Mobil berhenti di lobby sebuah gedung tinggi dengan nama yang sama dengan nama bank swasta nasional. Kata Rusdhi, PT Zee sementara masih menyewa ruangan kantor di gedung ini selama gedung Zee masih dalam tahap pembangunan. Karena itulah mereka berharap proses pembangunan gedung dapat lebih cepat dengan jadwal konstruksi yang sangat ketat. Tujuannya jelas, agar mereka dapat langsung menempati gedung kantor milik sendiri dan tidak lagi membuang dana untuk biaya sewa kantor di tengah kota yang harganya jelas mahal. Wajar juga sih kalau mereka menerapkan aturan penalti. Sebagai lembaga bisnis, PT Zee jelas tak ingin buang uang untuk keterlambatan progres konstruksi gedung milik mereka.
Ritha membuntuti langkah bosnya sambil melafalkan doa semoga Tuhan memberinya kemudahan dalam pertemuan bisnis pertamanya dengan petinggi klien di sini.
Keduanya diterima pak Richo, direktur operasional PT Zee di ruangan kerjanya yang bergaya simple futuristik. Kalau dilihat dari pemilihan dan penataan interior ruang kerjanya, Ritha menebak kalau pak Richo itu tipe pria yang kreatif, dinamis dan hangat. Kadang kala, ilmu yang menghubungkan cara menata interior ruang pribadi dengan kepribadian orang seperti ini juga diperlukan untuk bekal negosiasi. Setidaknya, buat bekal memahami kemungkinan karakteristik orang yang belum cukup dikenalnya.
Rusdhi memperkenalkan Aritha sebagai asistennya. Richo menyambutnya hangat dengan uluran tangan dan senyumnya. Tapi dia mengedipkan matanya ke arah Rusdhi. Tak tahu sebagai isyarat apa. Mencurigakan.
"Kami ke sini mau mengajukan keberatan atas penalti yang bapak ajukan kemarin."
Richo duduk menyandarkan tubuhnya di kursi dengan jumawa. "Itu sudah konsekwensi kontrak kan?" jawabnya dengan senyum sinis seperti meledek lawan bicaranya.
"Kami membacanya, wan prestasi itu kalau progres kita terlambat saat progres seharusnya PT Zee sudah dapat menggunakan kantor itu. Kalau progres ke 3 ini kan struktur baru saja selesai, MEP sudah setengah jalan dan arsitek baru saja masuk. PT Zee tetap tidak dirugikan karena di progres ini karena PT Zee belum bisa mengoptimalkan penggunaan gedung. Justru kami sedang merangkum masalah perbaikan desain di lapangan. Kami sudah buatkan jadwal progres baru yang bisa lebih cepat pembangunannya 1 bulan dari kontrak awal."
Rusdhi meminta jadwal baru yang kemarin disusun Ritha dan telah mendapat review serta persetujuan Rusdhi dan Yuri. Dia menjelaskan dengan percaya diri bahwa jadwal itu pasti lebih efektif daripada jadwal yang tertera di dalam setiap progres yang tertuang di dalam kontrak.
"Anda yakin bisa merealisasikan jadwal ini?"
"Sangat yakin, Pak. Saya akan tarik tim terbaik saya dari proyek lain untuk menyelesaikan komitmen kami."
Hmmm. Richo mengangguk - angguk. Separuh keyakinan telah masuk perangkap persuasi yang dibangun Rusdhi. Ritha mengamatinya dengan teliti setiap detail pilihan diksi dan ekspresi kedua bos itu. Ia mencoba belajar pola negosiasi tingkat tinggi yang dijalankan bosnya. Baginya ini kesempatan emas, memperoleh pelajaran berharga yang tak mungkin didapatkannya di bangku kuliah atau seminar ilmiah.
"Justru PT Zee untung lo kami baru akan menagih invoice minggu ini. Diskonto SKBDNnya kan belum jalan." kata Rusdhi mencari celah lagi meyakinkan keuntungan lain PT Zee dengan keterlambatan invoicing dari GNC. Ia tersenyum malu-malu. Agak sensitif ketika bicara soal keuangan.
Respon Richo cukup santai. Ritha berharap semoga kata-kata Rusdhi barusan cukup membuka hatinya untuk menarik kembali penalti yang telah dilayangkannya.
"Apa anda juga membawa asisten anda sebagai tumbal?"
"Oh, tidak pak. Dia pacarnya pak Satya. Kalau bapak mau, saya bisa carikan yang lebih wah dan profesional." Rusdhi menjawab sambil mengerdipkan mata.
Hah? Negosiasi macam apa ini? Kenapa tiba-tiba berubah arah jadi obrolan yang kesannya melecehkan perempuan? Sampah. Ritha yang tadinya terkesima dengan cara mereka bernegosiasi seketika jadi muak. Kenapa sih lelaki sering memandang perempuan serendah itu? Menyedihkan.
"Oke, saya segera bicarakan ini pada mr. Zee. Paling lambat besok saya kabari bagaimana keputusannya."
"Saya berharap anda bisa bantu kami meyakinkan mr. Zee. Kita kawan lama, Bro. Anda tahu saya, pak Dave dan pak Satya selalu taat memegang komitmen dan profesional. Jangan sampai karena masalah salah paham begini kerjasama kita jadi berantakan."
"Pasti. Saya juga kemarin ragu mau melayangkan surat itu. Tapi kalau tidak, mana mungkin anda meluangkan waktu ke sini untuk menjelaskan alasan keterlambatan itu kan."
Mereka sama - sama tersenyum. Belum ada bukti sepakat, namun dengan membaca bahasa tubuh lawan bicaranya Ritha yakin 75% penalti akan dicabut. Sekarang yang bisa dilakukannya hanya berdoa supaya gajinya tak jadi dipotong 50% gara - gara kasus ini.
Sebelum keluar ruangan itu, Ritha sempat melihat Rusdhi berbisik dekat telinga Richo yang berbaik hati mengantar mereka sampai depan pintu ruangannya. "Jangan tertipu sama matanya yang pakai softlens, pak," ujar Rusdhi yang diikuti tawa aneh Richo yang seolah mengusir mereka dengan mengibaskan tangannya.
Ritha menarik nafas panjang. Dasar lelaki. Otak mesum mereka pasti lebih besar hingga suka sekali membuat intermeso ke arah itu. Entah serius atau bercanda, Ritha tidak tahu. Tapi sebagai perempuan ia tersinggung diperlakukan sebagai obyek begitu.
"Saya tersinggung lo pak waktu pak Richo bilang mau dijadikan tumbal. Apa negosiasi bisnis harus selalu ada hal kayak gitu?"
"Lupakan. Jujur saja, sebagian negosiasi memang butuh yang kayak gitu. Yang penting tadi saya sudah jelaskan kalau kamu tidak akan dijadikan tumbal kan?" jawab Rusdhi dengan wajah malas.
"Kenapa harus berbohong dengan menyebut saya pacar pak Satya? Nanti kalau ada yang salah paham bagaimana?"
Rusdhi meringis memperlihatkan giginya yang rapi. Sebenarnya ia enggan menjawab kecerewetan asistennya itu. "Maaf, tadi itu saya spontan ngomong begitu buat melindungi kamu biar aman. Pak Richo kelihatan tertarik sama kamu, jadi harus dibikin patah supaya dia nggak bisa berpikir macam - macam ke depannya. Bos di GNC itu ada 2, pak Satya dan pak Dave. Nggak mungkin saya nyebut kamu pacarnya pak Dave karena dia sudah tunangan dengan adiknya pak Satya."
"Memang pak Satya belum punya pacar, Pak?"
"Kenapa? Ada hati sama bos besar kita?" Rusdhi malah balik bertanya dengan tampang galak.
"Nggaklah, Pak. Saya sudah punya calon suami. Cuma takut aja kalau nanti tiba- tiba pacarnya pak Satya salah paham gara - gara ucapan bapak tadi."
"Mikir kamu kejauhan, Rith. Tadi itu kan hanya intermeso. Lupakan saja. Sekarang kita melanjutkan misi menagih invoice ke kedutaan Swiss," tepis Rusdhi mengalihkan pikiran Ritha kembali ke tujuan utama lain mereka pergi hari ini.
Iya sih cuma intermeso. Tapi apa tidak keterlaluan menyangkutpautkan nama bos besar dalam kasus remeh ini. Jangan sampai suatu saat dia tahu dan makin marah karena menganggap hal ini sebagai bagian kecerobohan Ritha berikutnya. Rekam jejak kecerobohannya bakal makin panjang jadinya. Ritha hanya bisa memukul keningnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
Dasar para bos besar, selalu menghalalkan yg ngk jelas, wanita di bikin obyek. sedih amat ya jadi wanita🤫🤫🤫
2023-04-13
0
Jeng Anna
Aneh....mau tekan like aja kok ga bs yah. Sejak upgrade versi baru malah susah nge like dll
2021-05-25
5