🍁 VOTE, RATE, LIKE, LOVE 🍁
Tak butuh waktu lama, makanan yang tersaji di piring Tania telah tandas tak tersisa.
Pertemuannya dengan Tania membuat Edo akhirnya Tersadar. Sejenak ia menjauh seakan butuh waktu dan menenangkan diri dan berpikir jernih. Sudah lama saatnya ia memperbaiki diri menolong orang lain yang sedang kesusahan.
Di depan teras, Edo duduk dengan tatapan nanar. Pikirannya mengembara tak tentu arah. Sementara itu, Tania tetap menunggu di dalam rumah makan. Mengetahui Tania hendak berdiri, Edo bergegas mendekati dengan langkah seribu.
"Mau pulang sekarang?" tanya Edo.
Tania mengangguk saja.
"Buru-buru?" tanya Edo lagi.
"Ya, masih banyak yang harus aku kerjakan di rumah baru," jawab Tania dengan tatapan sendu.
"Aku antar," sergah Edo sambil membentangkan ke dua tangannya sebagai penghalang.
Tania hanya mengangguk pelan.
Sang sopir yang ternyata sudah dihubungi oleh Edo, nyatanya sudah menunggu mereka di halaman rumah makan sederhana.
"Silahkan masuk." Edo menggerakkan tangannya, memberikan gestur mempersilahkan dengan sopan.
Terang saja kini gadis itu sedikit nyaman. Ia merasa pemuda yang ditemuinya bukanlah sebuah ancaman.
Sementara itu, di dalam mobil ia kembali memikirkan banyak hal. Ia kuatkan hatinya sendiri meski tak yakin.
Tak ingin larut dan kembali depresi. Bukankah sudah sangat jelas, menjukkan kelemahan hanya akan membuat dirinya di sakiti orang lain dan juga menderita. Rasa penasaran membuatnya bangkit dan berjanji akan mencari tahu tentang apa yang sebenarnya menimpanya.
Memang mencari tahu tentang apa yang terjadi tidak semudah yang dipikir. Pasti ada banyak halangan nantinya.
Namun, ia juga sadar jika semakin banyak ia berusaha, semakin banyak pula aral menerjang dan juga semakin banyak keinginan untuk dikabulkan.
Jalan satu-satunya bahagia kini adalah melupakan dukanya. kemudian mencari informasi segala sesuatu tentang ayahnya. Sebelum itu, tentunya butuh banyak persiapan yang dilaku
"Sudah sampai di perumahan milik kamu, alamatnya ... Blok apa dan berapa?" tanya Edo membuyarkan lamunannya dan memastikan jika tempat tersebut adalah tempat pertama kalinya ia menemukan Tania.
"Oh ... Perumahan Jasmine Garden Blok B Nomor 4, terimakasih sudah mengantar."
Tania menoleh menatap plang nama bertuliskan alamatnya. Sementara matanya terus mengedar memperhatikan sekitar jalan.
Dengan gesit, Edo segera keluar dan membantu Tania turun dari mobil.
Edo semakin tertarik, jantungnya menggema disaat ia melakukan interaksi dengan Tania dan sering kali gadis itu gak acuh padanya.
"Ini kartu namaku, hubungi kapan saja ketika kamu butuh bantuan. Mulai saat ini kita berteman, jadi jangan pernah ragu sedikitpun. Kamu tidak memiliki keluarga, aku tidak bisa membiarkan kamu sendirian."
Uluran tangan Edo disambut baik oleh Tania. Meski sebentar, terjeda keraguan keduanya kembali saling menatap.
Namun, wajah Tania masih juga terlihat datar.
"Terimakasih untuk hari ini," ucap Tania, sangat pelan sekali, bahkan terasa menyejukkan dihati Edo.
Edo membalas dengan senyuman tipis, lalu ia pergi.
Pertemuan pertama dengan kesan berbeda.
*****
Saat ini, Tania saat ini sedang melamun menatap langit-langit kamarnya.
Ia menggunakan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan bantal kepalanya. Mengingat kisah pelik di hidupnya, matanya kembali basah.
"Papa apa kabar, ya di sana?" gumam Tania.
Beberapa saat kemudian, suara ponsel yang terus berdering diiringi getar membuyarkan semua.
Ia terkejut saat menyadari ada sebuah ponsel di atas nakas tempat tidur king sizenya. Tania melirik sebuah pesan masuk. Ia meraih benda pipih itu dengan perasaan tak nyaman.
Takut. Selalu itu yang ada di benaknya.
Namun, ketika ponsel telah ada dalam genggamannya, dering itu terhenti.
Dan gadis itu menyadari, jika ada seseorang yang sedang mengirimkan sebuah pesan singkat padanya.
[Tania, besok bisa 'kan datang ke restoran tempat biasa kamu makan bebek goreng?"]
Tania menautkan kedua alisnya, ia bingung siapa yang tiba-tiba mengirimkan pesan padanya.
[Siapa ya? maaf saya tidak menyimpan nomor Anda.]
Tania masih kebingungan.
Pesan terkirim, terlihat tanda centang dua. Beberapa detik kemudian berubah menjadi warna biru, berarti pesan via WhatsApp tersebut telah dibaca.
[Akan saya jelaskan ketika kamu datang dan kita besok bertemu. Ingat, datanglah sendirian. Ketahuilah, aku yang memberikan tempat tinggal baru untuk kamu sekarang.]
Kening gadis itu semakin berkerut.
Rasa nyaman saat ini berubah menjadi rasa takut dan tegang.
Tania menatap layar ponselnya sejenak. Ia memutar otak, pikirannya menjalar ke segala arah. Berusaha mengaitkan dengan berbagai kejadian yang dia alami.
Entah itu yang dirasakan sederhana, atau bahkan tidak. Bagaimana jika ini jebakan. Dan bagaimana jika orang tersebut ternyata ingin membantu. Segala hal baik dan buruk seketika ia pertimbangkan.
Setelah beberapa menit, ia tersadar jika si pengirim pesan pasti menunggu jawaban dari dirinya.
Tangannya kembali menari, berusaha menunjukkan tata Krama membalas pesan tersebut dengan bahasanya yang selalu sopan agar si pemingirim pesan rahasia tidak murka.
[Terimakasih banyak atas tumpangan tempat tinggalnya, saya akan membalasnya dilain waktu. Saya pasti datang pukul 09.00 pagi hari, di meja makan yang biasa saya pesan]
Usai mengetik pesan Tania langsung mematikan ponselnya. Ia terpancing. Rasa penasaran akan rutinitas pribadinya yang tidak diketahui banyak orang. Bagaimana mungkin orang misterius itu seakan paham banyak hal?
Ia kembali mengingat kenangan bersama ayahnya, dan ternyata hal tersebut yang membuatnya mengambil keputusan.
*****
Rabu, 24 Oktober di sebuah rumah baru,
pukul 08.15 pagi hari.
Luka hatinya masih belum sembuh, ini adalah hari ketiga yang Tania lewati tanpa siapapun. Menyedihkan, sepi semua bercampur jadi satu.
Matanya berkaca-kaca saat mematut diri di pantulan cermin. Terlintas dibenaknya pria menawan tapiencurigakan yang saat itu pernah datang bersama para kolega papanya.
'Siapa pria itu, kenapa yang lain seperti begitu tunduk padanya. Ah ... aku harus mencari tahu. Siapapun dia, pasti bukan pria yang baik. Karena jika hatinya baik, tidak mungkin tega melihatku diusir di hari kematian papa.'
Sesaat setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Tania bergegas menaiki sebuah taksi online menuju sebuah restoran yang biasa ia singgahi bersama sang ayah.
Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit kemudian ia sampai karena jaraknya yang dekat.
Langkah kakinya perlahan ketika berjalan menuju meja yang biasa ia tempati bersama Reyhan. Ketika itu kenangan dimasa lalu kembali melintas.
Bayangan Reyhan ketika meluangkan waktu, makan bersama, sorot matanya yang terkadang berubah sendu menandakan khawatir. Masih teringat jelas masa itu. Tania kini menyadari, jika sejak lama sebenarnya ia memang tidak aman.
Tania mengedarkan pandangannya, tatapan matanya terhenti ketika melihat seorang pria muda, yang terlihat sederhana dan bersahaja telah duduk menunggu di meja yang biasa ditempati oleh Tania dan ayahnya. Sesekali pria tersebut melirik jam tangan yang melingkar di lengannya, pertanda jika memang benar ia sedang menunggu seseorang.
Seketika kening Tania berkerut, ia begitu penasaran tetapi juga tidak mau menerka-nerka.
"Permisi, sudah lama menunggu?" tanya Tania menyapa tanpa berbasa-basi. Seolah ia yakin jika memang pria di hadapannya si pengirim pesan.
Pria tersebut mendongakkan wajahnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika ia keturunan pribumi. Tapi bukan berarti orang lokal tidak berbuat jahat 'kan?
Kulitnya sawo matang, tubuhnya tegap, wajahnya manis. Terlihat berwibawa, meski sedang tersenyum. Meski begitu, gadis itu tak mudah percaya begitu saja.
"Perkenalkan, aku Raffa. Mulai besok pagi aku akan jadi guru beladiri kamu. Sebelum meninggal, ayahmu telah memintaku secara pribadi. Sebelumnya aku menolak, tetapi setelah mengetahui apa yang sedang menimpa kamu dan Pak Reyhan aku memutuskan setuju," ujarnya, ia bahkan tidak sedikit pun berkedip saat bicara. Terlihat jelas guratan keseriusan di wajahnya yang justru membuat Tania semakin tak percaya.
Tania mencoba mencerna ucapan Raffa, ia berpikir sejenak. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk merangkai beberapa pertanyaan.
"Sejak kapan Pak Raffa mengenal papa saya?" tanya Tania, bersemangat sambil sedikit mengulas senyuman kecil juga memamerkan gestur percaya diri.
"Sejak kamu masih duduk di bangku SMA, aku adalah orang yang disewa beliau untuk menjaga kamu dari kejauhan." Raffa melambaikan tangannya ke arah pelayanan restoran agar menunjukkan papan menunya.
"Papa tidak pernah memberi tahu," sahut Tania.
"Tentu, Pak Reyhan takut kamu menolak," kilah gadis itu, "Bebek goreng sambal hijau, pedas," lanjutnya kemudian, pada pelayanan yang menghampiri.
"Pak Raffa bahkan tahu makanan kesukaan yang biasa aku pesan?" Tania menghela napas lagi karena bingung.
"Panggil saja Kak Raffa, aku belum tua. Besok pagi kita mulai latihan, kamu harus bersiap sekitar pukul 07.00 karena aku sendiri yang akan menjemput," ungkap Raffa.
"Akan tetapi Kak, aku tidak sanggup untuk membayar," sergah Tania.
Alasan sederhana. Tak mau balas budi.
"Semua yang kamu miliki, itu adalah hak kamu. Ini memang amanah yang diberikan Pak Reyhan, dan wajib saya sampaikan. Mengenai mereka yang datang ke kediaman kamu malam hari, kita akan bahas selanjutnya. Berusahalah membaur, jangan membuat ulah. Mulailah makan, lalu pulang beristirahat. Besok adalah hari yang melelahkan," jelas Raffa panjang lebar.
Bersambung ...
🍁 Hallo kesayangan, jangan lupa like, love, dan vote ya. Agar Author semangat up Bab baru dan tetap bisa berkarya. Terimakasih sudah mampir membaca.
Salam cinta dariku.
Lintang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Titik pujiningdyah
like kk
2021-07-20
2
cinday
ceritanya bagus thor
2021-06-29
1
pembaca setia
seru Thor....ya Allah kemana aja aku ga tau novel bagus kyk gini....aku suka karakter cewek tangguh
2021-06-10
10