Bel istirahat berbunyi dan semua siswa-siswi bubar. Ada yang pergi ke kantin, ke lapangan, atau bahkan duduk diam di kelas.
Seperti Ayra sekarang. Dia memilih diam di kelas merasakan keletihannya. Kakinya terasa pegal dan ia sangat mengantuk sekali.
"Ay, kamu gak ke kantin?" Desti menyenggol lengannya.
"Aku males banget, Des. Rasanya aku capek banget nih." Ucapnya malas.
"Emang kamu gak laper gitu?" Tanya Desti lagi.
"Perut aku laper banget ini. Tapi, kalah sama kakiku yang sakit. Gara-gara gak ada angkot yang lewat, aku harus lari dari rumah." Jelasnya lesu.
"Astaga, kamu lari dari rumah ke sekolah? Bukannya ada motor dirumah?" Desti penasaran dengan jawaban sahabatnya.
"Motornya sudah di pakai Tasya. Jadinya aku lari deh!" Ucapnya tanpa sadar.
"Tasya? Kenapa dia pakai motor kamu?" Pertanyaan Desti menyadarkannya kalau dia salah bicara. Semua orang tak tahu jika mereka satu rumah.
"Ah, iya. Apa tadi kamu bilang, Des? Aku gak ngeh. Hehehe!" Ayra jadi salah tingkah karena panik.
Gawat kalau sampai mereka tahu bahwa kita satu rumah dan kami adalah saudara tiri. Bisa-bisa Tasya marah.
"Tadi kamu bilang motor kamu di pake Tasya." Tanya Desti lagi.
"Kamu salah denger kali. Karena perut yang laper, aku jadi ngelantur. Udah ah, aku mau tidur dulu. Bangunin aku kalau guru sudah masuk kelas." Perlahan mata Ayra terpejam.
Desti yang akan bertanya pun tak jadi setelah melihat mata Ayra terpejam. "Haish, dia ini." Ia pun melangkah meninggalkan Ayra yang tertidur di meja dengan tangan yang menelungkup sebagai bantalan.
Keadaan menjadi sepi. Tak ada suara yang terdengar lagi membuat Ayra semakin nyenyak tertidur. Tiba-tiba seseorang duduk di samping Ayra. Ia sempat tersenyum melihat wajah Ayra yang sedang tertidur. Dengan satu tangannya memangku dagu dan satu tangan lagi terulur menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Ayra. Ia terus menatap wajah teduh Ayra dengan senyuman yang tak hilang.
"Cantik." Satu kata yang keluar dari bibirnya.
Ayra merasakan suatu pergerakan yang mengusik tidurnya sampai ia mengerjapkan mata. Betapa terkejutnya ia setelah melihat wajah seseorang tepat depan matanya sampai matanya membulat sempurna. "Astaga!" Pekik Ayra.
Tanpa sadar Ayra mendorong tubuh orang yang ada di hadapannya sampai terjungkal ke belakang. "Whoooaaaa!" Tubuhnya terjungkal dan bokongnya mendarat di lantai diikuti jatuhnya bangku.
Brakk
"Aduh." Ia mengaduh seketika saat bokongnya mencium kerasnya lantai dan kakinya ketindihan bangku "Kaki gue!" Rengeknya.
Melihat itu, Ayra lekas meminta maaf. "Oh ya ampun. Maafin aku, Ken. Aku gak sengaja." Dengan cepat Ayra berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Kendra.
Uluran tangan Ayra tak disambut oleh Kendra namun ia mendengus kesal. "Lu itu kasar banget sih, Ay!" Ketus Kendra.
"Aaa-aku gak sengaja. Lagian, sedang apa kamu disini? Aku kan jadi terkejut." Ayra membela diri dengan rasa panik.
"Duduk lah, lu kira gue lagi joged?" Ketus Kendra.
"Tadi kan kamu gak masuk kelas. Kenapa tiba-tiba nongol depan aku sih?" Kata Ayra.
"Suka-suka gue lah. Mau masuk jam berapapun itu urusan gue." Ucap Kendra. "Dasar, Markonah. Segitu bencinya sama gue sampai elu dorong gue kebelakang?" Hardik Kendra terus.
"Apa? Markonah? Hei, Markoho. Kamu yang dateng tiba-tiba malah nyalahin aku lagi." Ayra terus membela dirinya. "Salah sendiri, kenapa wajah jelek kamu nongol depan wajahku?" Lanjutnya kemudian.
"Apa? Hei, mata lu picek ya. Semua gadis ngejar-ngejar gue karena ketampanan gue, lah elu malah bilang kalau gue jelek." Cerca Kendra dengan rasa bangga karena memiliki wajah tampan. "Dan ... Markoho? Siapa itu Markoho?" Suara Kendra meninggi mendengar nama yang asing di telinganya.
"Kamu tadi manggil aku Markonah, ya aku juga panggil kamu Markoho lah. Kenapa? Mau protes, hehh?" Nada bicara Ayra tak kalah tinggi.
"Ya iya lah gue protes. Nama gue keren gini elu panggil asal-asalan. Dasar Markonah." Ken tetap tak mau mengalah.
"Hei tuan tampan. Kamu juga panggil aku Markonah. Dasar Markoho."
Mereka terus ribut dengan nama panggilan masing-masing yang saling menjelekan. Namun, Ayra yang tak mau kalah membuat Kendra mengalah. Ken yang terpojok langsung merubah mimik wajahnya.
"Aaa-aduuhhh, bokong gue sakit banget. Kayaknya pinggang gue patah tulang nih." Ayra membelalakan mata mendengar perkataan Kendra. "Kaki gue juga sakit ini." Ia terus berpura-pura supaya Ayra merasa bersalah.
"A-apa? Pa-patah tulang?" Wajahnya menjadi pucat pasi.
Gawat, kalau tulang pinggangnya patah, dia bisa nuntut aku ke jalur hukum. Ayahnya kan jaksa terkenal. Oh ya tuhan, selamatkan lah aku darinya.
"Iya. Tulang pinggang gue kayaknya patah. Sakit banget!" Rengek Kendra dengan memelas.
"Oh ya tuhan, maafin aku Ken. Apa yang harus aku lakuin supaya pinggang kamu sembuh?" Ayra yang panik malah membuat senyum Ken mengembang. Namun, ia tak memperlihatkan senyum manisnya di depan gadis itu.
"Bantu gue duduk!" Pinta Kendra ketus dengan mengulurkan tangannya. Ayra langsung membantu Ken berdiri namun ia tak bisa mengangkat tubuh Ken yang lebih tinggi darinya.
Kita lihat saja, seberapa merasa bersalahnya elu sama gue. Dasar gadis jelek.
"Aduh, badan kamu berat banget sih kayak gajah." Ayra berusaha mengangkat tubuh Ken yang sengaja tak mau bangun.
"Apa? Gajah? Lu pikir gue gendut, hehh? Kurang ajar sekali lu jelek." Hardik Kendra.
"Kalau lu gak mau bantu gue, gue bakal lapor sama guru kalau lu sudah menganiaya gue!" Ancam Kendra.
"Ah, hehehe. Maaf!" Ayra malah cengengesan.
Sial, dia bisanya ngancem doang!
"Ayo, aku bantu kamu duduk!" Ayra terus berusaha dan Kendra tertawa jahat. Dia sengaja melingkarkan tangannya di leher Ayra supaya gadis itu bisa mengangkat tubuhnya. Dengan susah payah akhirnya Ayra bisa mengangkat tubuh Ken dan mendudukkannya di bangku tempat Ayra.
Sial banget sih aku hari ini. Tadi pagi udah lari-lari'an, sekarang harus ngangkat tubuh si gajah, eh bukan. Dia si jerapah. Dia gak gendut, tapi dia hanya tinggi kaya jerapah. Huuh, menyebalkan. Gerutu kesal Ayra sambil memijit tangan dan kakinya yang terasa pegal.
Kendra melirik gadis disampingnya.
"Kenapa kaki sama tangan lu?"
"Bukan urusan kamu." Ketus Ayra.
"Cih. Dasar Markonah. Elu itu ...!" Sebelum Kendra menuntaskan ucapannya suara lain menghentikannya.
Krucuukkk
Perut Ayra berbunyi di waktu yang tak tepat. Mereka saling pandang dengan pikiran masing-masing.
Ya tuhan, kenapa cacingnya malah konser di depan si jerapah?
Wajah Ayra memerah menahan malu. Sedangkan Kendra menahan tawanya. Dia pun tak bisa menahan tawanya saat melihat Ayra memalingkan wajahnya ke samping.
"Hahaha! Ya tuhan, Markonah. Makanya jangan suka marah, perut lu jadi ikutan marah bukan?" Dia terpingkal menertawakan Ayra.
"Ish, dasar jerapah. Senengnya ngeledekin terus!" Tangan Ayra memukul lengan Kendra yang terus tertawa. "Hahaha."
Ayra memegangi perutnya yang sedang kelaparan. Kendra tersenyum sambil menyodorkan makanan yang diambil dari tasnya. Roti selai coklat dan teh kotak di taruh'nya di meja. "Makanlah!" Ucapnya singkat.
"Hahh?" Ayra tak mengerti maksud dari perkataan Kendra.
"Kalau tak mau memakannya lu bisa membuangnya." Ucap Ken cuek tanpa menoleh ke arahnya.
"Dibuang? Sayang sekali. Lebih baik buat aku saja ya." Ayra langsung membuka plastik bungkusan roti dan memakannya.
"Enak?" Ayra mengangguk dengan pertanyaan Kendra.
"Ya, ini sangat enak Ken. Dari pagi aku belum makan apapun. Makasih ya." Ia tersenyum senang.
"Itu gak gratis lho!" Penuturan Ken memancing tenggorakan Ayra menjadi gatal.
"Ukhuk ... ukhuk! Maksud kamu?" Tatapan tajam Ayra menusuk mata Kendra sambil ter'batuk.
"Woi, tuh mata mau gue congkel apa ya?" Ayra mengerjap-kan matanya berulang. "Elu cacingan? Pake kedip-kedip mata gitu." Cibir Kendra.
Ayra menggelengkan kepala.
"Ish, dasar si Markoho. Maksud kamu apa dengan bilang makanannya gak gratis?" Tanya Ayra penasaran.
"Iya itu gak gratis. Elu harus bayar roti sama minuman ini, di tambah pinggang gue yang sakit. Jadi, elu harus dateng ke pesta ulang tahun gue dan membantu melancarkan acaranya. Gimana?" Kendra menaik turunkan alisnya memberi tawaran pada Ayra.
"Maksud kamu, aku jadi pelayan di sana?" Ken mengangguk pasti. "Kalau aku gak mau?" Ketus Ayra kemudian.
"Gue tinggal bilang ke guru kalau lu kekerasan fisik sama gue biar pihak sekolah yang memutuskan denda buat lu. Gampang, kan!"
Sialan emang si jerapah Markoho ini. Kurang ajar pokoknya. Dia pake ngancem aku lagi.
Ayra terdiam sejenak berpikir untuk memutuskan sesuatu sebelum dia menyanggupi permintaan Kendra. "Oke, tapi ada syaratnya!" Dia mencoba memberikan penawaran pada Kendra.
Pemuda itu menautkan alisnya. Berani benar dia memberikan syarat sama gue. Pikir Kendra. "Apa syaratnya?" Tanya Kendra dengan ketus.
Ayra tersenyum karena ternyata Kendra bertanya.
Hahaha.
"Syaratnya yaitu ....!"
"Apa??????"
Jeng jeng jeng,
Bersambung gaess
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
triana 13
like
2021-12-31
0
ZaZa
markoho, markonah🤣🤣🤣
2021-12-04
0
oyttigiz
mantap
2021-11-25
1