.
.
.
.
.
.
Abi masuk dengan suara lembutnya mengucapkan salam.
"Assalamualaikum ..." sapanya.
Aku bengong, masih terkesima dengan suara lembutnya itu,
saking grogi dan terpesona aku menjawabnya dengan lembut juga, "Annyoeng
Oppa."
Dia mendelik seketika mendengar jawabanku.
Itu ... dia ... Abi yang selama ini aku cari ...
Tatapan mata yang dulu membuatku merutukinya setiap hari.
---- aku ceritain satu bulan sebelum hari ini yah ---
***
Sebulan yang lalu..
Tepatnya malam di perayaan ulang tahun Indonesia yang ke-72,
itu sama bertepatan juga dengan usiaku yang ke-27 tahun.
Huh, asli mamaku sungguh kreatif sekali, datang ke kosan
tanpa kasih kabar lalu menculik aku yang notebene anaknya sendiri dari geng
kampr*t-ku malam itu.
Mama membawaku ke sebuah hotel bintang lima di Kawasan Kota
Tua, mau ngapain juga nih si mama, saat aku dengan menurut saja apa yang
diperintahkan mama saat itu.
Hayo Han ganti baju.
Hayo Han cepetan kita pergi.
Hayo Han, mama udah booking kamar hotel buat ultah kamu.
Hayo Han, udah tinggalin aja temen-temen kamu sekarang,
sini biar mama yang nelpon ke mereka, perayaan ultah kamu malam ini dibatalkan,
karena harus menghadap Ibu Suri.
Begitulah kira-kira kalimat yang aku hafal saat mamaku
merancau di kamar kosan saat detik-detik malam proklamasi akan dikumandangkan
lagi setelah 75 tahun.
Dan, sekarang gue jadi tahanan mamaku sendiri.
Isshh ... Hoon dasar lo, nggak berperi persahabatan sama
sekali, temen-temen lo uda jauh-jauh hari repot nyiapin buat surprise party lo malam ini. Aku berbicara dengan diriku sendiri.
Yah mau gimana ... Ibu Suri titahnya nggak dibantah coy ... mau,
gue dikutuk jadi batu kayak si malin kundang noh.
Gue sih ogah!
Belum kawin gue.
Sepanjang perjalanan ramai sekali beberapa ruas jalan
ditutup, kami sempat harus berputar-putar keliling Jakarta sekedar mencari
jalan untuk menghindari beberapa titik keramaian.
Kabarnya malam ini akan digelar konser dangdut di Monas,
yang itu berarti jalanan otomatis sepanjang jalan arah Monas ke Kota Tua sudah
pasti macet.
Harusnya sih, butuh sekitar 30 menit dari kosan aku di
Pondok Indah ke Kota Tua, tapi malam ini sudah hampir satu jam, sampai akhirnya
mobil online yang dipesan si mama berhenti tepat di depan halaman lobby hotel
bernuansa oriental.
Duh, ini khan hotel yang pernah gue posting di Instagram gue
sebulan yang lalu dengan caption, Kapan yah aku bisa menginap di sini.
Aku menoleh ke mama saat mobil perlahan memasuki halaman
hotel. Si mama meringis, kedua tangannya di angkat, ibu jari dan telunjuknya bertautan membentuk hati,
mirip seperti para Oppa yang suka kasih php ke fans cewek, saranghae.
Rasanya pengen muntah, mah!
Ya Alloh mama …
Fixed!
Kamar hotel pilihan mama emang Daebak sih.
Kamar besar dengan view pemandangan kota Jakarta membuat
hatiku yang kesal tiba-tiba melemah. Yee elah Hoon, cepet banget sih kamu luluh
gegara beginian aja.
Aku kira papa juga ikutan ternyata, enggak!
Kata mama, papa ada acara sama rekan kerjanya di Bandung
selama satu minggu dan kedua adikku beralasan lagi sibuk dengan persiapan
lomba.
Yah udahlah yah, kita cuma berdua.
Serius aku rada curiga sama perbuatan mama malam ini,
jauh-jauh dari Surabaya naik pesawat dibela-belain terbang ke sini cuma demi
ngerayain ultah aku, nggak mungkin.
Sejak kapan mamaku ini super peduli sama anak pertamanya
yang katanya sama sekali enggak ada miripnya sama mama. Beneran! Mamaku tuh
cantik, tinggi, kurus, nggak keliatan usianya sudah lima puluh tahun.
Sementara aku, tinggi badan aku aja hanya 155 cm, belum kulitku yang kecoklatan
dan badanku yaaaanng … ah udah ah. Pokoknya aku suka berpikir, apa benar dia
mamaku?
BUK!
Wajahku terhantam bantal besar bersarung bantal warna putih
bersih, duh untung nggak kena lipstik aku, kalau iya, bakalan ganti rugi deh.
“Mah. apaan sih! Sakit tauk!” aku cemberut sambil memegang
pipi kananku, dan melempar bantal ke sembarang tempat.
“Lagian bengong muluk, kalau kata orang tua pamali.”
Sambil mengoceh mama meraih goodie bag warna coklat
yang ia tenteng sedari tadi.
Sekilas aku melirik ke mama. Mamaku bawa apaan yah. Kado
buat aku kali ya.
Aku tersenyum senang saat membayangkan hadiahnya.
“Mah, adek-adek gimana kabarnya?”
“Adekmu, hmm nggak usah dipikirin, Dini sama Dino mah bisa
urus diri mereka sendiri, emangnya kamu.”
Tuh kan! Mama mulai lagi.
Itu kenapa aku beralasan minta kuliah di Jakarta dan
melarikan diri dari Ibu Suri.
Kalau dalam sejarah memang Ratu dan Ibu Suri itu enggak
pernah akur khan. Itu drama yang sering aku tonton di streaming, drama Korea.
Iya khan, aku calon Ratu di kerajaan papaku sendiri hehehe ....
Aku beringsut, menenggelamkan wajahku ke dalam bantal. Ih
pengen deh ngomel gituh tapi.. dia mamaku.
“Happy Birthday Haneeeeeyyy Baniiiii-nya Mama Cayaaaang ...”
Mama sudah berdiri dengan kedua tangan memegang sekotak kue
ultah saat aku mengangkat kepala dan menengok ke arahnya, eh bukan lebih
tepatnya kue ultah berukuran mini dengan lilin warna merah menyala yang
tertancap di sana.
Aku segera maju, membenarkan dudukku di tepi tempat tidur,
meringis, terpaksa. Lalu aku membayangkan hal lain setelah ini. Aku sangat
paham mamaku, dia memberikan sesuatu ke anak-anaknya maka dia pun akan meminta
sesuatu yang lebih juga pada anaknya.
Saat aku meniup lilin berdoa, semoga pikiranku salah dan
mama benaran hari ini hanya ingin merayakan ultah aku karena kesepian di rumah
sendirian. Semoga ya!
Adegan tiup lilin dan berdoa selesai bersamaan dengan suara
kembang api dan petasan saling bersahutan di luar gedung hotel, tak mau kalah
suara terompet terdengar keras. Iya perayaan ulang tahun negeri ini selalu
meriah, sementara ultahku, biasa aja setiap tahunnya.
Mama duduk di sisi kananku, saat kita sudah membersihkan
badan, rasanya segar sekali setelah mandi dengan air hangat. Coba mah, kosan
aku kayak gini, Hoon pasti seneng deh, bathinku.
Rambutku basah karena aku siram, mama membantu mengeringkan
dengan hair driyer, saat itu juga drama dimulai.
Simak ya, Ibu Suri mau kasih titah.
“Haneeyy, jadi gini.” Suara mama tenggelam kalah dari suara
bising hair driyer.
Baru aja mama membuka percakapan aku sudah jantungan duluan.
Ini pasti perjodohan, iya sudah beberapa kali mama
memberikan calon suami ke aku, dan selalu aku tolak dengan mantab tanpa alasan
yang jelas.
Memang usiaku sudah 27 tahun, sudah waktunya menikah. Orang
tua mana pun pasti galau kalau anak gadisnya belum menikah apalagi usianya
sudah di atas 25 tahun, kayak aku aja contohnya.
“Honeeyy, tahu khan anak Pak Yai Jamal, itu yang punya yayasan
waktu kamu sekolah dulu.”
“Hmm ...” jawabku enggan.
“Kemarin keluarganya datang ke rumah.”
“Ngapain Mah?” aku reflek mendongak, tapi mama menekan
kepalaku agar tetap menunduk, ku ikuti perintah mama, diiringi masih dengan
suara hair driyer.
Bising!
“Mereka minta anak Mama menikah sama salah satu putranya.”
Deg!
Aku langsung terdiam, ah jantungku berdebar kencang. Siapa?
Putranya? Nggak mungkin dia khan.
“Terus Mama jawab apa?”
“Iya Mama terimalah.”
“Eh ... Mah ... kok gituh.” Kali ini aku berusaha mendongak,
mengibas hair driyer dari tangan mama.
“Mah?” aku menggelengkan kepala, melotot, entah aku
kok berani bertingkah seperti ini sama mama.
“Hmmm … gimana yah, kamu nggak punya pacar khan, kamu juga udah
siap menikah, mang ada alasan lain kita mau nolak lamaran itu.”
“Mah ...”
“Iya.. Mama tahu kamu sama dia ... eeehh ... tapi dia udah
berubah kok. Suer! Ganteng kayak Oppa-oppa Korea. Kata Dini pas lihat dia, kamu
pasti setujuh, jadi yah udah Mama sama Papa udah mengiyakan dan sudah
menentukan tanggal pernikahan kalian.”
Ya Alloh ... rasanya gue mau pingsan mendengar semua
penjelasan si mama.
Khan gue makin yakin kalau sebenernya gue bukan anak kandung mama!
Mama langsung berdiri meraih tas miliknya di atas meja
nakas, tangan kanannya merogoh bagian dalam tas itu, sesuatu.. amplop berwarna
putih bersih di tangan mama.
Saat tangan mama menyodorkan kertas itu tanganku gemetar,
undangan pernikahan yang sudah dicetak dan tertulis jelas namaku dan nama cowok
itu, Abidzar Alghifari.
Tuhan ... kenapa hidup gue kayak gini amat yak!
Lalu aku teringat Dini, adik perempuanku, dia telah
berkhianat.
Awas aja kalau ketemu.
“Sayang, Mama tahu kamu sibuk nggak bakalan bisa urus
beginian jadi, Mama sama Uminya Abi yang ngurus semuanya dan kata Dini, kamu
pasti setujuh kok.”
“Mah, kenapa nggak nanya aku dulu sih, Mama khan bisa
telpon apalah.”
“Kamu mana ada waktu, Mama suka lihat medsos kamu, sibuk ke
sana ke sini, bikin itu, bikin itu, pokoknya Mama nggak mau tahu. Sebelum
tanggal pernihakan, kamu harus sudah di rumah, dan mulai Senin besok kamu ajuin
cuti nikah di kantor kamu dan bawa bukti undangan ini.”
Itu mamaku, Ibu Suri yang selalu mengatur hidupku.
Tapi diam-diam aku merenung, Abidzar ... kenapa dia mau menikah
sama aku, bukannya dia ditaksir banyak cewek cantik.
Kenapa?
“Ih, ngelamun terus nih anak. Udah sana gih sholat dulu,
Mama mau nelpon Uminya Abi kasih kabar kalau kamu sudah ready di hari
pernikahan nanti.”
Aku hanya bisa mendengus lirih berjalan ke arah kamar mandi.
Rasanya ingin menangis, menangis senang atau sedih, karena terpaksa menikah.
Nah, itu cerita sebelum hari H pernikahanku.
***
Di dalam kamarku saat Abi masuk dengan sudut bibirnya naik
ke atas, menyeringai lebih tepatnya saat aku membalas salamnya ketika ia masuk.
Aku berdiri menghentakkan kakiku saat dia menatapku, aku
terkejut jadi aku reflek, aku punya kebiasan buruk seperti itu, eh senyumannya itu lebih tepatnya dia mencibirku, iya senyuman itu
Meremehkan aku, kan.
Dia berjalan ke arahku berdiri sambil membuka stelan jas
pengantinnya, lalu melempar ke arahku.
“Ini tolong beresin yah, itu juga sprei diganti, aku nggak
mau tidur bekas diinjak-injak orang.”
Setelah berkata seperti itu Abi menuju ke kamar mandi.
Ya Alloh ... ini malam pertamaku.
Ternyata dia nggak berubah sama sekali, lalu ... Mama ...
Dini ... kalian berdua mengkhianati aku.
Hwaaa ... rasanya aku ingin kabur saja, saat aku lihat
handphone milikku tergeletak di atas tempat tidur.
Dengan cepat aku meraihnya lalu membuka WAG teman-temanku,
iya mereka pasti masih di sini kan, belum jalan ke hotel. Di sini lama kalau
pesan mobil online.
Aku bergegas mengetik di layar ponsel, lalu terhenti ...
Eh teringat ciuman hangatnya si Abi tadi saat selesai akad nikah.
Hoon ... sadar!
Enggak mungkin, barusan saja dia bersikap begituh.
Duh jantungku berdebar kencang, tapi ini malam pertama aku.
Gimana dong.
Cepat aku hapus pesan itu di WAG sebelum terkirim oleh
jari-jari tanganku.
Kuletakkan handphone itu di atas meja nakas, lalu aku
mengambil sprei di dalam almari pakaian, ada sprei putih, yah hanya warna itu
yang aku punya.
Pliis ... Hani.
Jangan berpikir macam-macam.
Kutarik sprei warna pink di atas tempat tidurku, lalu
kulipat merapikannya, kuletakkan di sembarang tempat. Memasang sprei baru
sesuai perintah Abi, tapi kalau dipikir-pikir kenapa aku melakukan semua
perintahnya ini.
Duh, auh ah!
Kret!
Suara pintu kamar mandi terbuka, aku langsung menoleh.
Oh … aku menekan dadaku kuat-kuat, sungguh maha sempurna
makhluk ciptaan Tuhan di depanku ini.
Abi hanya mengenakan kaos warna putih
berleher v sedikit menerawang, terlihat bagian tubuhnya yang aduh gimana yah. Mirip adegan tokoh utama cowok di drama Korea itu, berasa lagi shooting dan aku peran utama wanitanya.
Aku pikir hanya ada di drama Korea saja cowok bertype
seperti ini, ternyata Abi sudah begituh berubah. Rambutnya yang basah, wajahnya
yang putih masih tersisa air dan lehernya yang jenjang, ada jakun yang naik
turun.
Aku mengerjapkan mataku segera, lalu merapikan seprei.
“Kamu belum mandi?” suara Abi membuat badanku bergeming
sesaat, lalu aku hanya meringis masih posisi merangkak lurus menatapnya.
Yang diperhatiin justru acuh tak acuh sementara aku ...
Aku hanya menggeleng, lalu cepat-cepat bangun melarikan diri
darinya, mau masuk ke kamar mandi. Satu-satunya tempat yang aman untuk melarikan
diri, nggak mungkin keluar kamar, ada banyak orang yang masih bantu beberes,
apa kata mereka kalau aku tiba-tiba keluar ninggalin suamiku sendirian.
Iihhh ...
Hoon.
Aku berhenti saat lengan tanganku ada yang menahan. Abi
memegang lengan tangan kananku dengan erat, matanya penuh selidik, menelusuri wajahku,
lalu ke bawah, eh apa yang mau dia lakukan padaku?
Untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian tidur super
tipis, celana di atas lutut, dan ini semua gara-gara Rara yang sialan katanya
baju tidur ini cocok buat pengantin baru.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments