Matahari bersinar cerah, terlihat langit berwarna biru bersih, beberapa serambut awan yang menghiasi menambah hangatnya suasana pagi. Suara-suara burung terdengar bersahutan, terasa mententraman hati. Namun tidak bagiku. Semuanya terlihat sama. Kelabu.
Aku baru saja selesai mandi, berdiri di depan jendela kaca besar, memandang kearah luar dan tak sengaja, mataku melihat bunga-bunga kesayanganku sedang di siram oleh Mbak Nur. Asisten di rumahku.
Yah setelah 7 hari berlalu, dan selama itu aku hanya berbaring lemah di atas ranjangku. Seperti orang pesakitan, merenung, melakukan introspeksi diri, menguatkan hati dan diri sendiri, hingga akhirnya hari ini aku mencoba untuk bangkit. Berdamai dengan keadaan. Dengan banyaknya support dari para kerabat dan orang terdekat yang sampai saat ini masih terus berdatangan memberikan ucapan bela sungkawanya kepadaku. Aku mulai belajar menata hati. Percayalah semuanya tak semudah yang aku fikir sebelumnya.
Aku memutuskan untuk beranjak keluar dari kamar, menyusul dimana Mbak Nur berada. Aku berjalan tanpa memperhatikan keadaan di sekitarku, yang kutuju hanya Mbak Nur.
"Biar Ajeng aja Mbak" Ucapku sembari mengulurkan tangan meminta slang yang sedang dia pegang.
Bisa ku lihat kekagetan di wajah Mbak Nur, seperti ingin bertanya sesuatu namun tertahan. Membuatku hanya tersenyum kepadanya, dan menerima slang yang dia berikan dan langsung fokus menyiram tanaman kesayanganku.
"Saya masuk dulu Mbak Jeng"
Mbak Nur berpamitan kepadaku, yang hanya ku jawab dengan anggukan kepala.
Aku selalu menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan bunga. Bagiku selain sebagai pencuci mata saat dalam keadaan jenuh, bunga juga memberikan kekuatan tersendiri melalui semerbak aromanya. Menenangkan, menyejukan dan mengindahkan.
"Sudah seger aja anak mama, sini kita ngeteh dulu berdua"
tak lama setelah Mbak Nur masuk, mama keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan biskuit keju kesukaanku.
Aku hanya menolehkan kepala, membalas dengan anggukan dan tersenyum. Dan tak berselang lama, setelah kurasa semua bunga tersiram dengan baik, aku menuruti perintah mama untuk duduk disebelahnya.
"Kamu dari kapan gak makan nasi loh Jeng, Pingin mama masakin apa?" Mama mulai ke mode cerewetnya ketika aku sudah mendaratkan tubuhku di kursi santai.
"Ajeng gak laper ma" Aku mencoba membuka suara.
"Gak laper bagaimana dari kapan cuma makan bubur terus hari-hari" Mama keukeuh dengan pendapatnya.
Aku meraih cangkir yang berisi teh, menghirup dalam-dalam aroma khas melati yang langsung menyeruak di hidungku, dan menyesapnya perlahan, membasahi kerongkonganku.
"Ibumu tadi pulang dengan nak Bara, katanya mau ada tamu. Jadi nanti malam pas yasin tahlil mereka baru akan kembali" Mama memberitahuku.
"Aku Rindu Mas Reno" Ucapku tanpa memperdulikan perkataan mama.
"Aku Rindu Mas Reno" Ulangku kemudian ketika mama hamya diam tak meresponku.
"Mau ke makam sekarang?" Mama akhirnya membuka suara dan di ikuti oleh anggukan kepalaku.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Aku masih tak bisa beranjak dari depan makam Mas Reno, laki-laki yang menemukanku dengan sejuta luka yang bersarang di hatiku kala itu, meyakinkanku untuk berbahagia dengan dia, Menawarkan mimpi-mimpi yang akhirnya mungkin harus ku wujudkan sendiri saat ini. Tanpanya...
Ya, Mas Reno datang kepadaku membawa penawar luka. Cukup sulit dan lama Mas Reno mengambil hatiku, meyakinkanku, bahwa dia adalah lelaki baik yang bertanggung jawab dan akan menempatkan kebahagiaanku diatas segalanya.
Kala itu aku tak sengaja bertemu dengan Mas Reno di sebuah minimarket yang tak jauh dari rumahku.
Aku yang sedang mengantre di kasir, berdiri di depan Mas Reno dengan satu keranjang penuh berisi kebutuhan pokok. Tentu saja aku berbelanja atas perintah mama kala itu.
Entah bagaimana ceritanya saat aku akan membayar belanjaanku, dompet aku tidak ada. Seketika aku langsung panik. Dompet yang berisi uang tak seberapa namun banyak kartu-kartu penting seperti KTP, ATM dan kawan-kawannya itu raib begitu saja. Kala itu aku memang menggunakan tas slempang agak panjang, bertengger di belakang pinggulku. Beruntung Handphone tak ku letakan di dalam tas karena memang aku sedang membaca list belanjaan yang Ningrum (adikku) kirimkan lewat pesan.
Kasir yang tadinya ramah seketika memasang wajah jutek padaku, mungkin dia berfikir aku hanya bermain-main, berbelanja dengan satu keranjang penuh, dan tiba-tiba beralasan dompet hilang, sangat klise !
Hingga mungkin Mas Reno yang berada di belakangku sudah merasa lelah menunggu dan diburu waktu akhirnya memutuskan untuk membayar seluruh belanjaanku dengan kartu debitnya.
Otomatis aku menolak dengan tegas, tapi pihak kasir tetap saja menerima pendapat Mas Reno, bagaimana tidak? antrian sudah mengular dan hanya ada satu-satunya loket kasir disini. Dan sepertinya si kasir enggan untuk membatalkan transaksi yang sudah terlist di komputernya. Dan akhirnya dengan berat hati aku menerima belanjaanku. Bukan, tepatnya belanjaan untuk aku yang dibayari oleh lelaki asing yang tak kukenal.
Aku keluar dari minimarket, berdiri disamping pintu, menunggu kedatangan Mas Reno. Aku bermaksud akan menyerahkan belanjaanku kepadanya, agar aku tak merasa mempunyai hutang. Tapi jawabannya diluar prediksiku.
Dia yang sudah melihat belanjaanku tadi saat di kasir, yang hampir seluruhnya berisi keperluan dapur dan sumur itu hanya tertawa.
"Mbak, untuk apa belanjaan seperti itu saya bawa pulang? saya tidak pernah berurusan dengan cuci mencuci, dan saya tidak bisa goreng menggoreng. Dan itu, pem balut, saya tidak menggunakannya. Senyumnya mengembang di kedua sudut bibirnya.
"Anggap saja itu hadiah dari saya untuk ibu mbak yang sudah melahirkan wanita cantik dan menggemaskan seperti mbak, saya permisi dulu" Imbuhnya sebelum pergi meninggalkanku dan mengacak rambutku dengan gemas. Sedangkan aku seperti wanita bodoh yang hanya bisa diam melihat dia pergi, masuk ke dalam mobil hitam dan melajukannya dengan cepat, sepertinya memang dia sedang terburu-buru kala itu.
Dan beberapa bulan setelah itu, kami dipertemukan lagi oleh takdir yang sepertinya mempermainkan kami. Untuk yang kedua kalinya kami dipertemukan di minimarket yang sama namun dalam posisi yang berbeda. Kali ini dia yang tak membawa uang cash dan sialnya mesin kartu debit sedang mengalami trouble.
"Disatuin sama belanjaanku aja ini mbak" Ucapku kala itu, sambil meletakan belanjaanku kebak kasir.
Mbak kasir sepertinya merasakan juga apa yang aku rasa, karena kasir ini jugalah yang dulu melayaniku.
Dan akhirnya kami saling tatap dan tertawa bersama.
Kami berdua duduk bersama di depan minimarket dengan ditemani 2 cup gelas coffee. Aku dan Mas Reno.
Dan dari pertemuan kedua itu aku mulai sedikit tahu tentang dirinya. Dari sanalah hubungan kita dimulai, dari perkenalan, bertukar nomor handphone, melakukan pendekatan sampai akhirnya kita berdua memutuskan untuk menyatukan diri, menjalani biduk rumah tangga dan berakhir seperti sekarang ini.
Segalanya yang terlalu singkat dan terlalu cepat hingga membuat aku seakan-akan hanya dipermainkan dan merasa tersakiti sendiri. Seperti tidak ada lagi yang perlu aku lakukan, aku terseok didalam kesedihan dan kesendirian yang tak berujung.
Kalau boleh aku memilih, dari awal aku takan pernah mau pertemuan kami terjadi. Kalau tahu semuanya akan berakhir seperti ini, dari awal aku takan pernah menghadirkan cinta di hatiku. Kalau saja aku lebih berhati-hati dalam memahami cinta, aku tidak akan pernah terluka sedalam ini. Yang kutahu, aku sekarang hanya seonggok daging tanpa hati.
Hanya itu...
🥀🥀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Wiwit Widiawati
maaf harusnya ini tidak terpost🙏 sudah dihapus padahal di draft, terapi entah lah kok tidak bisa hilang🥲
2022-10-27
0
Suharnik
Ssedihnyaa😭😭😭😭😭😭😭
2022-01-11
0