Waktu baru menunjukkan pukul 23:30 ketika Gabrielle menghabiskan lagu terakhirnya dan mengutarakan sedikit pidato penutup, kemudian mematikan tombol power pada sound portabelnya.
"Baru jam setengah dua belas, Ndan?" Bobi---pedagang kopi sekaligus si pemilik lapak berkepala botak dengan tampang sangar namun tak pernah bilang 'Gue', menatap heran layar ponselnya, kemudian menatap Gabrielle dengan dahi berkerut.
Lapak si pedagang kopi bernama Bobi itu adalah lapak baru Gabrielle untuk menggelar konser akustiknya---sebut saja lapak mengamen.
Sejak ia membeli sound portabel dengan uang pinjaman dari kekasih bibinya, Gabrielle tidak perlu lagi mengamen berkeliling dari rumah ke rumah, tenda ke tenda, hingga ke bis kota---pinjaman itu betul-betul membantunya. Terutama mengingat persaingan ketat yang semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah pengamen.
Di setiap tempat di mana pun ia mengamen---di dalam bis kota, di tenda-tenda pedagang kaki lima, di komplek-komplek perumahan, selalu ada jatah untuk menunggu giliran---bahkan mengamen harus mengantre.
Sekarang dia hanya perlu duduk manis di trotoar, di tepian bantaran sungai, berdampingan dengan lapak para pedagang kaki lima lainya di samping Bobi si pemilik lapak yang menjadi lapak barunya. Biasanya mulai dari pukul tujuh malam hingga pukul tiga pagi. Tapi hari ini pikirannya betul-betul kalut dan suasana hatinya tidak menentu. Hari ini dia betul-betul menjadi pengamen teladan---telat datang pulang duluan.
Perkataan-perkataan bibinya di dalam setiap pesan-pesannya, ditambah sindiran-sindiran orang lain di setiap unggahan story di hampir semua media sosial, menggerogoti dirinya secara perlahan. Meski dia tidak menanggapinya, bukan berarti dia tidak peduli.
Sindiran-sindiran itu meresap ke dalam hatinya dan mengeras di dalam sanubarinya.
Dan ketika ia menghitung hasil saweran yang didapatnya hari ini, ia merasakan dadanya nyaris meledak.
Mengamen berkeliling sebetulnya bisa menghasilkan lebih banyak tanpa harus repot-repot menyanyikan banyak lagu. Mengamen berkeliling juga tidak terlalu banyak menghabiskan waktu. Tapi Gabrielle tidak cekatan dalam hal berebut jatah.
Mengamen di taman tidak perlu berebut jatah, tapi dia harus menguasai lebih banyak lagu untuk melayani request dan butuh kesabaran ekstra untuk menunggu saweran. Dan yang terpenting, dia juga butuh baterai untuk wireless dan gitarnya. Modalnya lebih besar tapi hasilnya lebih sedikit. Hanya kesannya saja lebih anggun---lebih berkelas, dan sawerannya bukan lagi pecahan lima ratus perak---pantasnya!
Tapi melihat hardcase gitarnya---kotak apresiasinya hari ini, betul-betul membuatnya merasa kerdil.
Mereka semua benar, katanya dalam hati. Aku betul-betul miskin!
"Bang, kopi gue hari ini---biasa, ya---kasbon dulu," katanya pada si pemilik lapak yang gemar memanggilnya komandan hanya karena Gabrielle nyaris tak pernah mengenakan pakaian bercorak lain kecuali hitam dan loreng army---celana army, kaos hitam model army dan sepatu bot bergaya army, itu sudah menjadi semacam ciri khas baginya, meskipun orang lain mengatainya tidak punya baju lain---cuma satu-satunya, Gabrielle hanya merasa nyaman dengan warna-warna itu.
"Elah," sergah Bobi---si botak b.i.a.d.a.b, seraya mengibaskan tangannya. "Kek ama sapa aja!"
"Ketemu impas pokoknya," Gabrielle menambahkan.
"B.a.b.i," dengus Bobi setengah berkelakar. Tentu saja Bobi tidak menganggap Gabrielle berhutang. Ia tulus merelakan berapa pun banyaknya kopi yang diminum Gabrielle---lagi pula berapa banyak seorang perempuan sanggup menghabiskan kopi dalam semalam---tak mungkin sampai bikin bangkrut daganganku, kan? pikirnya.
Selera humor para b.e.r.a.n.d.a.l.a.n seperti mereka memang kasar dan tidak masuk akal. Tapi bagi Gabrielle masih lebih kasar perkataan bibinya dan lebih tidak masuk akal lagi sindiran teman.
Iya, teman!
Mereka semua yang suka menyindir kebanyakan adalah teman---teman b.a.n.g.s.a.t!
Karena orang lain yang tidak mengenalmu, tidak mungkin mengataimu.
Berbeda dengan Bobi.
Bobi bukan teman, tapi sahabat.
Ada perbedaan antara teman dengan sahabat. Saat kita jatuh, sahabat akan mengulurkan tangannya, sementara teman hanya akan berpangku tangan dan tak jarang bertepuk tangan.
Di dalam kamus Gabrielle, tidak ada istilah 'musuh'---istilah 'musuh' hanya ada di film action.
"Ha-ha!" Gabrielle tergelak menanggapi semburan maut yang dilontarkan Bobi. Terdengar ringan dan biasa.
Tapi tidak biasa bagi Bobi. Dia selalu bisa membaca kepalsuan di setiap tawa Gabrielle. "Lu buru-buru tutup, udah capek ya, Ndan?" tanyanya setengah menyindir. "Capek pura-pura bahagia?"
"B.a.b.i," balas Gabrielle sambil cengengesan.
"Puma!" balas Bobi lagi. "Pura-pura macan padahal meong!" katanya tanpa tertawa.
Betul-betul botak b.i.a.d.a.b, batin Gabrielle merasa tergelitik.
Bagaimanapun kasarnya perkataan yang dilontarkan pria itu tak pernah melukai hatinya. Karena apa yang disampaikan oleh hati akan diterima oleh hati.
Begitu sampai di kamar kost-nya, kepahitan kembali merundungnya. Itu adalah saat di mana ia bebas merobek hatinya dengan tangannya sendiri, menguak luka tanpa diketahui oleh orang lain.
Ia melemparkan sweater-nya begitu saja, mencampakkan tas pinggangnya, kemudian mematikan ponselnya. Lalu mengurung dirinya---mengunci pintu dan jendela, kemudian berlutut dan berdoa.
"Tuhan, saya tahu Engkau tidak menjanjikan langit yang selalu cerah, atau rumput yang selalu hijau. Tapi Engkau menjanjikan Penolong. Malaikat-Mu berkemah di sekeliling orang percaya. Engkau tidak pernah benar-benar meninggalkan kami. Bantu saya merasakan kehadiran mereka. Bantu saya lebih dekat kepada-Mu. Bantu saya mengelola kemarahan saya. Bantu saya untuk menaklukkannya. Jadikan kemarahan saya sebagai hamba dan bukan tuan!"
Doanya kemudian terhenti.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.
Gabrielle menelan ludah dan menyeka air matanya dengan punggung tangannya. "Amin!" katanya terpaksa mengakhiri doanya.
Masih banyak hal yang belum kukatakan pada Tuhan, katanya dalam hati.
Ia menghela tubuhnya bangkit, kemudian berjalan ke arah pintu dengan lutut gemetaran.
Tak lama setelah pintu tersibak membuka, seraut wajah muncul sambil cengengesan. "Udah tidur ya, Kak?" tanyanya dengan raut wajah dipenuhi rasa bersalah.
"Mas Arif," Gabrielle berusaha memaksakan senyum. "Kirain siapa," katanya basa-basi.
"Maaf ganggu," kata pria berbadan kekar namun tak seberapa tinggi itu. "Tadi aku ke lapak, kakak udah tutup!"
"Masuk, Mas!" Gabrielle membukakan pintu lebih lebar. "Aku belum tidur kok. Cuci muka aja belum," katanya berusaha menepiskan perasaan bersalah yang tergambar di wajah pria itu. Ada perbedaan ketika ia berbicara pada Bobi dan ketika ia bicara dengan pria yang satu ini.
Arif termasuk pria santun yang tak pernah bilang 'gue'. Berbeda dengan Bobi meski tak pernah bilang 'gue', dia gemar mengumpat, 'b.a.b.i'---pertanda bahwa ia tidak termasuk ke dalam golongan pria santun.
Arif adalah sahabat Gabrielle nomor dua setelah Bobi---si botak b.i.a.d.a.b, tapi nomor kesekian setelah Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus akan selalu menjadi nomor satu sebagai siapa pun---ayah, sahabat, kekasih---Ia bisa menjadi siapa saja di dalam hati Gabrielle.
"Kakak lagi sakit?" pria yang akrab disapa Mas Arif itu bertanya khawatir ketika kakinya melangkah ke dalam ruangan berukuran 2x3 yang menjadi ruang tamu sekaligus dapur dan juga kamar tidur Gabrielle selama beberapa bulan terakhir.
"Enggak," Gabrielle menjawab ringan seraya meraih cangkir kopi di atas meja di dekat pintu. "Mas Arif mau kopi apa mau teh?" ia menawarkan.
"Gak usah, Kak!" Arif menolak. "Aku udah ngopi di tempat Bobi."
Begitulah kebiasaan mereka, satunya menyapa Mas, satunya lagi menyapa Kakak. Jadi siapa sebenarnya di sini yang lebih tua?
Yang pasti lebih tua Arif, tapi karena kerendahan hatinya, ia menautkan panggilan itu untuk menghormati Gabrielle, supaya orang lain tidak keliru memahami hubungan mereka.
"Terus kopiku gak laku dong hari ini?" gerutu Gabrielle satengah berkelakar.
"Aku ke sini cuma mau liat keadaan Kakak. Kata Bobi Kakak lagi sakit!"
"Aku?" Gabrielle membelalakkan kedua matanya. "Sakit?"
"Bobi yang bilang," sahut Arif seraya menjatuhkan dirinya di lantai dan menyandarkan punggungnya pada dinding. Sebelah kakinya terlipat di depan dada, sementara kaki lainnya terjulur lurus di lantai.
"Memang sejak kapan aku gak sakit?" kelakar Gabrielle tanpa tawa. "Kalo aku gak sakit, Bang Bobi gak ada temennya!"
"Kakak udah makan?" tanya Arif tetap lurus dan benar selayaknya pria baik pada umumnya.
"Udah," jawab Gabrielle seraya meletakkan secangkir kopi yang baru diseduhnya di lantai seraya duduk dan bersila.
"Kapan?" tanya Arif lagi dengan raut wajah menyelidik.
"Tadi," sahut Gabrielle dengan nada sedikit meninggi.
"Tadi kapan?" tanya Arif lagi setengah mengejek.
"Tadi... malem," jawab Gabrielle mengaku. Dan itu berarti kemarin malam.
Arif menghela napas pendek dan menatap Gabrielle dengan raut wajah prihatin. "Kakak gak ada uang?" ia bertanya.
"Ada," jawab Gabrielle enteng.
"Terus kenapa gak beli makan?"
"Aku lagi ngumpulin uang buat bayar utang, Mas," ungkap Gabrielle lemas. "Udah telat satu bulan," jelasnya seraya tertunduk.
"Utang apa?"
"Waktu beli sound portabel aku pake uang Om Hendra, pacarnya bibi!"
Arif menghela napas pendek sekali lagi. "Berapa utangnya?"
"Satu juta lima ratus, tapi bulan kemaren aku udah cicil lima ratus. Cuma bulan ini aku telat. Rencananya mau aku bayar sekalian bulan depan. Tapi bibiku udah keburu marah-marah. Mungkin gak enak sama pacarnya. Jadi aku kejar target biar bisa lunasin lebih cepet."
"Ada nomor rekeningnya gak?"
"Ada," Gabrielle mengangkat wajahnya menatap pria di depannya dengan alis bertautan.
Bersamaan dengan itu Arif mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik di layar ponselnya. "Mana nomornya?"
"Mas Arif mau ngapain?" tanya Gabrielle ragu-ragu.
"Wis, mau tak lunasin sekarang! Tapi abis itu Kakak makan ya?"
GLEK!
Gabrielle menelan ludah.
Secepat itukah Tuhan mendatangkan penolong?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
💎hart👑
God is great
2022-05-09
1
Ayank
gak bisa doble like
2021-11-04
1
hi vin!!
kayanya itu deh..
2021-10-28
0