makasih mbak" ucap Jenar segera meninggalkan restoran karena sudah hampir jam sepuluh malam. Ia membereskan semua pekerjaannya dan memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal.
Sampai diparkiran Jenar mengambil sepeda listriknya.
Untung sepedaku tidak rusak, awas kalau sampai ketemu lagi sama pria angkuh itu, aku tidak akan segan - segan menendangnya batin Jenar geram.
Jenar melajukan sepeda listriknya dengan kencang menembus dinginnya malam. Menerjang kepadatan kota Jakarta. Walaupun sudah berusaha mempercepat laju kendaraan keadaan berkata lain. Jakarta identik dengan kemacetannya.
Ketika sampai didepan rumah dia segera memasukkan sepeda listriknya diruang tamu. Rumah yang hanya berukuran 20 x 15 m2 dan didominasi warna biru muda itu tempat, Jenar tumbuh dewasa. Walaupun rumah peninggalan ayahnya sangat kecil tetapi Jenar dan ibu sangat bahagia.
"Assalamu'alaikum bu."
"Wa'alaikumsalam, kok pulangnya sampai larut nak?" tanya ibu khawatir. Jenar menghampiri dan mencium tangan ibu.
"Tadi restoran tutupnya jam sembilan malam bu, beres - beres sebentar terus pulang. Ibu kan tahu Jakarta kalo malam kan macet jadi jam sebelas baru sampai rumah deh." Jenar menjelaskan sambil meneguk air putih.
"Sudah makan?"
"Sudah, tadi di restoran tapi ini masih laper he..he..he.." ucap Jenar sambil memeluk ibu dari belakang. "Ibu masak apa?"
Sambil mengusap tangan Jenar. "Cuman sayur lodeh sama ikan asin."
"Hmmm.. mau, suapin ya bu."
"Iya, iya dasar manja, sudah sana mandi dulu."
"Siap kanjeng mami."
"Eh sejak kapan ibu jadi kanjeng mami. Jangan sembarangan ah."
"Bercanda bu."
Jenar bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri dari segala kepenatan tubuhnya. Setelah selesai dihampirinya ibu di depan televisi
"Sudah selesai?" tanya ibu
Jenar mengangguk sambil membuka mulutnya lebar - lebar. "Aaakkk." Ibu tersenyum melihat tingkah laku anak semata wayangnya itu. Disuapkannya makanan itu satu demi satu sampai habis tanpa sisa..
"Hmm enak bu, tenaga dan semangat Jenar kembali pulih. Memang masakan ibu tiada duanya." puji Jenar sambil mengacungkan jempol.
"Jenar."
"Ya bu." Jenar menoleh kearah ibu, yang dilihat dari raut wajahnya akan bicara hal serius.
Sambil meletakkan piring dimeja ibu melanjutkan perkataannya. "Ibu rasa kamu harus cari tempat kos atau kontrakan yang dekat dengan tempat kerjamu."
"Ibu mengusir aku." ucap Jenar sambil cemberut
"Dengarkan ibu dulu, ibu tidak mengusirmu. Ini hanya saran saja karena ibu tidak tega kalau kedepannya kamu pulang larut malam terus." ibu menjelaskan maksud dari perkataannya. "Coba kamu pikir, kamu keluar dari restoran sudah jam sembilan malam. Jarak restoran sampai kerumah jauh, belum lagi kalau macet. Ibu khawatir kalau pulangmu larut malam akan rawan kejahatan, ini Jakarta Jenar." lanjut ibu
"Jenar tadi memang sempat kepikiran untuk pindah bu, tapi tidak tega kalau harus meninggalkan ibu sendirian." dengan nada sedih Jenar menyandarkan kepalanya dipundak ibu.
"Ibu nggak apa - apa kamu tinggal sendiri, kan kamu bisa pulang kalau hari minggu".
"Bener ibu nggak apa - apa?" Jenar membelalakkan matanya tidak percaya.
Ibu mengangguk dan mengusap kepala Jenar penuh kasih sayang.
" Kalau begitu besok Jenar akan cari informasi tempat kos atau kontrakan yang dekat dengan restoran."
"Sekarang kamu istirahat, biar besok segar lagi."
"Ya bu." ucap Jenar sambil mencium kedua pipi ibu "Selamat malam bu"
Jenar menuju ke dalam kamar merebahkan tubuhnya yang penat. Pada akhirnya kita mengingatkan diri bahwa hari ini kita melakukan yang terbaik yang kita bisa dan itu sudah cukup baik.
🍁🍁🍁🍁
Keesokan paginya Jenar melakukan rutinitas seperti biasanya. Karena restoran pada hari minggu tutup ia pergunakan untuk mencuci, membersihkan rumah, menyiram tanaman. Tiba - tiba ia teringat mbak Hana siapa tahu bisa carikan tempat kos atau kontrakan. Jenar memutuskan untuk menelepon.
" Hallo mbak Hana." sapa Jenar di dalam telepon
"Ya Jenar ada apa?"
"Gini mbak, kira - kira mbak Hana tau tidak tempat kos ato kontrakan yang deket sama restoran?"
"Kebetulan sekali pas kamu telepon. Ini ada temenku yang mau menyewakan rumahnya, jaraknya deket banget sama restoran kurang lebih sepuluh menit perjalanan."
"Ya.. iya aku mau mbak." Jenar mengangguk angguk kegirangan
"Alamatnya aku shareloc ya."
"Makasih banyak bantuannya mbak Hana."
"Iya sama - sama Jenar."
Jenar menutup telepon sambil berjalan menuju kamar dan berganti pakaian. Jenar memakai celana jeans, kaos putih dipadukan dengan kardigan rajut warna biru, dengan rambut kucir kuda tak lupa sepatu sneakers kesayangannya. Walaupun sol nya sudah menipis tetapi masih nyaman dipakai.
"Bu, Jenar pamit keluar dulu ya."
"Mau kemana siang - siang begini?"
"Tadi aku telpon mbak Hana buat nyari info soal sewa rumah dan kebetulan ada temannya yang menyewakan rumahnya. Deket sama restoran kira - kira hanya sepuluh menit."
"Ya sudah, coba kamu cek dulu tempatnya."
Jenar langsung berpamitan dan mencium tangan ibu. Dikeluarkannya sepeda listrik kesayangan yang selalu mengantarnya kemana saja.
"Eh jangan lupa makan siang."
"Siap kanjeng mami." ucap Jenar melajukan sepedanya. Ibu hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala melihat tingkahnya.
Siang ini benar - benar panas tapi tidak menyurutkan semangat Jenar, peluh menetes membasahi wajah dan tubuhnya.
"Akhirnya sampai juga." gumam Jenar bernapas lega.
"Ini yang mana ya? Rumahnya kok berdempetan begini." gumam Jenar kebingungan.
Kenyataannya memang ada dua buah rumah yang berdempetan dalam satu halaman. Yang satu berwarna hijau muda yang satunya lagi berwarna coklat pastel. Tidak terlalu besar masing - masing rumah.
berukuran 10 x 15 meter.
"Coba aku tanya mbak Hana dulu." sambil merogoh handphone disakunya
Tiba - tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang
"Cari siapa neng?"
Jenar kaget dan menoleh ke arah suara tadi
"Eh, anu pak mau cari yang punya rumah ini" jawab Jenar berusaha menetralkan rasa kagetnya
Kami saling menatap. Eit tunggu dulu aku sepertinya pernah melihat bapak ini tapi dimana ya. Jenar berusaha mengingat - ingat. O..o.. iya aku ingat bapak ini kan sopirnya pria angkuh dan super sombong itu.
"Kayaknya saya pernah melihat eneng, tapi dimana ya?" ucap bapak itu sambil menggaruk garuk kepalanya
"Bapak lupa, kita kemarin hampir bertabrakan di depan restoran 'Avec Amour'."
"Ya..ya..iya bapak ingat. Tapi ngomong - ngomong eneng kesini bukan mau menuntut pertanggung jawaban bapak kan?" seketika wajah bapak itu berubah cemas.
"Ha..ha..ha.. bukan pak, saya kesini karena mau cari rumah yang disewakan. Ini alamatnya." ucap Jenar sambil menyodorkan secarik kertas.
"Lah ini sebelah rumah saya neng, ayo masuk dulu kita bicara di dalam. Nggak enak dilihat tetangga."
Jenar mengikuti langkah bapak tadi masuk kedalam rumah. Kalo diperhatikan rumah ini memang berdempetan, temboknya menyatu walaupun memiliki halaman yang kecil tapi terlihat asri dengan adanya pohon jambu di depan rumah. Bapak tadi mempersilahkan aku duduk di rumah yang bercat hijau muda.
"Mari neng silahkan masuk, sebentar saya panggilkan istri saya." bapak tadi masuk untuk memanggil istrinya. "Bu..bu.. ada tamu."
Seorang wanita setengah baya dengan badan gemuk mengenakan daster bercorak bunga - bungan keluar dari dalam rumah.
"Siapa pak?" tanya wanita itu
"Ini mbak____ eh siapa tadi?"
Kami sampai lupa berkenalan karena keterkejutan satu sama yang lain
"Mahesa Jenar, panggil saja Jenar." ucap Jenar sambil mengulurkan tangan
"Saya mang udin, ini istri saya bik Ijah." jawab mang Udin sambil membalas jabatan tangan Jenar.
"Gini lo bu, neng Jenar ini yang mau sewa rumah sebelah."
"Oalah" teriak bik Ijah. Memang bik Ijah ini suaranya menggelegar sekali. "Jadi gini neng Jenar sebelah rumah ini kan milik adik saya, kebetulan dia jadi TKI di Arab Saudi makanya disewakan daripada kosong. Harap maklum karena ini tanah warisan jadi modelnya memang berdempetan" jelas bik Ijah.
"Kira - kira berapa biaya sewanya bik?" tanya Jenar
"Adik saya menawarkan lima belas juta untuk satu tahun." jawab bik Ijah.
What lima belas juta, dapat duit dari mana kerja saja baru sehari batin Jenar. "Hmm kalo misalnya saya bayar tiap bulan gimana bik, bisa tidak?" tawar Jenar.
" Bisa..bisa neng.. adik saya fleksibel yang penting rumahnya dirawat." jawab bik Ijah
"Alhamdulillah, terimakasih banyak bantuannya mang udin, bik Ijah."
"Mari neng saya antar lihat rumahnya." ajak Ijah.
Kami segera beralih kerumah sebelah. Rumah ini baik dalam maupun luar berwarna coklat pastel. Memiliki ruang tamu, ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Ini sudah cukup bagus untuk aku tempati. Apalagi barang - barangku tidak terlalu banyak. Disini masih ada beberapa perabotan yang ditinggal seperti kursi tamu, meja makan dan almari pendingin.
"Kira - kira kapan neng Jenar mau menempati?" ucap mang Udin memecah kesunyian.
"Secepatnya mang, nanti saya angkut sedikit demi sedikit barang saya."
"Kalau memang perlu bantuan jangan segan - segan meminta tolong ya neng."
"Iya mang, pasti." ucap Jenar sambil tersenyum. "Baiklah mang Udin, bik Ijah saya akan menyewa rumah ini. Sementara ini saya permisi dulu, mungkin mulai besok saya sudah membawa barang - barang dan uang tanda jadi."
"Baiklah kalau begitu neng, ini kunci rumahnya saya serahkan. Hati - hati dijalan. "Ucap bik Ijah
Terpancar kelegaan diwajah jenar. Segera ia pulang mempersiapkan diri memulai babak baru dalam hidupnya. Cuma doa yang dipanjatkan agar selalu diberikan kemudahan dan kelancaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Nada Sunaryo
perasaan 20x15 mah termasuk gede lah Thor😁😆. perumahan type 36 aja kalah ituuu🤭
2024-11-11
0
🍓🍓🍓
20x15 m2 di bilang kecil apa kabar rumahku yg hanya ukuran 6x17
2024-08-13
1
Kenzi Kenzi
mehong,....
2022-09-20
1