Jam menunjukan pukul 19.15 tepat saat acara tahlil yasin dimulai. Ajeng yang duduk diapit oleh mertua dan ibunya di kanan-kirinya terlihat begitu rapuh. Dia sedari tadi hanya berdiam diri, namun justru diam dirinyalah yang membuat orang disekelilingnya takut.
Suara surat yasin terdengar mengalun di telinganya, dia hanya diam. Menyimak sesekali membuka quran kecil yang dipegangnya, untuk mengikuti bacaan yang sudah berganti lembar itu.
Jilbab putih yang senada dengan warna gamisnya tersampir di kepalanya, menutup sebagian rambut hitam sebahunya yang diikat asal. Mata sayunya fokus melihat huruf hijaiyah yang terangkai menjadi bacaan yang mampu menenangkan diri.
Hingga satu jam berlalu, bacaan yasin tahlil berakhir, dilanjutkan dengan ucapan terimakasih oleh ayah Ajeng sebagai perwakilan dari keluarga atas kehadiran dan ketersediaan para tetangga dan kerabat yang telah membacakan yasin tahlil untuk Reno. Dan meminta kegiatan tersebut untuk dilakukan selama 7 hari berturut-turut.
Kerabat dekat masih ada juga yang berdatangan, bahkan ada juga yang dari luar kota. Ajeng hanya bisa tersenyum kala mereka Semua memberikan semangat untuknya. Baginya ini terlalu singkat, terlalu aneh dan dia seperti belum bisa mempercayainya.
Hingga tiba-tiba saja ibu mertuanya datang bersama seseorang yang selama ini paling dia hindari.
"Jeng, Barata" ibunya berbisik di telinganya.
Dan, tak ada yang bisa di lakukan selain hanya memandang datar Barata. Adik Reno, adik iparnya.
"Yang sabar dan tabah ya" Barata berucap sambil mengelus bahu kirinya.
Tak ada respon apapun dari Ajeng. Hingga mama Ajeng akhirnya mengajaknya untuk istirahat, masuk kedalam kamarnya.
"Istirahat ya sayang"
Setiba dikamar sang mama duduk di sebelah ranjangnnya.
"Mas Reno kenapa pergi ninggalin Ajeng sendiri ma? " ucapnya dengan matanya yang tak lepas figura foto pernikahannya. Mengambilnya dari nakas sebelah tempat tidur dan memeluknya erat tepat di dadanya.
Sedangkan mama yang tak kuasa menjawab hanya merengkuh dan memeluk Ajeng.
Terdengar isakan yang memilukan,
"Menangislah, keluarkan semuanya agar kamu merasa tenang" mama memeluknya erat sambil mengusap punggungnya.
"Kamu tahu Ajeng? Kadang ada pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, percayakan semuanya kepada sang pemberi hidup. Sedangkan kita hanya dituntut untuk terus menjalankan semua yang sudah di gariskan. Yaitu takdir. Takdir kita tidak akan pernah terlewati oleh kita, sedang yang bukan untuk kita, tidak akan pernah melewati kita. Cukupkan Allah sebagai sebaik-baik pemberi takdir."
Suara tangisan Ajeng mulai terhenti, nafasnya yang sedari tadi memburu sudah mulai teratur. Cukup membuat tenang sang mama.
Mama melepas pelukannya, mengusap lembut air matanya, dan membenarkan beberapa anak rambut yang menutupi dahinya.
"Sekarang istirahatlah, besok kita akan ke makan suamimu, menabur bunga, bagaimana?" Mama mulai membujuk Ajeng.
Tanpa harus berdebat, akhirnya Ajeng menganggukan kepala. Merebahkan dirinya dan menaikan selimut sampai ke batas dagu.
"Kalau boleh, Ajeng ingin mama nemenin Ajeng tidur di sini ya?" Ajeng memandang harap kewajah mamanya.
"Iya sayang, boleh.Mama tidur disini menemanimu" Jawabnya sambil menggecup dahi anak kesayangannya itu.
Tak butuh lama, akhirnya Ajeng tertidur. Mama Suci keluar dari kamar Ajeng. Menuju suaminya Pak Rahmat untuk memberitahukan keinginan anaknya itu kepada suaminya.
"Sudah tidur Ajeng mbak?" Ibu Sukma yang sedang duduk bersama Barata, Pak Rahmat dan kerabat lainnya langsung bertanya ketika melihat Mama Suci keluar.
"Sudah, habis nangis langsung tidur. Mungkin capek sekali dia" Mama Suci duduk si samping suaminya. "Ajeng ingin mama di sini pak, apa bapak mengizinkan?" Mama Suci meminta izin.
"Tentu saja boleh ma" Jawabnya dengan tersenyum. " Rena benar-benar membutuhkan dukungan kita, dia begitu rapuh" tambahnya.
"Untuk sementara mbak dan mas menginap si sini saja, biar Ajeng ada temannya. Dia masih butuh adaptasi, mungkin juga masih shock dia" Ibu Sukma memberikan saran.
"Kalo mama di sini aja gak papa barang 2 hari, besok bapak ijinkan ke kepala sekolah ibu. Tapi Bapak harus pulang, Ningrum mau pulang apa temenin mama di sini?" Pak Rahmat bertanya kepada Ningrum, putri bungsunya.
"Pulang sama bapak, besok Ningrum ada kuliah pagi, pulang kuliah mampir ke rumah Mbak Ajeng lagi" Ningrum menjawab.
Mama Suci dan Pak Rahmat adalah seorang guru. Ibu Suci masih dinas dan mengajar di TK sementara Pak Rahmat, 2 tahun lalu telah pensiun setelah sebelumnya mengajar di sebuah SD negri di kotanya.
"Kalau begitu Biar Mas Rahmat di antar pak Anto saja ya" Ibu memberi saran.
"Saya bawa mobil bu besan" Pak Rahmat berseloroh. "Biar Ningrum nanti yang membawa, saya yang jadi penumpang ya dek ya?" Imbuhnya sambil menatap Ningrum meminta persetujuan.
Sementara Ningrum hanya menunjukan jari jempolnya tanda setuju, sementara matanya tak lepas dari ponsel pintarnya.
"Baiklah kalau begitu Bapak pulang dulu ya" Bapak berdiri dan berpamitan kepada semua orang yang berada di ruang keluarga dan menyalaminya.
Mama dan Bapak berjalan beriringan menuju ke halaman rumah. Sementara Ningrum sudah berjalan duluan di depan mereka.
"Openi anakmu apik-apik, Bapak ra bisa ndeleng anake dewek kaya ngono, doraka. Aja kelalen kon aja telat maem, mama ra usah mikirna Bapak, Bapak bisa jaga awak dewek, ana Ningrum neng umah. Ngesuk bapak karo Ningrum ngeneh ya" ( Urusi anakmu baik-baik, Bapak tidak bisa melihat anak kita seperti itu, kasihan sekali. Jangan lupa sampai telat makan, mama ra usah memikirkan Baapak, Bapak bisa jaga diri, ada Ningrum di rumah. Besok bapak sama Ningrum kesini ya).
"Nggih pak, Bapak atos-atos nggih" (Iya Pak, Bapak hati-hati ya).
Ningrum datang dengan mengendarai mobil inova hitam milik keluarganya. Berhenti tepat di depan Pak Rahmat berdiri. Mama menyalami Bapak sebelum Bapak masuk ke dalam mobil. Dan melambaikan tangan setelah mobil mulai berjalan.
"Hati-hati Rum bawa mobilnya" Ibu sedikit berteriak dan hanya dibalas dengan suara klakson dari Ningrum.
Sementara di ruang tengah keluarga Reno masih berkumpul, membicarakan tentang perusahaan Reno kedepannya mau bagimana.
Ajeng yang seharusnya meneruskan bisnis suaminya, namun sepertinya itu tidak akan mungkin. Itu diluar batas kemampuan dia.
Dan untuk di serahkan kepada Barata yang notabennya Adik Reno pun sepertinya tidak mungkin, Barata adalah anggota dari TNI AD. Jebolan bintara pada tahun 2010 itu kini sudah menyandang pangkat Sersan Kepala. Sersan Kepala atau Serka ini adalah pangkat bintara ketiga dalam kemiliteran di Indonesia, satu tingkat dibawah Sersan mayor, dan satu tingkat diatas Sersan satu.
Dan dia menjabat sebagai pasukan pengaman presiden atau Paspampres, yang bertugas dalam mengawal presiden dan wakil presiden secara fisik langsung dari dekat setiap saat dan dimanapun berada.
Tidak hanya presiden dan wakil presiden tetapi juga kepada tamu negara setingkat kepala negara atau pemerintahan beserta keluarganya. Baik di lingkungan istana kepresidenan maupun diluar lingkungan istana kepresidenan.
Mempunyai karir dan bagus dengan tiga pangkat yang tersemat di bahu kirinya tak sebanding lurus dengan kisah percintaannya, hingga akan menginjak usia 30 tahun dia masih terjebak dalam kisah cinta masa lalunya. Barata yang malang.
Karena tidak memungkinkan untuk meneruskan usaha kakanya yang terkendala jarak dan waktu itu maka, opsi terakhir kini adalah Mas Bayu. Mas Bayu adalah suami dari Mbak Runti, kakak perempuan Reno. Dia satu-satunya orang yang dapat dipercaya untuk mengurus usaha yang telah di bangun dengan susah payah oleh Reno. Tentunya akan dibahas lagi nanti setelah kondisi Ajeng membaik. Bagaimanapun Ajeng berhak tau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Erina Munir
mungkin barata punya kisah...dengan ajeng dulunya
2024-07-19
0
Suharnik
Ajeng mantannya Barata kayaknya🙄
2022-01-11
0
Yayuk Bunda Idza
jangan2 Barata masa lalunya Ajeng ya kak?? (maaf main tebak)
2021-12-21
0