Alya dipercaya untuk meng-handle café oleh atasannya. Saat ini ia tengah berada di dalam ruangan Dewi, sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sesekali pandangan ia alihkan keluar melalui dinding kaca ruangan. Tampak cafe mulai ramai. Di sana Reni sedang melayani pelanggan yang memesan makanan. Di depan meja tersebut dipasang penyekat transparan yang memisahkan antara pengunjung dan pegawai, karena sekarang sedang musim pandemi covid-19.
Protokol kesehatan juga sudah diterapkan di café itu sejak pemerintah memberikan himbauan. Biasanya café beroperasi hingga jam 10 malam, tetapi sekarang jadwal bukanya diatur lebih lambat dan harus tutup lebih awal. Café yang berada di kawasan perbelanjaan elit di Cibubur itu harus mengurangi jam operasional mereka.
Setelah merasa kakinya lebih baik dan karena ia juga tidak betah berada di ruang kerjanya seorang diri, Alya memutuskan untuk ikut membantu Reni melayani pengunjung café.
“Selamat menikmati!” ucap Alya sambil menyodorkan baki berisi makanan pada pelanggan. Pelanggan itu menyambutnya seraya mengucapkan terima kasih. Alya membalasnya dan memasang senyum ramah. Interaksi gadis itu sangat baik terhadap para pengunjung yang datang, walau sebenarnya ia tidak tahu, bagaimana wajah pengunjung-pengunjung itu.
“Lo, beneran gak apa-apa, Al? Gak terjadi sesuatu gitu ama diri lo?” tanya Reni setelah tidak ada yang memesan makanan.
“Aku baik-baik aja, Ren,” jawab Alya memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
“Beneran cowo itu gak ngapa-ngapain lo?” tanya Reni lagi.
“Reni, ngapain juga cowo itu bawa aku ke klinik, kalo dia mau berniat jahat?”
“Beneran gak terjadi apa-apa?”
“Nggak,” jawab Alya singkat.
“Syukur deh, lo masih perawan,” goda Reni kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Alya memberengut. Ia membayangkan jika malam itu terjadi sesuatu yang buruk padanya.
“Ah, tidaaaak!!!” teriak Alya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Sontak semua pengunjung yang sedang makan menoleh ke arah mereka berdua.
“Alya, ssst!” Reni menempelkan telunjuknya ke bibir. Tatapannya ia arahkan pada Alya. Spontan Alya membekap mulutnya sendiri.
Reni menarik kursi dan menyuruh Alya duduk. Ia mulai menenangkan temannya itu.
“Udah, gak usah dibayangin. Gue bersyukur, lo baik-baik aja!” ucap Reni.
Alya mengangguk.
Percakapan mereka terhenti karena ada pelanggan yang memesan makanan.
***
Sementara itu, Dena mulai mencari informasi tentang gadis yang ditolong Rendi, atasannya. Pencarian dimulai dari klinik tempat Rendi membawa Alya untuk mendapat penanganan medis malam itu. Siapa tahu dengan mendatangi klinik itu, ia bisa mendapatkan sedikit informasi tentang Alya.
Dena menghampiri seorang wanita berseragam putih lengkap dengan penutup kepala khas suster. Di tangannya memegang map yang bertuliskan rekam medis pasien.
“Permisi, suster," sapanya.
“Ya, Mas, ada yang bisa saya bantu?” tanya suster itu.
“Suster kenal dengan gadis ini?" tanya Dena sambil menunjukkan foto Alya dari layar ponselnya. "Dia gadis yang kemarin malam diantar oleh seorang pria muda dan lelaki agak tua ke klinik ini,” lanjut Dena.
"Mbak Alya?" ucap suster itu.
"Suster mengenalnya?" tanya Dena lagi. Ia merasa senang akhirnya bisa menemukan titik terang tentang gadis yang ia cari.
"Dia memang sering ke sini, Mas. Ada apa ya?" jawab suster itu diakhiri pertanyaan.
“Namanya Alya, sus?”
“Iya, Mas.”
“Suster tahu alamatnya di mana?”
Suasana klinik yang sepi, membuat suster itu bersikap waspada. Ia melihat Dena penuh curiga sambil memperhatikan lelaki itu dari ujung kaki hingga kepala. Ganteng, pakaiannya juga rapi, tapi suster itu tidak mau tertipu penampilan Dena. Zaman sekarang banyak yang berpenampilan rapi, tetapi berniat jahat.
“Wah, maaf, Mas. Kalau itu saya tidak bisa memberikan informasinya. Apalagi saya gak kenal siapa Mas. Maaf ya, Mas, saya permisi!” Suster itu pun berlalu dari hadapan Dena.
"Sus... Suster," panggil Dena. Namun, tidak mendapat respon dari suster itu.
Dena menghela napas frustasi. Ia tampak kecewa karena gagal mendapatkan alamat gadis itu. Ia lalu merogoh ponselnya di dalam saku celana kemudian menelpon seseorang lalu mengirimkan foto Alya yang ia dapat dari Rendi.
“Cepat kerjakan!” perintahnya pada orang yang berada di seberang telepon.
Setelah menutup sambungan telepon, Dena bergegas pergi dari klinik.
Saat di tengah perjalanan, hari mulai panas dan ia merasa haus juga lapar. Dena melirik jam di pergelangan tangannya.
“Baru jam sebelas, tapi perutku sudah menagih untuk diisi. Lebih baik aku cari café saja,” gumamnya sendiri sambil melajukan mobilnya menuju sebuah mall elit. Ia berniat untuk mencari café atau resto. Ya ... sekedar minum atau makan makanan ringan pengganjal perut. Ia pun berhenti di sebuah café. Entah mengapa cafe itu seolah menarik dirinya untuk singgah ke sana.
Café itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Karena di masa pandemi ini, kebanyakan pelanggan café memilih untuk memesan secara online.
Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan menuju café. Saat akan memasukinya, Dena disambut seorang waiters muda yang tersenyum padanya. Waiters itu mempersilakannya masuk, tetapi Dena masih mematung di depan.
“Silakan, Pak!” ucap Reni sekali lagi.
Dena masih bergeming di tempatnya.
“Pak … Pak… Anda tidak apa-apa?” tanya Reni memastikan keadaan lelaki itu.
Dena tersadar dari lamunannya. “Ah, ya!” Lelaki itu tersenyum kemudian masuk ke café.
Reni tampak bingung dengan sikap lelaki itu. Kemudian ia menghampiri Dena yang sudah duduk di kursi kosong untuk memberikan buku menu.
“Mau pesan apa, Pak?” tanyanya formal.
“Pak?! Apa saya setua itu, sehingga kamu panggil saya ‘pak’? Saya belum nikah, masih single,” dengus Dena kesal.
“Oh, maafkan saya, Pak. Eh, Mas,” ucap Reni gugup.
“Nah, gitu dong, kan lebih enak didengarnya.”
Reni tersenyum, tetapi senyum yang dipaksakan. Ia harus tetap menampakkan wajah ramah di hadapan pengunjung.
“Baiklah, sekarang Mas mau pesan apa?” tanya Reni sambil bersiap mencatat pasanan di buku catatan yang dipegangnya.
Dena tampak berpikir. Ia sengaja melihat-lihat buku menu agak lama, agar Reni berdiri lebih lama di hadapannya. Sepertinya dia sudah jatuh hati pada gadis itu.
Reni menunggu Dena memesan makanan. Ia pun mulai merasa kesal.
"Mau pesan apa, Mas?" tanyanya sekali lagi
“Oh ya, maaf. Kelamaan ya?" goda Dena.
Reni hanya menghela napas, mencoba bersabar menghadapi pelanggan baru yang sudah membuatnya kesal.
"Berikan saya kopi espresso,” pinta Dena akhirnya.
“Itu saja, Mas? Tidak mau mencoba kue-kue kami? Saya yakin Mas pasti ketagihan setelah memakannya,” tawar Reni setelah mencatat pesanan Dena.
Dena kembali melihat-lihat buku menu yang berisi gambar makanan, minuman dan cake yang menggugah selera. Lama. Reni menyesal telah menawarinya cake. Dengan begitu ia harus menunggu lelaki itu memesan makanan.
“Cake apa yang menjadi favorit pelanggan di sini?”
Dengan sabar Reni menyebutkan cake favorit pelanggan. Hampir semua cake pelanggan suka. Cake dengan berbagai varian rasa, mulai dari rasa yang paling umum yaitu coklat, ada juga rasa stroberi, keju, peanut, atau perpaduan semua rasa.
Dena memperhatikan gerak bibir gadis yang ada di hadapannya saat menjelaskan menu favorit pelanggan. Hingga Reni selesai, ia masih belum memesan makanannya.
“Dan yang paling favorit adalah red velvet,” ucap Reni.
Dena terpesona pada gadis yang berdiri di dekatnya.
“Jadi, Mas ini mau pesan apa?” Reni masih coba bersabar menghadapi pelanggan yang menyebalkan itu.
“Karena saya suka yang manis seperti kamu, dan berbau coklat, saya pesan Lava Cake saja.”
“Sudah, itu saja? Baik, segera saya antar pesanan Anda," ucap Reni lalu bergegas pergi dari hadapan Dena dengan kesal.
Dena senyum-senyum sendiri melihat tingkah gadis yang baru ditemuinya. “Siapa namamu, cantik? Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama," gumam Dena.
Tak lama pesanan pun datang. Namun bukan Reni yang mengantarkan makanan dan minumannya.
“Loh, pelayan yang tadi ke mana?” tanya Dena pada pelayan yang mengantarkan pesanan untuknya.
“Pelayan yang mana ya, Mas?” Pelayan itu balik bertanya.
“Pelayan cantik namun sedikit jutek yang tadi menyambut saya saat saya masuk café ini.”
Pelayan itu mengerti orang yang dimaksud.
“Ohh, Mbak Reni. Dia lagi sibuk di dalam, Mas. Tuh, dia,” jawab pelayan itu sambil menunjuk ke arah meja pemesanan di mana Reni sedang melayani pelanggan yang lain. Café terlihat semakin ramai saat siang hari.
“Reni. Sesuai dengan namanya. Jutek tapi manis. Reni, kita pasti akan terus bertemu,” ucapnya sendiri dengan seringainya. Bibirnya lalu menyesap kopi yang dipesannya. Sorot mata mengarah pada Reni. Sepertinya Dena akan sering melipir ke café ini.
****
Selamat mengikuti kisah selanjutnya....
Jangan lupa tambahkan favorit 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Satry Lemba
dena kok kyak nm cwek yah🤔🤔
2021-08-20
2