Engkau mengembalikan manusia kepada debu.
Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.
Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu.
Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh.
Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.
...🕊️🕊️🕊️...
Mimpi itu lagi! pikir Gabrielle seraya menarik bangkit tubuhnya dari lantai, di depan pintu kamarnya. Aku ketiduran di depan pintu, ia menyadari. Kemudian memeriksa dirinya dan menelan ludah.
Ia masih mengenakan pakaian petarung lengkap dengan sepatu tentara setinggi lutut. Ia bahkan masih mengenakan jaket kulit hitam mengkilap yang melekat ketat membalut tubuhnya.
Lalu ia teringat pria asing yang semalam mendatanginya. Itu juga pasti hanya mimpi, pikirnya. Tapi kemudian ia ingat kedatangan pria itu terjadi sebelum ia jatuh tertidur. Ia bahkan jatuh tertidur karena ketakutan setelah bertemu pria itu.
Kenapa aku bisa memimpikan hal yang sama?
Mimpi tentang tsunami itu sebetulnya adalah mimpi masa kecilnya.
Gabrielle tahu malapetaka itu akan terjadi---entah kapan, berapa lama lagi, semua orang takkan pernah tahu. Tapi ia bisa merasakannya---mimpi itu segera terjadi.
Gabrielle tak pernah mengerti kenapa ia memimpikan hal seperti itu.
Usianya baru sepuluh tahun ketika ia memimpikannya pertama kali. Tapi ia tak pernah bisa melupakan mimpi itu sampai sekarang.
Orang-orang tua bilang, bermimpi tentang air biasanya berkaitan erat dengan kebencian banyak orang. Sebagian berkata simbol air merupakan sumber rejeki.
Ia tidak tahu mana yang benar.
Yang ia tahu, ia hanya terlalu capek!
...Sebagaimana mimpi disebabkan oleh banyak kesibukan, demikian pula percakapan bodoh disebabkan oleh banyak perkataan....
Sebuah situasi tertentu terkadang membuatnya merasakan mimpi itu kembali. Menghampiri dan menyergapnya seperti kenyataan.
Di waktu lainnya, ia merasakan kenyataan seperti mimpi.
Ada dua mimpi dari masa kecilnya yang tak dapat ia lupakan: Yang pertama, mimpi tsunami tadi. Yang kedua, mimpi balita---saat usianya baru tiga tahun, di mana ia hanya melihat dirinya mengenakan celana loreng dengan kantung besar di kedua sisinya, berlari ketakutan melihat truk pasir berwarna kuning---di kota kecil tempat kelahirannya para orang tua biasa menakuti anak-anak mereka dengan mengatakan truk pasir berwarna kuning adalah mobil penculik---ia berlari ke dalam hutan untuk menghindari truk pasir itu dan tersaruk-saruk di antara semak ilalang seraya memegangi kantung besar pada celananya yang berisi penuh buah-buahan aneh tanaman rambat.
Ia tidak pernah tahu apa arti kedua mimpi itu. Ia juga tidak ingin tahu kenapa ia memimpikannya.
Sebuah pepatah mengatakan, "Hidup berawal dari mimpi."
Anggap saja mereka benar!
Ia bisa menjadikannya sebagai motivasi---melatih diri untuk mengatasi rasa takut.
Lagi pula siapa peduli dengan pepatah konyol soal mimpi.
Ia juga tidak!
Ia hanya penasaran, kenapa ia selalu mengingatnya---tak bisa melupakannya.
Kedua mimpi itu melekat sempurna dalam ingatannya---detail-detailnya. Ia bahkan masih bisa melihat hal-hal kecil yang ia lihat di dalamnya, setiap kali ia menutup mata, merasakan kegelisahannya---seperti trauma---ketakutannya, keputusasaannya, perasaan diabaikan, dan berdiri sendirian di muka bumi, mencari-cari sosok asing yang terasa khusus---seperti mencari tempat yang tepat untuk ia pulang.
Seluruh emosi negatif dalam mimpinya menjadi semacam pola signifikan dalam hidupnya dari waktu ke waktu.
Dan sekarang mimpi itu kembali---sama persis!
Emosi negatif dalam mimpinya masih terasa nyata---membelenggu dirinya. Perasaan khas yang sama seperti ketika pria itu menghilang.
Gabrielle melucuti pakaian dan seluruh atribut petarungnya, kemudian menjejalkan semuanya ke dalam koper khusus yang selalu disembunyikannya. Lalu mendorong koper itu ke tempat semula ia menyembunyikannya. Dengan langkah tertatih, ia mengenakan jubah mandinya dan bergegas ke kamar mandi---mengguyur sekujur tubuhnya dengan air dan menenggelamkan diri dalam kesibukan mandinya.
Begitu selesai, ia kembali lagi ke kamarnya dan mengurung diri. Tapi tak segera mengganti jubah mandinya.
Ia menyeduh secangkir kopi dan bersila di tempat tidurnya seraya berusaha menghubungi seseorang.
Diana Magdalena---nama pertama yang melintas di kepalanya setiap kali ia membutuhkan pertolongan psikologis---psikolog pribadinya.
Diana adalah teman dekatnya semasa sekolah. Sekarang aku jadi pasiennya, kenangnya getir.
"Énn, apa kau sibuk?" tulisnya pada aplikasi pesan yang kemudian dikirimnya ke nomor Diana dan tertunda. Itu adalah gaya bicara Gabrielle dengan Diana---baku. Tapi itu bukan hambatan untuk membicarakan banyak hal. Hanya waktu Diana.
Gabrielle mendesah.
Siapa lagi yang dapat ia percayai untuk membicarakan masalah kejiwaan---sekiranya itu memang masalah kejiwaan, ketika Diana tak dapat dihubungi?
Mungkin Ardian Kusuma---pengkhotbah tampan yang biasa melayani konsultasi spiritual di gerejanya. Ia biasanya terbuka untuk membicarakan apa pun pada pria itu kecuali soal pria lain. Dan Gabrielle menganggap masalahnya kali ini adalah masalah pria lain.
Aku tidak bisa membicarakan masalah ini pada Ardian, pikirnya. Gabrielle tahu persis Ardian Kusuma menaruh hati padanya sejak lama. Pembicaraan ini bisa saja melukai perasaannya.
Lalu ia ingat seseorang yang selalu setia menjadi pendengar yang baik---Vita Suzanna. Vita mungkin bukan ahli psikologi, ia juga bukan juru layanan konsultasi spiritual, tapi ia tahu Vita Suzanna bisa dipercaya. Selain itu Vita juga adalah teman seiman. Membicarakan hal ini dengan Vita adalah keputusan yang paling tepat.
Lalu tanpa pikir panjang ia pun mulai mengetik: "Aaaaaaaay...!" itu adalah panggilan kasih sayang Vita dan Gabrielle.
"Iyak, Aaaaaaaay....?!" balas Vita.
"Lagi di mana?" tanya Gabrielle.
"Beta lagi kongser, Ay, bareng ce-ep-deh!" maksud Vita konser bareng CFD, komunitas musik akustik yang menaungi sebagian musisi jalanan di kota Tangerang.
"Beta pen curhat..." begitulah gaya bicara Gabrielle kepada Vita. Gabrielle selalu punya gaya bicara yang berbeda-beda untuk setiap orang.
Tak lama kemudian panggilan telepon masuk dari Vita Suzanna.
"Yailah..." erang Gabrielle setelah menekan tombol terima. "Pake i.t.i.l.i.p.u.n!"---maksudnya telepon.
Mereka berdua sudah terbiasa membuat pelesetan kata untuk menyamarkan banyak hal. Tapi khusus untuk yang satu ini sudah jelas hanya lucu-lucuan. Selera humor keduanya lebih mengerikan dibandingkan Bobi. Selera humor mereka tidak saja kasar tapi juga kotor dan jorok---betul-betul mulut serong pokoknya. Mohon untuk tidak meniru!
"Katanya lagi ngoser?" tanya Gabrielle semakin meleset.
"Beta lagi nunggu dipanggil, Ay." balas Vita terdengar relaks. "Dipanggil Yang Maha Kuasa," Vita menambahkan seraya menaikan nada bicaranya hingga delapan oktaf, kemudian diakhiri dengan gelegar tawa yang bisa membangkitkan orang mati.
Vita memang sangat terkenal dengan suara tawanya yang luar biasa tinggi. Orang-orang menjulukinya Kakak Dua Belas Oktaf. Itu sudah menjadi semacam ciri khas yang tidak dapat diganggu gugat, apalagi ditiru.
"Beta pan Simatupang---siang malam tunggu panggilan," lanjut Vita dengan gaya bicaranya yang khas---logat campuran Ambon-Betawi.
Keduanya kembali tergelak.
Disadari atau pun tidak, gurauan-gurauan kecil itu saja sebetulnya sudah berhasil menyingkirkan sedikit beban di hati Gabrielle. Tapi ia tetap menceritakan semua yang dialaminya tadi malam berikut detail-detailnya---termasuk soal bibinya.
"Apa katanya, stay at home?" Vita menaikkan sedikit nada bicaranya---hanya sedikit, tak sampai tiga oktaf.
"Ho'oh," jawab Gabrielle setengah merintih. "Dan sekarang Beta jadi gak berani ke mana-mana gara-gara itu," ia menambahkan---pura-pura menangis.
"Dia bilang, 'stay at home', gitu?" Vita mengulangi pertanyaannya. Entah tak yakin dengan pendengarannya, entah tak yakin pada pemilihan kata yang diungkapkan Gabrielle.
"Ho'oh---jelas banget!" giliran Gabrielle sekarang yang menaikkan nada suaranya---nyaris menangis sungguhan.
"Bahasa Inggris, Ay?" Vita bertanya lagi, masih tak yakin dengan jawaban Gabrielle.
"Bahasa Ambon!" sahut Gabrielle kesal.
"Huahahahahahaha..." tawa Vita meledak di line telepon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Marina Mare
ayat emas Alkitab kesukaanku 🥰
kitab pengkhotbah paling puitis 👍
2021-10-02
0
Senja Terakhir
lu waktu kecil takut sama mobil kuning?
Hahahaha 🤣🤣
2021-09-27
0
Ichi
Jan kenalan Beta ame Vita Suzanna yaaak, thor 🙈
ngerih 😣
ngerih-betin 😖
2021-09-25
0