Aurora mengerjapkan matanya, ia terbangun karena sesuatu berat menindih tubuhnya.
"Eh.."
"Oh, kenapa kamu tidur disini!"
Edward yang masih terlelap langsung terbangun begitu mendengar teriakan Aurora. Ia menyipitkan matanya.
"Kenapa berisik sekali, aku bahkan baru tertidur Aurora."
"Iya tapi kenapa tidur disini. Mansion ini kan banyak kamar!"
Edward mengacak acak rambutnya. "Huh! Please jangan berdebat sekarang, aku masih butuh tidur. Kunci mulutmu baik-baik atau aku akan memagut bibirmu lagi. Cantik-cantik cerewet."
Tangan Aurora sudah terangkat keatas ingin sekali menampol mulut pria itu, ia gemas bukan main mendengar cuitan pria disampingnya.
"Jangan mengodaku. Aku tau pay-udaramu besar, tak perlu kau tunjukkan padaku. Aku pernah merasakannya."
"Kak Edward!! Mulutmu ya! Nggak pernah disekolahkan!!" Aurora memukul gemas mulut Edward dan menimpukinya dengan bantal.
"Hei..stop. Berhenti..berhenti! Aish. Ayolah aku hanya ingin tidur sebentar, ini juga masih malam, tolong jangan menggangguku jika tidak ingin tidur bersamaku."
Aurora hanya bisa terdiam. Sebenarnya ia sangat kesal tapi ia berusaha menahannya. Ia beranjak dari ranjang dan duduk di sofa.
"Kenapa tidak tidur lagi. Kemarilah, kita bisa tidur bersama. Aku janji gak ngapa ngapain kamu."
"Gak. Aku mau keluar saja, aku gak bisa tidur!" Ketus Aurora lalu melangkahkan kakinya keluar kamar.
Aurora berjalan menuruni anak tangga dan memilih duduk di teras belakang sambil memandangi taman yang cukup cantik karena diterangi lampu hias. Pikirannya melayang pada bingkai foto yang baru ia temukan semalam. Otak pintarnya sedang mengurai banyak pertanyaan dari segala kemungkinannya. Cukup lama ia duduk tiba-tiba seorang kepala pelayan datang menghampirinya.
"Nona, anda membutuhkan sesuatu." Suara bariton Pak Wid membuyarkan lamunannya.
"Eh," Aurora terkejut mengelus dadanya.
"Maaf jika saya mengejutkan anda. Kenapa anda berada disini. Disini banyak angin, sebaiknya anda masuk ke dalam."
"Anda juga kenapa disini. Apa sudah waktunya bekerja?"
"Saya memang sedang bekerja nona."
Aurora hanya meringis, jam segini bekerja, apa di mansion ini bekerja 24 jam non stop. Kadang ia tak habis pikir dengan lingkungan orang kaya.
"Duduklah pak, temani saya melihat matahari terbit. Saya tadi kemari karena saya tidak bisa tidur, sepertinya saya tidak kerasan di sini." Gurau Aurora menoleh ke arah Pak Wid yang belum juga duduk.
"Saya bisa membuatkan sesuatu agar anda bisa tidur nyenyak nona."
"Tidak, tidak perlu, lagian ini juga hampir pagi. Anda sudah berapa lama ikut keluarga ini pak?"
"Emm mungkin 26 tahun, sejak kelahiran Tuan Muda nona."
"Wah, anda orang yang setia. Semoga saya juga bisa memiliki orang orang yang setia seperti anda pak."
Kepala pelayan hanya tersenyum simpul. Tak menyangka jika calon menantu majikannya bisa ramah pada seorang pelayan.
"Lalu bagaimana masa kecil Tuan muda pak? Apa dia sangat menggemaskan?" Tanya Aurora yang mulai mencari jawaban dari banyaknya pertanyaan dalam hatinya. Ia harus segera meluruskan dan mengungkap kebenaran pikirnya.
"Ya, dia anak yang menggemaskan dan periang. Saya selalu dibuat tertawa dengan semua tingkahnya." Pak Wid tiba-tiba tersenyum mengingat masa lalu bersama Edward kecil kala itu.
"Sayang sekali itu tidak lama nona, Tuan muda dikirim ke desa terpencil yang saya juga tidak tau tepatnya dimana. Dia diasingkan dan dijauhkan dari dunia yang kejam ini." Pak Wid menghela nafasnya yang terasa berat. Sedangkan Aurora masih menyimak dengan serius.
"Kasihan sekali anak itu, bahkan usianya baru menginjak 7 tahun. Padahal ia lagi senang senangnya memiliki adik perempuan, tapi harus dipisahkan begitu saja. Saya bahkan sampai menangis saat Tuan besar membawanya pergi."
Kepala pelayan tersenyum menatap Aurora. "Jangan bertanya lebih jauh nona, saya tidak berani mengatakannya. Sebaiknya anda bertanya langsung pada Nyonya besar."
"Tapi jika aku bertanya pada beliau, sudah lain ceritanya Pak. Aku akan bertanya padanya setelah Pak Wid bercerita. Aku janji gak akan bilang pada siapapun. Lagian saya akan menjadi bagian keluarga ini bukan." Aurora menaik turunkan alisnya mengajak berkompromi.
"Apa yang ingin anda ketahui nona."
"Kenapa diasingkan." Jawab cepat Aurora.
Pak Dar tersenyum simpul menatap Aurora lalu mengarahkan pandangannya ke langit yang mulai tampak kemerah merahan.
"Tuan muda terlahir dengan sendok emas ditangannya, tidak heran jika banyak pihak luar yang menginginkan kematiannya. Nyawanya terancam jika Tuan muda berada dilingkungan Tuan Besar. Apalagi Tuan besar sudah memindahkan saham terbesarnya pada Tuan muda kala itu. Itu juga demi keamanan bersama, setidaknya jika terjadi sesuatu disini, masih ada Tuan Muda bukan."
"Ini sedikit rumit, tapi aku mengerti maksud mereka. Nyawa anak jauh lebih penting. Ayah menyelamatkan anak sekaligus hartanya, walaupun mereka harus berpisah dari anak yang disayanginya. Lalu, mulai kapan kak Edward kembali ke negara ini Pak?"
"Baru dua tahun yang lalu nona. Setelah Tuan muda menyelesaikan pendidikan S2 nya di London, Tuan muda langsung dipaksa pulang dan terjun ke perusahaan untuk membantu Tuan Besar. Dan sekarang perusahan sudah diserahkan sepenuhnya pada Tuan muda. Saya tidak menyangka jika Tuan muda bisa sepintar itu, di usia segitu Tuan muda sudah dipercayai perusahaan sebesar itu walaupun masih dibawah kendali Tuan besar."
"Apa yang dilakukan ayah pada Kak Edward , apa beliau menggemblengnya dengan keras selama dua tahun ini?"
Aurora menatap serius pada Pak Dar yang masih memandangi langit. Aurora bahkan sudah lupa tujuannya mengajak pria tua itu duduk di bangku itu. Ia sudah lupa dengan matahari terbitnya, ia lebih tertarik dengan cerita tentang Edward.
"Anda benar. Tuan besar menggembleng Tuan muda dengan keras. Bahkan beliau akan memarahi habis habisan jika Tuan muda melakukan kesalahan, tapi sekarang tidak lagi nona. Tuan muda sudah bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Saya bangga dengannya."
"Nona, sepertinya tugas menemani anda sudah berakhir, matahari sudah terbit, saya harus melanjutkan pekerjaan saya. Permisi."
"Eh.. aku belum selesai."
Aurora hanya bisa melihat punggung pria tua itu berangsur menghilang dari pandangannya. Wanita itu tersenyum tipis, setidaknya ia mendapatkan informasi yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
"Aku tinggal menggabungkan potongan puzzle-puzzle ini, aku akan menanyakan kebenaran ini pada Bunda, aku harus segera mengetahui kebenarannya sebelum aku mati penasaran karena memikirkan ini. Oh kak Ard, gadismu ada disini. Tunggu aku sayang." Gumam Aurora lalu terkekeh sendiri.
.
.
"Pagi Bunda, Ayah." Edward menyapa orang tuanya yang sudah berada di kursi meja makan masing masing.
"Pagi juga sayang, lho dimana Aurora?Kenapa tidak turun bersama?" Tanya Bunda Yuli.
"Lagi mandi, mungkin bentar lagi turun." Jawab Edward setelah mengambil tempat.
Tak lama setelah itu Aurora pun menuruni anak tangga. Gadis itu memakai gaun selutut pemberian Edward yang entah kapan pria itu membelinya. Ia tersenyum ramah menyapa mereka.
"Kemari sayang kita sarapan bareng. Kamu cantik sekali pagi ini. Mau ngampus?" Bunda Yuli
Aurora tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
''Edward, nanti antarkan Aurora dulu sebelum ngantor." Tuan Admaja mengambil suara.
"Maaf ayah, pagi ini aku ada meeting di kantor, lagian kita juga tak searah. Aku akan minta Kevin yang mengantarnya, kamu tidak keberatan bukan?" Tanya Edward pada Aurora.
"Tak apa, Listy temanku nanti yang akan menjemputku, lagian aku tidak berangkat sekarang." Terang Aurora dengan senyumnya. Edward hanya mengangguk mengiyakan.
Usai sarapan, Edward dan ayahnya pergi ke kantor, kini tinggallah Aurora dan Bunda Yuli yang masih memandang mobil yang ditumpangi suami dan anaknya perlahan menjauh.
"Bunda, ada yang ingin aku tanyakan, bisakah kita berbicara sebentar?"
"Kedengarannya ini serius. Ayo ikut Bunda."
Aurora hanya mengekori Bunda Yuli yang membawanya ke ruang perpustakaan. Mereka saling duduk berhadapan.
"Katakan."
Aurora mendadak ciut nyalinya. Ia merasa canggung seketika.
"Bunda aku ingin mendengar kisah masa kecil kak Edward, benarkah kak Edward pernah diasingkan dan dimana desa itu?"
"Apa kamu sudah tau semuanya Aurora?"
Aurora mengangguk lalu menggeleng. Jawabannya ambigu.
"Sebenarnya cerita ini sangat panjang untuk diceritakan. Bunda akan ceritakan secara garis besarnya. Apa kamu ingin mendengarnya?"
Aurora mengangguk. Penasaran tentu saja.
"Ya, kami memang pernah mengasingkannya, lebih tepatnya menyembunyikannya. Edward kami sembunyikan di desa dimana kamu tinggal sebelum kamu menetap di kota ini."
Deg.
Benar. Dia benar kak Ard ku, tidak salah lagi, batin Aurora.
"Edward kecil kami titipkan pada guru besar padepokan pencak silat. Beliau dulunya adalah guru dari Ayah Edward. Kami percaya jika Beliau bisa mendidik dan mengamankan anak itu jika terjadi sesuatu pada kami disini. Keadaan waktu itu sangat genting Aurora. Kami terpaksa. Kami menitipkannya selama hampir sebelas tahun bersama beberapa bodyguard kepercayaan ayahnya. Kehidupan kanak kanaknya seperti anak-anak lainnya, sederhana bukan seperti Tuan muda." Pandangan Bunda Yuli seakan menerawang jauh ke masa masa itu.
"Edward disekolahkan di sekolah umum yang jauh dari kata berkelas untuk seukuran keluarga kami. Kehidupannya biasa biasa saja. Kegiatannya hanya berlatih dan belajar. Ayah Edward sangat keras dalam mendidik dan menentukan standar nilai ulangannya. Dia selalu diancam ayahnya jika tidak mendapatkan nilai terbaik, dia tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan kami. Itu sebabnya ia memakai kacamata, ia sangat rajin belajar untuk mendapat nilai terbaik hanya demi ingin bertemu dengan kami, lebih tepatnya dengan Amelia, adik kesayangannya."
"Kami menemui anak itu setahun sekali saat kenaikan kelas, dan itu hanya sehari dan tak pernah lebih. Walaupun keadaannya sakit sekali pun, kami tetap tidak diijinkan menjenguknya. Saya sebagai ibunya hanya bisa mengusap dada, kasihan tapi itu juga untuk kebaikannya sendiri. Kami tidak ingin dia terluka."
Ah jadi ini sebabnya Kak Edward sewaktu sakit tidak ada keluarga yang menjaganya, batin Aurora.
"Jika kamu menanyakan kenapa dia diharuskan mendapatkan nilai terbaik, alasannya pasti sudah bisa kamu tebak. Ayah Edward menginginkan anaknya kuliah di universitas terbaik di London. Impiannya hanya satu, Bapak hanya ingin anaknya menjadi orang sukses dan tidak mudah dikalahkan. Dia harus menjadi penerus yang tangguh."
"Apa Bunda juga mengetahui peristiwa berdarah itu?" tanya Aurora hati hati.
Bunda Yuli tersenyum dan mengangguk.
"Ja.. jadi..?" Aurora terbata.
"Kami adalah teman bersama. Bunda dan mamamu adalah teman dekat. Dulu kami memang sepakat untuk menjodohkan kalian. Entah takdir atau apa, kalian sudah berteman dekat. Benar bukan?"
Aurora hanya mengangguk membenarkan.
"Setelah papa dan mamamu mengetahui alasan kenapa kami menyembunyikan penerus keluarga kami, mereka memutuskan untuk ikut menyembunyikan kamu, tapi mereka tidak tega meninggalkan kamu sendirian. Jadi mereka ikut tinggal bersama kamu, perusahaannya bahkan mereka titipkan pada paman polisimu itu. Kami senang, setidaknya ada Papa dan mamamu yang ikut memantau perkembangan Edward walau secara sembunyi-sembunyi. Dari sini kamu pahamkan?"
Lagi lagi Aurora hanya mengangguk.
"Kamu pasti syok mendengar kami menjodohkan kalian benar bukan." Bunda Yuli tersenyum.
"Sama seperti Edward. Dia bahkan sempat marah marah pada kami karena belum mengetahui kebenarannya. Coba saja jika dia tau, anak itu pasti kegirangan bukan main. Tapi sekarang kamu bahagia bukan, orang yang kami jodohkan adalah orang yang kamu tunggu dan kamu cintai selama ini. Kak Ard kesayanganmu."
Bunda Yuli terkekeh melihat wajah Aurora yang merona.
"Lalu kenapa kak Ard tidak mengenali kami, apa wajahku terlalu berubah? Dia bahkan tidak ingat Papa dan mama, dan bagaimana bisa?" Heran Aurora.
Senyum Bunda Yuli langsung menghilang. Ia menatap Aurora dengan pandangan ragu. Seperti tidak yakin untuk mengatakannya.
"Maaf jika ini menyakitimu Aurora, tapi kamu harus tau dan jangan membicarakan ini pada Edward. Ini rahasia kita. Kamu mengerti."
"Mengerti." Aurora mengangguk mantab.
"Perilaku Edward menjadi aneh semenjak kejadian berdarah waktu itu. Entah kenapa anakku itu berubah menjadi manusia yang mengerikan, dia seperti psikopat. Dia bahkan tak segan melukai orang yang berani menyinggungnya, lebih parahnya dia menjilat darah para korbannya tanpa rasa jijik sekalipun. Entah kamu mengetahui atau tidak, yang jelas seperti itu adanya."
Aurora terperangah tak percaya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Dia tentu saja tidak percaya, selama itu kak Ard nya selalu bersikap manis padanya dan tidak pernah menunjukkan gejala seperti yang dikatakan Bunda Yuli.
"Kami kemudian disarankan untuk membawa Edward berkonsultasi pada seorang profesor di Austria, katanya profesor itu mempunyai penemuan terbaru, dia bisa menghilangkan sebagian memori masa lalu dengan cara hipnoterapi dan operasi. Nah dari itu kami tertarik dan mencobanya, karena dari hasil review banyak yang berhasil."
"Apa kak Edward berhasil?"
"Bisa dikatakan iya dan tidak Aurora. Berkat hipnoterapi, anak itu sudah tidak seperti psikopat lagi, Bunda berharap hasilnya bisa permanen."
"Tapi kenapa kak Edward mengingat gadis kecilnya, sedangkan pada papa dan mama tidak?"
"Itu yang Bunda tidak tau, dia hanya mengingat peristiwa dan orang penting dalam hidupnya. Harusnya kamu bangga, kamu adalah orang penting baginya."
"Bunda mohon jangan ceritakan masalah hipnoterapi ini pada Edward, Bunda takut dia akan kambuh lagi. Kamu bisa mengatakan jika kamu adalah Rara gadis kecil yang dicarinya, dia pasti akan senang sekali, bahkan ia pasti tak percaya. Kamu yang sekarang dan yang dulu sangat berbeda Aurora, kamu sekarang terlihat sangat cantik sekali. Pasti papamu yang mengomelimu untuk melakukan banyak perawatan tubuh hingga bisa secantik ini. Benar bukan?"
Aurora tertawa, ia membenarkan dugaan Bunda Yuli. Memang benar jika papanya yang selalu mencerewetinya jika tidak melakukan perawatan, katanya biar pantas jika disandingkan bersama Tuan muda yang akan menjadi suaminya. Mengingat hal itu, Aurora hanya bisa tersenyum geli.
.
.
Aurora sudah berada di kampus, ia dan Listy sekarang sedang berada dikantin setelah menyelesaikan urusan kuliahnya.
"Ra, udah tau belum." Listy membuka percakapan.
"Apaan."
"Denger denger Loe dijadikan salah satu pengisi acara buat acara prom night saat perpisahan nanti. Dan tau gak, loe bakal dipasangkan dengan si Aldi temen loe itu."
"Hah! Masa sih. Aduh gimana dong, ini pasti gara-gara kamu nih!" Tunjuk Aurora dengan sendok garpu ditangannya.
"Hehe ya maap mbak. Aku juga gak tau akan gini jadinya. Tapi suer deh, suara loe sama Aldi cakep banget. Beuh mantep banget. Kawin dah pokoknya." Listy mengacungkan dua jempolnya.
"Ck. Kamu menambah daftar masalah kalo gitu beib." Keluh Aurora sambil membuka ponselnya. Tiba tiba ia mengulas senyum tipis.
"Dih yang mulai gak waras. Apaan sih."
"Kak Edward mau ngajak jalan."
"Apa!" Listy menggebrak meja, sontak para mahasiswa menatap kearahnya. Listy hanya meringis.
"Jelasin. Kenapa bisa jalan sama kak Edward dan siapa dia, apa dia pemilik mansion besar itu? Kamu juga belum menjelaskan kenapa tadi loe disana. Cepet, cepet jelasin." Jiwa Listy mendadak kepo.
"Dia tunangan aku."
Listy hanya menganga lebar, terkejut tentu saja. Kapan lamarannya.
"Jangan ember. Ini rahasia." Aurora memamerkan cincin pertunangan yang melingkar dijarinya.
"Ck..ck.. aku tak menyangka. Lalu kapan kalian akan menikah?apa setelah wisuda?"
Aurora hanya menaikkan bahunya. "Mungkin 2 atau 3 tahun lagi. Aku masih ingin kuliah."
"Boleh seperti itu. Enak menikah baru kuliah Ra. Kasian sekali sih tunangan loe."
"Ya Gimana dong, perusahaan juga membutuhkan penerus yang berkualitas. Kak Andi mana mau kerja di perusahaan. Dia masih kekeh kerja di bidang Entertainment. Entah apa enaknya jadi artis, aku mah nggak banget."
"Ya pilihan orang mah beda beda atuh Ra."
"Ya ya terserah dah. Maap gue mau cabut dulu, udah ditungguin soalnya. Bye."
"Yakk...! Gue ditinggalin. Ra tunggu!!"
.
.
Di depan kampus, seorang laki laki, tampan dengan kaca mata hitamnya, berkali kali menatap keluar jendela mobil mencari keberadaan Aurora.
"Hai, dah lama nunggu." Tanya Aurora setelah masuk mobil Edward.
Edward hanya tersenyum tipis. "Gak."
Edward segera melajukan mobilnya ke jewellery langganan keluarganya. Ia menggandeng tangan Aurora saat memasuki tempat yang penuh dengan cermin itu.
"Silahkan ada yang bisa di bantu?" tanya pelayan yang melayani mereka.
"Keluarkan cincin pernikahan terbaru di toko ini, biarkan Aurora yang memilih!" Setelah Edward mengatakan itu, ia memilih duduk dikursi tunggu.
" Bagaimana dengan yang ini, apa kamu juga suka?" Aurora menunjukkan cincin yang dipilihnya.
"Tidak buruk."
"Mbak kita pesan cincin yang ini ya, didalamnya tolong lukiskan nama kita berdua."
"Baik Kak, pesanan sudah kami catat. Dan ini surat untuk pengambilannya nanti. Silahkan membayar disana." ucap pegawai itu menunjuk kearah kasir.
Edward segera mengambil kertas ditangan Aurora dan menuju kasir untuk melakukan transaksi pembayaran.
"Ayo kita pulang." ajak Edward
Aurora menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis.
Kak Ard, kau begitu menggemaskan sekali. Sikapmu yang dingin membuatku ingin terus mengerjaimu. Kira kira apa yang kamu lakukan setelah mengetahui kebenaran ini. Kamu pasti syok. Ha ha aku tak sabar melihat ekspresimu, gumam Aurora dalam hatinya.
.
.
.
#####
Tinggalkan jejak kalian. Jangan lupa like dan komentar positifnya sebelum membaca bab selanjutnya. Dukungan kalian sangat berarti untuk kami.
Thanks before. 💛
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 303 Episodes
Comments
Ayu Astuti
🤗🤗
2022-01-04
2
amalia gati subagio
😁est... ra koq ngeh tuh cinta 1nya... bagian mana part keberapa 🙈
2021-09-22
2
Reyza marvel
Hallo...🙋🙋🙋
2021-04-04
3