Kediaman Tuan Admaja
Edward tampak muram ketika melihat tampilan dirinya didepan cermin, kemeja batik lengan panjang bermanset warna coklat tampak melekat pas ditubuh pria itu. Tak dapat dipungkiri jika Edward malam itu tampak mempesona, kulitnya yang bersih seakan memancarkan cahaya, harusnya wajahnya berseri seri saat akan melakukan acara lamaran pada sang kekasih, tapi ini lain ceritanya. Ia dipaksa, dan harus menuruti kehendak orang tua dengan dalih untuk kebaikannya. Kebaikan seperti apa yang dimaksud orang tuanya, ia juga belum tau. Yang harus dia tau adalah jika sebagai seorang anak harus menurut pada orang tuanya.
Perlahan kaki jangkung pria itu melangkah menuruni anak tangga. Disana sudah banyak orang yang menunggu. Tuan Admaja, Nyonya Yuli, Amelia adik kandungnya dan asistennya Lukas tersenyum tipis melihat penampilannya malam ini.
"Wuuihhh kakak tampan sekali pakai baju itu. Ck..ck..! Tak kusangka, wajah bad boy mu itu tampak seperti pangeran jika sudah seperti ini." Amelia berdecak kagum melihat tampilan kakaknya yang beda dari biasanya. Ia pikir kakaknya akan memakai setelan jas formal, nyatanya ia salah besar.
"Biasa aja." Jawab datar Edward.
"Isshh.." Amel menyebikkan bibirnya.
"Sudah sudah! Jangan ribut disini. Ayo kita segera berangkat! Jangan membuat mereka menunggu terlalu lama. Dan ingat Edward, jangan bikin malu Ayah!" Tuan Admaja memperingati putranya.
Mereka semua akhirnya keluar dari mansion mewah itu menuju mobil masing masing. Satu mobil yang berisi barang yang akan mereka berikan saat acara lamaran telah terparkir rapi dengan roti buaya di bagian atap mobil beserta kandang transparan dengan hiasan pita diatasnya.
"Tunggu!" cegah Edward. Ia menatap horor pada mobil yang biasa ia pakai.
"Bunda! Apa tidak ada yang lebih baik dari itu? Ini memalukan Bunda!"
Bunda Yuli hanya tersenyum kikuk, menggaruk pelipisnya yang tiba tiba gatal. "Jangan membantah! Itu namanya melestarikan tradisi." kilah Bunda Yuli agar putranya tak marah.
"Apa! Tradisi? Ck! Oh terserah Bunda saja, aku kalah jika begini."
Edward menggeleng lalu segera masuk mobil sportnya dan duduk di bangku penumpang. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan orang tuanya, karena pasti tidak akan ada ujungnya. Terserah mereka melakukan apa pikirnya.
Lukas yang melihat itu hanya bisa tersenyum geli, tapi ia tak berani tertawa dihadapan Edward karena takut di tempeleng kepalanya. Ia tahu benar emosi tuannya saat ini, salah salah kakinya bisa dilubangi oleh pria itu.
.
.
Kediaman Tuan Hardy
Jam pun mulai menginjak pukul 8 malam. Tuan Hardy dan istrinya Nyonya Riyanti, sedang menunggu kedatangan calon besan dan calon mantunya. Hatinya harap harap cemas menanti kehadiran rombongan, pasalnya jam terus saja bergulir tanpa mau menunggu. Pasti akan sangat memalukan jika rombongan itu tak jadi datang, mau ditaruh dimana muka mereka di hadapan keluarga besar Wijaya.
Tak lama mereka mendengar suara deru mobil yang berhenti dan terparkir rapi di halaman mansion yang tak sebesar milik keluarga Tuan Admaja. Mereka berdua terlihat lega dan segera menyambut kedatangan rombongan didepan pintu mansionnya yang memang mereka buka lebar untuk penyambutan.
"Selamat datang di kediaman keluarga kami, maaf hanya gubuk kecil. Mari semua silahkan masuk." ucap Tuan Hardy ramah.
"Terima kasih dan jangan merendah." ucap Tuan Admaja dan mengulurkan tangan berjabat tangan.
"Mari mari silahkan duduk senyamannya." Timpal Nyonya Riyanti.
Rombongan duduk di sofa besar yang terlihat mahal. Edward duduk diapit kedua orang tuanya sedangkan Amelia dan Lukas duduk terpisah dengan ketiganya di sofa berbeda.
"Jadi ini Edward? Wah udah besar ya, beda sama yang dulu, lebih ganteng lagi. Saya sampai pangling lho." ucap Nyonya Riyanti memuji dan mengamati Edward.
"Iya. Mungkin kelamaan hidup diluar negeri dan jarang bertemu jadi tampak berbeda. Dan itu anak ke dua kami Amelia." Ucap Nyonya Yuli memperkenalkan putrinya yang langsung tersenyum lebar ke arah Nyonya Riyanti.
"Halo tante." Sapa Amel.
"Wah, kamu juga makin cantik. Udah besar ya, gak nyangka waktu cepat sekali berlalu. Dulu terakhir ketemu kamu masih kecil sekali." Nyonya Riyanti tersenyum.
"Ah tante bisa aja."
Edward hanya bisa pasrah duduk diantara kedua orang tuanya. Diam menyimak sambil mengamati dari jauh orang orang yang hadir dalam acara itu.
"Nyonya, ini mau diletakkan dimana?" Tanya seorang pelayan menyela pembicaraan mereka. Dua orang itu sedang mengangkat sebuah kotak besar yang berisi roti buaya. Dua pelayan itu bingung, pasalnya meja didepan Tuan rumah sudah dipenuhi banyak hantaran yang dibawa dari kediaman Tuan Admaja. Sudah tidak cukup jika harus diletakkan ditempat yang sama pikirnya.
Nyonya Riyanti meringis melihat ukuran roti sebesar buaya sungguhan, yang mungkin ia baru melihatnya kali ini. Ia pikir, mungkin calon besannya itu sampai mendatangkan patissier untuk membuatnya.
"Taruh didalam saja dan segera siapkan hidangan untuk tamu kita. Pastikan tersaji dengan baik." Ujarnya kemudian.
"Baik Nyonya."
Edward mengusap wajahnya malu. Di jaman semodern seperti sekarang, Bundanya masih saja menggunakan cara kuno untuk melamar seorang gadis. Tak habis pikir dengan Bundanya yang katanya kaum sosialita itu.
"Itu tradisi di keluarga kami, kalau kami membawa yang kecilkan sudah biasa, jadi kami sengaja membawa yang luar biasa. Konon katanya, buaya adalah simbol kesetiaan. Harapan kami, supaya anak anak bisa awet dan langgeng sampai tua dan sampai maut memisahkan." Nyonya Yuli tersenyum dan menepuk pelan bahu putranya.
"Wah sedalam itu filosofinya. Terima kasih, nanti kami akan bagikan pada sepupu Aurora yang lain biar bisa ketularan." Nyonya Riyanti menanggapi perkataan Nyonya Yuli.
Dua orang pria tua yang sedari tadi diam menyimak pembicaraan para istri akhirnya angkat bicara juga, karena jam juga sudah semakin meninggi.
"Lalu dimana putrimu? Sepertinya putraku sudah tidak sabar menunggu." Gurau Tuan Admaja, ekor matanya melirik Edward yang diam saja.
Tuan Hardy tersenyum. "Sabar, sebentar lagi juga turun. Kalian pasti tak akan bisa mengenalinya. Putriku sudah berubah menjadi gadis yang jelita, tidak seperti dulu yang belum bisa bersolek dan merawat diri." Ucap Tuan Hardy yang membanggakan Aurora. Istrinya hanya menepuk pelan paha suaminya mengingatkan agar jangan berlebihan.
Tuan Admaja hanya tersenyum mendengarnya.
Tak lama setelah itu, terlihat seorang gadis cantik menuruni anak tangga dengan gaya anggunnya. Suara high heels berbenturan dengan lantai granit rumahnya, membuat semua pasang mata memandang kearahnya.
Wajahnya yang bagaikan rembulan, cantik, teduh dan kalem pembawaannya membuat semua yang melihatnya melemparkan senyuman dan kata kata pujian.
Aurora yang saat itu menggunakan gaun panjang batik potongan mermaid dengan ekor panjang ke belakang hanya bisa berjalan pelan kearah Papa dan mamanya sambil menyunggingkan senyum tipis dari bibirnya.
Aurora tiba tiba merasa gugup ketika matanya bersirobok dengan seorang pria yang duduk diapit oleh kedua orang tuanya yang ia yakini jika pria itu adalah pilihan papa mamanya.
Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu pria itu. Apa pria yang tadi di kampus ya.
"Cantik." satu kata yang lolos dari bibir Edward tanpa sadar. Lukas yang mendengarnya hanya bisa tersenyum penuh arti.
"Kemari sayang, duduk di sini." tutur mamanya menepuk tempat disebelahnya, Aurora pun mengangguk dan duduk di tengah tengah orang tuanya.
Tuan Admaja hanya bisa tersenyum melihat pilihan istrinya untuk anak sulung mereka. Aurora terlihat smart, berkelas, dan elegan dimatanya. Sangat cocok jika disandingkan dengan putranya. Mereka akan memperoleh bibit unggul berkualitas seperti harapannya.
"Oke, sebelumnya kami mengucapkan terimakasih dan berkenan menyambut dan menerima rombongan kami dengan sambutan hangat dan penuh kekeluargaan. Saya harap silaturahmi ini tidak akan putus sebagai keluarga." Tuan Admaja menoleh pada istrinya yang mengangguk memberi kode.
"Maksud kedatangan kami sekeluarga kemari adalah untuk melanjutkan rencana perjodohan yang telah kita sepakati bersama waktu lalu. Niatan utama yang kami bawa dari rumah menuju ke kediaman ini adalah untuk melamar ananda Aurora untuk putra kami Edward." Tuan Admaja tersenyum melihat Aurora yang menundukkan pandangannya.
"Berkenaan dengan hal tersebut, dengan penuh rasa hormat kami meminta kesediaan nak Aurora untuk dinikahi oleh putra kami Edward. Mengenai mahar, dan lain lain tentu kami percayakan sepenuhnya pada nak Aurora sendiri."
Aurora mengangkat kepalanya untuk memandang wajah pria yang sedari tadi memandangnya. Acara lamaran yang menurutnya sederhana ini, nyatanya membuat jantungnya berdegup tak karuan, apalagi saat mendengar suara Tuan Admaja yang berwibawa saat berbicara.
Seorang ayah yang melamarkan putranya dengan penuh rasa hormat, bisakah jika hanya untuk dibuat mainan saja. Rasanya itu tidaklah adil. Apalagi melihat Papa dan mamanya yang selalu tersenyum disepanjang acara, mampukah ia melukai perasaannya. Akan tetapi jika dirinya tidak menolak, bagaimana dengan kisah cinta lamanya. Bagaimana jika pria itu menuntut jawab dan bagaimana dengan hatinya sendiri, mampukah hatinya berpaling dengan pria lain yang bahkan dia sendiri tak mengenalnya.
Apa yang akan aku katakan pada mereka.
"Ehmm, jadi bagaimana menurutmu nak Aurora, apakah kamu bersedia dipinang putra kami?" tanya nyonya Yuli tak sabar.
Aurora menoleh kekanan dan kekiri melihat mama dan papanya. Mereka berdua mengangguk bersama, sebuah kode besar agar putrinya mau dan menerima lamaran tersebut. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu.
"Ya, sa..ya bersedia."
Semua mengucap syukur atas jawaban Aurora. Orang tuanya begitu lega mendengar jawaban putrinya.
Lalu bagaimana dengan Edward? Pria itu hanya tersenyum tipis untuk menghormati dua keluarga itu. Ia tak bisa membuat keluarganya malu atas sikapnya yang tidak sopan.
Acara dilanjutkan dengan penyematan cincin. Edward dan Aurora saling memasangkan cincin emas putih yang dibeli Nyonya Yuli. Keduanya tersenyum canggung.
Suara tepuk tangan memenuhi ruang tamu. Semua mengucapkan selamat dengan penuh suka cita. Edward dan Aurora hanya mengembangkan senyum palsu dihadapan mereka semua.
"Jadi kapan acara pernikahan akan dilangsungkan." tanya Tuan Admaja kepada Tuan Hardy calon besannya.
"Untuk itu sebaiknya setelah wisuda Aurora saja, bagaimana menurutmu Ma? Kasihan kalau kita nikahkan sekarang juga." Kelakar Tuan Hardy.
"Haha.. bisa saja kamu. Saya setuju saja jika mereka menikah sekarang. Kita legalkan suratnya besok. Bagaimana menurutmu Edward, tak masalah bukan kamu menikah sekarang. Kamu bisa enak enak malam ini." Kata Tuan Admaja menanggapi kelakaran Tuan Hardy.
"Ehmm begitu juga boleh, saya juga setuju." Timpal nyonya Yuli menganggukkan kepalanya.
Edward menelan ludahnya sendiri. Wajahnya terlihat panik sendiri. "Jangan, jangan sekarang!"
"Kenapa? Tidak mau enak enak malam ini?" Goda Tuan Hardy mengerutkan kening.
"Aduh bukan seperti itu, hanya saja itu terlalu cepat. Benarkan Ra,? Bisakah kita saling mengenal dulu." Edward menoleh kearah Aurora yang mengangguk.
"Baiklah jika kalian tidak mau, kalian bisa menikah usai Aurora wisuda. Bagaimana?" Tanya Tuan Hardy lagi.
"Ya, setidaknya itu lebih baik." Jawab Edward tidak yakin.
Para orang tua hanya tersenyum mendengar jawaban Edward.
.
.
Semua orang menuju ke tempat makan, kecuali Edward yang memilih mengambil minuman dan membawanya keluar. Ia duduk dan menyalakan rokoknya. Rupanya pria itu sedang mencoba menutupi hatinya yang kacau.
"Harusnya tidak terjadi hari yang seperti ini. Rara Rara, dimana kamu sayang. Andai saja kamu selalu memakai kalung itu, pasti aku dengan mudah melacak keberadaanmu. Lalu sekarang aku harus bagaimana."
Aurora yang mengetahui Edward ada di taman depan langsung menghampirinya. Ia ingin tahu bagaimana tanggapannya.
"Hey!" Sapa Aurora ramah.
Edward melirik malas. "Kau, ada apa kemari!" ketus Edward kembali memalingkan wajah.
"Kenapa begitu? Aku hanya ingin membicarakan sesuatu padamu. Bisakah kita bicara sebentar, setelah itu aku janji tidak akan mengganggumu."
"Katakan!" Ketus Edward.
Aurora tersenyum mendengar Edward yang masih ketus padanya. "Pertama, kita tadi siang tak sengaja bertemu di kampus. Kau ingat?"
"Hemm." Ucap Edward malas.
"Ada keperluan apa ke kampus?" Tanya Aurora.
"Bukan urusanmu!"
"Oke. Apa kau menganggap serius pertunangan ini?" Tanya Aurora lagi.
"Tidak!"
"Kalau tidak kenapa memaksakan diri untuk melamarku. Aku juga tidak memintamu untuk melamarku. Aku juga tidak kenal denganmu!"
"Terpaksa, lebih tepatnya dipaksa. Kau sudah terlalu banyak bicara nona. Masuklah ke dalam , aku ingin sendiri." Ucap Edward datar.
"Sebentar, aku belum selesai. Apa kau mempunyai pacar?"
"Ya."
Aurora terdiam dengan pikirannya sendiri. Matanya menatap kosong. Sesulit inikah kisah percintaannya.
"Bisakah kita menganggap pertunangan ini serius? Kita akan menyakiti hati orang tua kita jika begini." Pinta Aurora ragu.
"Maaf aku tidak bisa Aurora. Ku mohon jangan menaruh harapan besar padaku, sampai kapan pun aku akan menunggu gadis kecilku. Kau akan sakit hati jika menganggap pertunangan ini serius. Percayalah, aku hanya mencintai gadisku."
Aurora terdiam membisu. Tak tau harus mengatakan apa lagi. Berkali kali ia hanya menghela nafasnya untuk menenangkan hatinya. Ia sudah mencoba menerima takdirnya, tapi ternyata kisah cintanya juga tak semudah itu.
.
.
.
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 303 Episodes
Comments
Yuli Yuliand
aurora jgn2 rara yg adward cari..
2022-05-12
2
Ayu Astuti
💚🧡💚
2022-01-04
2
amalia gati subagio
wa ha ha... yg tahu rasa ed yach.. .lo thor 😹 semangat berkaryanya thor 💪💪👻
2021-09-22
2