Part 8 Pov Rehan bag.2

Sejenak aku sempat terlelap sampai aku merasakan ada seseorang di dekatku. Napasnya terdengar, aku tau itu Nadine. Aku sengaja tetap terpejam. Apa yang akan dilakukannya, tapi untuk mengintip aku tak berani.

Samar tercium aroma sampo dan sabun semakin dekat. Harum sekali. Aku berusaha mengenyahkan perasaan menggelenyar di perut.

"Jangan secepat itu terpesona denganku!" Ucapku yang tak tahan untuk menggodanya, sepertinya ia terkejut. Aku senang menggodanya. Sepertinya akan semakin menyenangkan mengerjainya.

Bahkan hari ini aku memaksanya untuk menemaniku makan. Aku sangat lapar dan lelah. Tingkah laku Nadine membuatku senang. Ia sangat cepat mengubah suasana hati apalagi dengan mimik wajahnya bila sedang kesal membuatku semakin gemas.

Aku yang kelelahan mengajaknya pergi makan, ternyata malah lokasi tempat makannya sangat dekat. Menyebalkan sekali gadis itu. Dia tau cara membalas perlakuanku terhadapnya.

Sebenarnya aku baru beberapa kali makan di pinggiran ini. Selain tak ada waktu, tak ada teman dan terkadang aku tak tahu dimana tempat makan pinggiran gini yang rasanya enak. Tapi Nadine cukup tahu, makanan yang kami pesan ternyata enak. Meskipun aku tak menunjukkan rasa sukaku. Nanti dia geer lagi.

"Kenapa nggak bilang tempatnya dekat gini?" Protesku sambil menarik kursi lalu duduk di hadapannya.

"Kan kamu nggak nanya, lagian katanya lapar. Lebih baik percepat rasa kenyang, biar aman" Jawab Nadine cuek. Semakin lama tingkah menyebalkannya semakin tinggi.

"Kamu nggak suka tempat di pinggiran gini?" Tanya Nadine lagi. Aku hanya mengangkat bahu lalu memesan teh hangat juga. Aku malas meladeninya, semakin terkuras tenagaku.

"Aku tau, kamu kan orang kaya. Nggak akan mungkin suka makan di tempat kayak gini" Cibir Nadine.

"Memang aku nggak pernah makan di tempat begini, tapi kalau sama kamu kenapa nggak" Jawabku santai sambil menikmati aneka aroma wangi dari setiap gerobak. Wangi masakan yang diterbangkan oleh angin sore itu.

Tak lama kemudian pesanan kami datang. Ternyata makanan itu enak. Aku memakannya dengan lahap dan penuh nikmat. Aku tak pernah memakan masakan pinggiran dan bahkan masakan ibuku sendiri bisa dihitung dengan jari. Dan semua masakannya rasanya menyeramkan dan membuat sakit perut.

Sekilas aku melirik Nadine, ia tersenyum. Aku tau ia pasti mengagumiku. Andainya aku bisa meluluhkan perasaannya.

"Nadine?" Tanya seseorang di belakangnya. Nadine terdiam, aku mengangkat kepala. Si**lan. Ternyata acara makan kami di ganggu seseorang.

"Vico? Kamu disini?" Tanya Nadine heran. Aku malah lebih hetan ada lelaki tatoan dengan telinga bertindik sedang berpabgku tangan seolah dia merasa dirinya paling hebat. Aku tak suka melihat gayanya. Astaga apakah ini temannya Nadine? Aku tak percaya. Lebih baik aku melanjutkan makan. Dan apa? Siapa tadi namanya? Vico? Hmmmh...

"Tentu saja, aku berniat kerumahmu. Sejak tadi aku menelponmu tapi nggak diangkat. Pantesan aja..." Kata Vico sambil tersenyum sinis melirik ke arah ku. Seolah-olah aku adalah musuh yang sengaja mengajak Nadine dan tidak membolehkan mereka bertemu. Cih... kekanakan sekali!

"Maaf, aku lelah jadi aku memutuskan mandi lalu mencari makan" Kata Nadine menangkupkan kedua tangannya. Vico mengangkat kedua bahunya tak peduli

"Sepertinya sudah ada yang menemanimu. Sebaiknya aku pulang. Senang melihatmu baik-baik saja" Ucapnya lalu membalikkan badan dan berlalu dari sana. Aku senang sekali ia mengucapkannya, apakah aku harus berterima kasih dengannya? hehehe

Nadine segera berlari mengejarnya, meninggalkanku! Menyebalkan! Sehebat apa cowok itu hingga Nadine lebih mementingkan teman urakannya dibanding aku yang temannya sedari kecil?

Aku segera menyelesaikan makanku, lalu bergegas membayarnya. Aku berniat membawa Nadine pulang dan beristirahat. Cowok tengil itu pasti akan mengajak Nadine jalan-jalan. Nadine itu lelah, sebaiknya istirahat dulu.

"Co...! Vicoooo! Tunggu!" Teriak Nadine berlari mengejar Vico dan menarik lengannya.

"Co, maaf. Bukan aku nggak mau ngabarin. Tapi bener-bener nggak ada waktu megang ponsel" Kata Nadine.

"Apa pria tadi yang membuatmu sibuk tak bisa memegang ponselmu?" Tanya Vico. Nadine menggeleng pelan. Halah baru menjadi teman gayanya sangat protektif sekali. Aku tak suka melihatnya mengekang Nadine apalagi melarangnya berteman denganku. Andai ia tahu aku malam ini menginap di rumah Nadine.

"Tidak, dia hanya orang yang memang mengantarkanku atas permintaan ibu dan bapak. Kamu keberatan?" Tanya Nadine. Oooh Nadine kau menganggapku hanyalah sopir suruhan orangtuamu di depan laki-laki itu. Aku sunggub geram.

"Tentu, Nad.. mungkin ini waktu yang nggak pas. Tapi aku sayang sama kamu. Dan aku nggak suka kamu dekat dengan pria itu" Kata Vico meraih bahu Nadine. Astaga bahkan sekarang aku sedikit cemburu dengan lelaki bre***sek itu.

"Kamu...?" Tanya Nadine bingung, matanya yang membulat membuat siapa saja gemas melihatnya.

"Iya, aku sayang kamu!" Ucap Vico tapi menatap ke langit.

"Apa?"

"Ck... Aku sayang kamu... Sayang kamu... Sayang kamu... Sayang kamu. Puas?" Tanya Vico menangkupkan kedua tangannya di pipi Nadine. Pipi itu memerah dan memanas dihiasi senyuman manis bergigi gingsul. Aku terluka, ya ampuuun papa tolong anakmu sekali lagi. Aku meremas dada lalu pergi meninggalkan mereka.

"Terima kasih" Jawab Nadine. Aku seharusnya mencari tahu dulu siapa yang dekat dengannya. Aku malah merasa yakin dia akan menyukaiku. Bagaimana caranya agar ia tahu aku juga menyukainya sejak dulu. Aku tak mungkin jujur saat ini. Belum waktunya ia tahu.

Aku memutuskan berjalan berkeliling dengan mobilku. Membiarkan Nadine dengan kebahagiaannya dahulu, setelah semua urusanku beres aku akan merebutnya. Apapun akan aku lakukan agar Nadine tak salah memilih pasangan. Yah, meskipun aku bukanlah lelaki yang sempurna tapi cinta di dada ini tak pernah pudar sejak bertahun-tahun yang lalu. Baru kusadari, cinta pertama itu paagi selamanya membekas di hati.

Setelah agak malam, aku memutuskan segera kembali ke rumah Nadine. Semoga ia sudah pulang. Tapi melihat lampu rumahnya yang sebahian belum hidup, dapat dipaayikan bahwa ia masih bersama cowok itu.

Aku menghempaskan badan ke tempat duduk agak kebelakang. Semoga dia cepat kembali. Aku sangat lelah.

"Dari mana aja kamu?" Tanyaku saat Nadine akan membuka kunci rumah.

"Aku dari depan sana. Kenapa tadi kamu pergi duluan? Aku nyariin kamu tadi" Kata Nadine sambil ikut duduk disampingku sambil tersenyum.

"Tiba-tiba aku di telpon" Jawabku singkat, karena tak terpikir alasan lainnya. Nadine mengangguk lalu kami duduk diam dengan pikirannya masing-masing.

"Aku mau istirahat" Kataku sambil berdiri, lalu masuk ke rumah. Sepertinya Nadine kesal. Aaah biarkan saja.

***

Pagi ini aku sungguh semangat. Aku akan menyiapkan sarapan, lapar mendera sejak subuh. Aku membuat mie goreng dan beberapa roti bakar juga teh dan kopi. Aku tak tahu sarapan pagi Nadine apa.

Beberapa telpon maauk sejak semalam mengganggu tidurku. Aku sengaja menginap di kota ini sekalian memantau pekerjaanku. Untung saja pakaian kantorku selalu ada di mobil jadi hari ini aku tak perlu repot mencari setelan kantor.

Aku benar-benar harus cepat dan aku terpaksa meninggalkan Nadine, selain untuk membalas perlakuannya kemarin juga karena aku harus mempersiapkan diri di kantorku. Mungkin siang nanti aku akan memberikan kejutan kecil untuk Nadine. Aku tersenyum sambil membayangkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!