Dia Bukan Gadis Biasa
Siap mencinta artinya siap sakit.
Adakah cinta yang tak menyakitkan? Adakah kehidupan tanpa membawa luka? Mungkin pertanyaan itu sama dengan "Adakah manis tanpa gula?"
Seperti sebuah narasi yang mengatakan. Cinta dan pesakitan adalah sepasang sejoli yang tak mungkin di pisahkan.
Begitu pun dengan kehidupan, meski ada tawa bahagia selalu saja ada luka yang mengiringinya.
Seperti kerikil yang kadang kala bersembunyi di rerimbunan belukar.
Tania adalah putri tunggal dari seorang pengusaha kaya raya bernama Reyhan Wijaya, Tania kecil tumbuh menjadi gadis pendiam sejak kehilangan ibunya. Ia bahkan jarang mau diajak bicara dengan siapapun. Hidup begitu keras baginya.
Sebab sang ayah pun sering diintai oleh beberapa preman tak jelas, setiap kali mengajak Tania pergi keluar.
Akan tetapi, ia tetap harus menjalani kehidupannya, bahkan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Reyhan yang merupakan ayahnya sedang mengalami sakit keras.
*****
Tania duduk termangu, menatap jendela yang diterpa angin yang berhembus kencang, di balkon rumahnya.
Sedangkan sebelah buku jemarinya terlihat menggenggam secangkir kopi yang masih panas, disertai asap yang mengepul dan bau khas yang menusuk hidung, sementara pandangannya jauh ke luar melihat hiruk-pikuk jalanan ibu kota yang ramai dengan lalu lalang orang.
Ia sengaja menyingkapkan gorden ruangan kamarnya untuk menghirup kesejukan angin yang berhembus menerpa wajahnya. Angin sejuk yang nyaris tak pernah ia dapatkan di kota seramai ini.
Tania terus menyesap kopinya hingga hampir tandas, dengan perasaan yang diliputi rasa resah, dan gelisah.
Akan tetapi, ia dikagetkan dengan suara pintu diketuk, membuatnya terhenyak dan menoleh ke arah sumber suara. Pintu.
"Tania, mari saya antar ke rumah sakit, kita sedang terburu-buru, tidak perlu berdandan," ucap Bi Marni wanita yang mengasuh Tania sejak kecil dan juga bekerja sebagai maid di rumah itu.
Dari air mukanya bisa ditebak jika bi Marni tampak sedang mencemaskan sesuatu.
"Ada apa Bi? Apakah ini tentang kondisi Papa? Apakah terjadi sesuatu yang buruk padanya? Atau Ayah sudah bangun dan sadar?" tanya Tania, ekspresinya berubah bingung bercampur sedih.
Setumpuk pertanyaan ia lontarkan demi mencari tahu, tapi sayangnya maid tersebut memilih diam dan pilihan dengan Tania melihat sendiri kondisi majikannya, akan lebih baik baginya.
"Ya, Non ... nanti saja saya jelaskan di sana, saya tunggu di mobil saja, ingat jangan lama, ini mendesak tidak perlu berdandan." Bi Marni meraih cangkir kopi yang kosong sembari melangkahkan kakinya meninggalkan kamar.
Pikiran Tania melayang, ada rasa takut menyelimuti jiwanya, bahkan setiap jejak langkah kakinya terasa gemetar.
Ia takut, jika papanya juga meninggalkan dirinya seperti mendiang mamanya. Sedangkan Tania tidak memiliki tujuan. Sebab ia hidup mengasingkan diri sejak kecil.
Tak ada saudara yang ia kenal, kecuali seorang maid yang setia.
Firasat buruk mulai ia rasakan. Tanpa sengaja ia menjatuhkan pot bunga hingga pecah.
Tania mematut diri di depan cermin, yang dilihat adalah cerminan wajah sang ayah.
Gadis itu akhirnya menangis ketika sedang bersiap. Meski begitu ia teringat ucapan maid yang memintanya tidak menunda waktu.
Segera diraihnya, sebuah clutch bag berwarna merah kesayangannya dan berlari menuju mobil yang ditumpangi Bi Marni.
Wanita tua berusia paruh baya itu tampak duduk tenang, meski sesekali terlihat sedang memperhatikan Tania.
Sepanjang perjalanan, gadis remaja itu hanya terdiam.
Namun, sorot matanya menatap ke arah luar jendela. Ketika lampu merah menyala, diturunkan jendela kaca mobilnya. Matanya berubah berkaca-kaca. Saat netranya terfokus pada sekumpulan anak kecil yang sedang mengamen di jalanan, hatinya semakin teriris perih. Seperti ada kenangan di masa lalu yang tak diinginkan.
*****
Setelah empat puluh lima menit berkendara, akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit tujuan.
Seorang dokter kepercayaan keluarga, terlihat menyambut sembari melambaikan tangannya ke arah Tania.
Ya. Gadis itu mengenalinya. Tania memberanikan diri mendekat, dengan langkah lebarnya, seolah menandakan jika ia tak sabar.
Meski begitu, jantungnya semakin terpacu cepat, pikirannya berkecamuk tak karuan ketika sang dokter menuntunnya ke sebuah ruangan seram yang tak lazim dikunjungi orang.
Ya. Diantarnya Tania pada tubuh yang terbujur kaku lengkap dengan penutup kain berwarna putih. Sangat menyeramkan bagi gadis remaja seumurannya.
Melihat situasi seperti itu, rasanya dunianya terasa hancur.
"A-apa ini?" tanya Tania, matanya langsung membulat lebar lengkap dengan suara yang mulai serak dan tergagap.
Dokter tersebut langsung menggenggam erat tangan putri pasiennya yang sudah terbujur kaku.
"Maafkan Om Doni, papa kamu terkena serangan jantung. Padahal tadi sudah baik-baik saja. Tapi semua seolah berubah saat ia menerima telepon yang entah dari siapa? Kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya," kilah sang dokter yang berusaha terlihat memelas di depan gadis itu.
Dengan tangan bergetar, Tania membuka kain penutup jenazah. Bukan tanpa alasan, rasa penasanlah yang mendorong keberaniannya.
Seketika bulir bening mengalir deras di pipinya. Dunia seakan berakhir dalam sekejap.
'Aku hidup sama siapa Pa? Kenapa semua tinggalin Tania?' tanya gadis itu dalam hatinya.
Bi Marni dan juga dokter Doni berusaha menguatkannya pun seakan sia-sia saja.
Hingga terpaksa ditepuknya punggung Tania oleh sang dokter ketika berada dalam pelukan Bi Marni untuk memberikan efek tenang yang nyatanya tak berguna.
*****
Hari itu, cuaca sedang hujan deras di kota Bogor. Tania terus menangis bahkan meraung hingga sembab, ia memeluk gundukan tanah yang di penuhi oleh taburan bunga dan juga harum irisan daun pandan. Baunya begitu menusuk hidung.
Bahkan harumnya akan menjelma menjadi luka yang menjadikannya dendam yang entah.
Lalu leburkan aroma tanah, sehingga Tania terkapar dalam gigil dan tubuh yang tercetak karena derasnya hujan yang menerpa.
Tiga puluh menit berlalu sejak Bi Marni membawa Tania pulang. Suasana rumah masih ramai dengan beberapa orang yang berseragam serba hitam.
Namun, gadis itu hanya diam saja duduk termenung di dalam kamarnya.
Di saat itulah bi Marni masuk perlahan sambil membawakan makan malam, dan mengajak Tania agar ikut serta dalam acara tahlilan yang sengaja digelar oleh beberapa karyawan, dan juga orang kepercayaan sang ayah.
Seolah tak merespon.
Akan tetapi Tania masih saja memaku usai acara berakhir. Tania hanya bisa mengusap bulir bening yang mengalir tanpa henti dari pelupuk matanya.
Tania menghela ... tak semua yang diharapkan akan menjadi nyata. Begitulah roda kehidupan, yang pasti akan dialami oleh beberapa orang nanti, sementara itu tugas kita adalah terus menjalani dengan ikhlas, meski aral melintang menerjang.
"Tania, Bi Marni pamit mengundurkan diri. Mau pulang ke kampung halaman besok pagi. Kamu jaga diri ya, dan ada tamu pentingnya Almarhum Pak Reyhan yang sedang menunggu. Katanya, ada yang ingin dibicarakan." Bi Marni mendekat sembari memeluk tubuh ramping Tania sambil bicara dengan hati-hati.
"Tamu penting?" tanya Tania.
Tania mendongak, menatap dengan rasa penasaran.
"Ya, sudah menunggu di ruang tamu," tutur Bi Marni.
Perlahan gadis itu membuka laci, dan mengambil beberapa lembar uang kertas yang ia sematkan dalam amplop berwarna cokelat.
"Bi Marni ... maafkan aku, dan terimakasih banyak sudah menjagaku selama ini. Jika suatu saat nanti aku sudah bisa berdiri dengan kakiku sendiri, aku pasti datang mencari Bibi di kampung," pamit gadis kecil yang sudah menganggapnya ibu.
Tania menggenggam tangan wanita berusia paruh baya itu, dan memberikan amplop coklat tersebut.
"Tidak, gunakan saja untuk kebutuhan sehari-hari kamu," ucap Bi Marni menahan tangisnya.
"Aku ikhlas Bi ... tolong terima saja, agar aku bisa tenang nanti," ucap Tania, disertai guratan sedih yang setengah memaksa.
Kali ini Tania memilih untuk terlihat tegar. Ia melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dengan mengenakan kerudung hitam di kepala sebagai penanda duka.
Dengan langkah tergesa-gesa kaki jenjangnya mulai menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti ketika melihat ruang tamu rumahnya ramai dengan kerumunan beberapa pria yang mengenakan jas yang nampak mewah. Terlihat jelas jika mereka bukan orang sembarangan.
"Siapa mereka?" batin Tania. Sorot matanya mengedar satu persatu mencoba mengenali para tamu yang hadir malam itu.
Tania melanjutkan langkahnya dengan perlahan, ia begitu gugup, hingga memilih berjalan sambil tertunduk.
Dug ....!
Tania menabrak dada bidang seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan matanya yang mengkilat cokelat dan juga warna rambut yang di cat cokelat blonde.
Bahkan tubuh rampingnya hampir saja terpelanting, tetapi dengan sigap pria tersebut meraihnya.
"Terimakasih," ucap Tania, ia bahkan menatap tanpa kedip saat berkata. Jantungnya berdebar, rasa yang tak biasa yang ia rasakan.
"Ya," balas pria tersebut singkat, nada suaranya terdengar berat. Kemudian melepaskan genggaman tangannya yang semula erat di pinggang Tania.
Seketika Tania membenarkan posisi tubuhnya, lalu merapikan kerudung hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
"Tania, mohon maaf kami adalah perwakilan beberapa kolega papa kamu. Mulai besok pagi, kamu harus meninggalkan rumah ini. Tempat tinggal kamu sudah disediakan pihak perusahaan PT. Aditama Wijaya group. "
Tania tersentak lengkap dengan ekspresi menegang.
"Jadi malam ini kamu mulai berkemas, untuk masalah pembagian hak, kamu akan mendapatkan bagian saham milik papa kamu nanti ketika kamu sudah menikah," jelas pria berkumis tipis.
Sementara Tania masih memaku dan bayangan sang ayah terus terlintas di benaknya.
Menerima keadaan, atau pun melawan mereka sama-sama berat baginya. Apalagi Tania tidak memiliki pengalaman di dunia bisnis.
"Tania," panggil pria yang tak diketahui namanya itu. Berusaha membuyarkan lamunan seorang gadis dengan suara kerasnya.
"Ya, Om ... aku permisi ke kamar untuk bersiap," balas Tania yang berusaha menghindar.
"Ini kartu namaku, aku adalah walimu, jangan lupa hubungi aku."
Pria bertubuh besar dengan kumis tipis itu menyodorkan sebuah kartu nama ke arah Tania.
Dengan gerakan cepat, Tania menyambar kartu nama tersebut dan berlalu meninggalkan ruang tamu.
Hatinya hancur, bagaimana tidak dia diusir dari rumah dan juga perusahaan miliknya sendiri.
Tania berlari melintasi semua kolega perusahaan.
Sepasang mata, tidak melepaskan tatapan matanya yang tajam hingga Tania menapaki anak tangga menuju lantai dua kamar pribadinya.
Gorden kamar bergerak-gerak diterpa hembusan angin kencang yang berdesir malam itu.
Membuat Tania melangkahkan kakinya, ketika ia akan menutup gorden suara deru mesin mobil membuat fokusnya terpecah. Tania menoleh lalu melangkah melihat ke arah luar.
Di saat bersamaan matanya kembali bertemu pandang dengan seorang pria asing.
Pria berparas menawan, siapa pun yang menatap pasti terkesima. Tak terkecuali dengan Tania yang sungguh penasaran.
Pria itu mendongakkan kepalanya menatap Tania yang juga menatapnya dari balkon rumah. Jarak mereka berdua lumayan jauh.
Hanya berlangsung sepersekian detik, kemudian Tania memutuskan masuk dan menutup gorden lalu pintu dan juga jendela. Ia lebih memilih bersikap tak acuh.
"Segera kemasi barangmu, dan tinggalkan rumah ini besok pagi."
Kata-kata itu kembali berdengung di telinga Tania, membuat ia segera meraih sebuah koper miliknya untuk berkemas. Minggat. hanya kalimat itu yang mampu meracuni pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Aline
Rapi banget tulisan
2022-06-29
0
Misnah Ariani
mampir dulu,semoga cerita nya bagus
2022-02-07
1
azka aldric Pratama
mampir Thor
2021-10-31
2