Sejak selesai shalat subuh dan menuntaskan ritual paginya, Ritha sudah bersiap hendak pergi ke kantor lebih awal. Ia berjalan ke luar kamar kost dengan santai lalu membeli setangkup roti bakar dan sekaleng susu siap minum di toko serba ada yang dilewatinya sebagai bekal sarapan di kantor nanti. Halte TJ sudah mulai dihampiri para pejuang rupiah yang berangkat kerja dengan sejuta harapan seperti dirinya.
Jam 7.30 Ritha sudah sampai di Lobby kantor yang masih lengang. "Selamat pagi," sapanya pada satpam, resepsionis dan karyawan lain yang ditemuinya pagi itu.
"Selamat pagi," mereka menjawab dengan kalimat yang sama. Tak ada basa basi. Ritha langsung menuju lift yang mengantarnya ke lantai 5.
Sambil menikmati roti bakar yang dibawanya, Ritha kembali berkutat dengan data dan jadwal yang kemarin dibuatnya. Sekali lagi memastikan jadwalnya tidak tertukar. Ia merasa harus memperbaiki diri agar label staf paling ceroboh tidak selamanya melekat pada dirinya. Karir dan cintanya dipertaruhkan di kota ini. Ia harus berjuang lebih keras.
"Sudah siap, Rith?"
"Siap, pak. Saya sudah siapkan 2 hasil cetak jadwal baru kita. Selain jadwal baru, ada lagi yang perlu saya disiapkan?" tanya Ritha dengan nada rendah.
"Berkas invoice lengkap kedutaan besar swiss. Kita akan langsung cuss ke sana setelah dari PT Zee."
Ritha menelpon staf keuangan bagian invoice meminta berkas tersebut diantar ke ruang pak Rusdhi. Tak butuh waktu lama, Dori telah sampai di mejanya yang terletak di depan ruang direktur teknik. "Ini berkas invoice lengkapnya, bu Aritha. Tolong ibu cek isi foldernya dan tandatangani bukti serah terima dokumen. Jangan lupa, ini ada tanda terima dokumen yang nanti harus ditandatangani klien," kata Dori sambil menjelaskan kelengkapan administratif dan dokumen - dokumen mana saja yang harus ditandatangani, oleh siapa dan dimana.
Ritha memperhatikan dengan cermat dan meminta pengulangan apabila ada yang belum dipahami dan diingatnya dengan baik. Jangan sampai ada kesalahan sedikitpun akibat kecerobohannya.
"Kami titip dokumen itu pada bu Aritha ya. Terimakasih sudah membantu penagihan invoice kami. Semoga bisa dinego agar cepat cair," harap Dori sambil tersenyum lega.
Ritha membalas senyumnya dengan senyum serupa. Dirapikannya berkas itu lalu dimasukan ke dalam map jinjing plastik warna hijau bersama dokumen perubahan jadwal dan beberapa surat lainnya yang akan dibawa.
Tepat jam 8.00 Rusdhi keluar dari ruangannya. "Kita berangkat sekarang, Rith." ajaknya.
Ritha yang sudah menyiapkan diri sejak tadi langsung berdiri dan melangkah mengikuti langkah bosnya. Sialnya, di lobby mereka berpapasan dengan boneka salju yang paling dihindarinya karena malu. Rusdhi menyapanya dan memberikan laporan singkat apa yang akan dilakukannya hari ini. Sementara Ritha memilih menunduk setelah memberi ucapan selamat pagi.
"Lakukan yang terbaik, pak Rusdhi. Besok saya ada pertemuan yang mungkin akan dihadiri mr Zee. Saya akan mencari kesempatan untuk bisa bicara langsung mengemukakan argumen yang sama," kata Satya sambil menepuk bahu Rusdhi dan tersenyum ramah. Wajah arogan yang kemarin dilihatnya sirna. Hanya optimisme yang ditularkannya pagi ini.
Tak seperti keramahannya pada Rusdhi, Satya ternyata masih menyimpan kejengkelan pada Ritha sebagai sumber dari kekacauan ini. "Belajarlah lebih teliti, bu Aritha. Kecerobohan anda sudah membuat kami buang waktu dan bekerja lebih keras," katanya tegas mengingatkan Ritha pada kesalahannya yang bahkan sudah disesali tanpa perlu diingatkan lagi.
"Baik, pak. Mohon maaf. Saya tak akan mengulangi kecerobohan yang telah menyusahkan banyak orang," jawab Ritha dengan menyimpan segunung rasa bersalahnya dalam hatinya.
Beberapa karyawan lain tampak menyapa pimpinan tertinggi GNC itu dan dijawabnya dengan ramah. Ritha mengambil kesimpulan dari apa yang dilihatnya pagi ini, bos besar GNC tidak akan tampak seperti harimau lapar kalau tidak menemukan kesalahan pada karyawannya. Itu artinya, dia harus bekerja dengan lebih baik lagi agar semua pekerjaannya sempurna. Hanya itu yang bisa menghapus rekam jejaknya sebagai karyawan paling ceroboh. Ritha harus berusaha keras untuk memperbaiki cara kerjanya agar tak ada kesalahan seperti ini lagi.
Mobil dinas kantor yang dikendarai pak Tugi melintasi jalan yang padat. Ritha membenahi letak hijabnya yang berubah kurang presisi sambil melihat deretan gedung yang dilaluinya. Sebenarnya ia cemas, takut tak bisa menegosiasikan penalti yang sudah terlanjur dilayangkan perusahaan klien. Membayangkan hidup dengan setengah gajinya yang pas-pasan selama bertahun-tahun untuk mengganti kerugian perusahaan akibat kecerobohannya, membuat kepalanya berdenyut. Tak mungkin ia bisa kirim uang untuk tabungan biaya renovasi rumah keluarganya yang sudah lapuk. Padahal ia sudah berhitung dan terlanjur janji sama mama akan kirim uang tiap bulan. Setengah gajinya bahkan tak cukup untuk bayar kost dan biaya hidup sederhana di kota metropolitan ini. Kalau dipikir - pikir kenapa kemarin ia terlalu impulsif dan percaya diri mau bertanggung jawab atas nilai sebesar itu. Menyesal? Buat apa? Memang ada hal lain yang bisa dilakukannya untuk bertahan hidup di kota ini? Ritha tak punya pilihan. Akh... jangan diingat lagi. Bikin pusing. Terima saja takdirmu, Ritha. Hadapi dengan tegar.
"Pak Satya masih marah ya sama saya, pak?"
"Dia itu orangnya perfect kalau masalah kerjaan, tidak mentolerir kecerobohan sekecil apapun. Makanya ke depan harus lebih teliti lagi."
"Apa dia akan mengingat kesalahan orang lain seumur hidup?"
Rusdhi tertawa, "Tentu tidak. Kalau kamu bisa menunjukan prestasi beliau pasti memberikan apresiasi. Beliau orangnya fair, kalau salah kena punishment tapi kalau berprestasi pasti diberi reward."
Ritha mengangguk. Ia paham cara menghapus rekam jejak kecerobohannya adalah dengan prestasi. Semoga ke depan ia bisa mewujudkan apa yang disebut sebagai prestasi.
"Seberapa besar keyakinan pak Rusdhi kita akan berhasil mengatasi masalah ini?" tanya Ritha sekedar mencari sedikit keyakinan bagi dirinya.
Rusdhi tampak berpikir keras. Sepertinya ia juga tak bisa memprediksi apakah usaha mereka akan berhasil. Hanya saja Rusdhi tampak tenang. Mungkin hal seperti ini sudah berkali-kali dialaminya, "Jangan tanya berapa besar potensi keberhasilan, yang penting jalani aja dulu," tepisnya sambil tersenyum.
"Pak Rusdhi nggak takut dipotong gaji bulan ini?"
Rusdhi tertawa, "Siapa sih yang nggak takut dipotong gaji? Apalagi saya yang sudah punya anak istri. Kalau dipikir pasti berat. Tapi jalani saja, yang namanya hidup kan pasti ada dinamikanya, Rith." jawabnya dengan senyum satir.
"Maafkan saya ya, pak. Karena keteledoran saya bapak dan pak Yuri jadi harus menanggung akibatnya juga." Ritha semakin merasa bersalah.
"Sudahlah, Rith. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Saya dan pak Yuri juga turut andil atas kesalahan ini. Harusnya kami mereview dan cek ulang hasil kerja kamu dengan lebih teliti. Jadi, kami juga layak dihukum."
"Kalau sekarang usaha kita gagal, kita harus cari proyek baru supaya dapat fee marketing dari perusahaan atau menyelesaikan proyek yang masih jalan dengan lebih efektif dan efesien supaya dapat bonus. Bisa juga cari usaha sampingan supaya dapur tetap ngebul. Yang namanya rejeki mah sudah ada yang ngatur, Rith. Tugas kita tinggal cari aja jalannya." tambah pak Rusdhi optimis.
Benar juga. Seharusnya sebagai umat beragama Ritha percaya takdir. Rejeki, jodoh dan umur sudah ada yang ngatur. Jangan mencemaskan apa yang belum terjadi, yang penting ia sudah berusaha keras. Berbicara dengan orang yang lebih berpengalaman ternyata cukup membantu meredakan kecemasan yang menghantui pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Ummi Fatihah
ceritanya seperti real...bagus...👍👍
2021-05-31
7
Enung Bagas
menarik
2021-05-26
2
Anisa Chusnul
bagus
2021-05-17
4