Bogor, dini hari
Jam 04.00
Seorang gadis yang kini hanya tinggal seorang diri, sedang menggeliat manja. Ia terkejut ketika mulai membuka mata. Bengkak di pelupuk mata.
Dirabanya perlahan.
'Aku lupa jika telah menangis semalaman. Di sini tidak aman.' Batin Tania lalu segera beranjak berdiri.
Setelah berkemas cukup cepat, Tania berjalan pergi meninggalkan rumah tempat tinggal milik keluarganya.
Ada rasa sedih yang teramat dalam di hatinya. Berulang kali Tania menoleh ke belakang, menatap lama ke arah rumahnya. Berharap apa yang dialaminya adalah mimpi.
Di bawah guyuran hujan deras, Tania mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Rumah terasa sepi, penjaga pun tak terlihat di setiap sudut.
Akan tetapi, ada sebuah mobil yang masih terparkir di halaman, hingga seorang maid berlari menghampiri.
"Non Tania. Ada titipan dari seseorang. Tapi saya tidak mengenalnya." Seorang mantan maid, memberikan sebuah amplop coklat 0ada gadis itu.
Di dalam amplop, ternyata sudah disiapkan lembaran uang yang lumayan banyak jumlahnya. Selain itu, ada sertifikat rumah lengkap dengan kunci.
Di dekatnya, terparkir sebuah mobil berwarna putih. Tertera atas namanya, dan jujur saja jika semua itu membuat Tania semakin kebingungan.
"Siapa yang memberikan ini?" tanya Tania, tapi ia semakin bingung saat tersadar jika maid yang diajaknya bicara sudah berlalu pergi.
*****
Tanpa pikir panjang, Tania bergegas memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Kemudian ia berjalan mengitari dan masuk ke dalam mobil. Sebelum menyalakan mesin, Tania masih penasaran dengan amplop cokelat yang bertengger di dashboard.
'Dari siapa ini?' tanya Tania dalam hatinya.
Tania membolak-balik amplop tersebut, di sebelah pojok kanan bawah tertulis huruf 'R', membuat Tania semakin bertanya-tanya.
Tania mengamati sekitar rumah, sayangnya tak ditekuk siapapun di sana. Sepi, ia menyalakan mesin mobilnya lalu mulai melajukannya perlahan.
Sejak sepanjang jalan ia terus berpikir, mungkin saja ada yang tak beres dengan kematian sang ayah.
Kenapa malam hari setelah acara tahlilan beberapa koleganya datang mengusir dengan alasan yang kurang jelas dan sulit di pahami.
'Ini pembunuhan,' batinnya.
Kenapa juga ada pria misterius datang memberikan barang-barang tanpa penjelasan. Untuk apa?
Pikiran Tania kalut, tetapi ia tetap berusaha tenang meski Sekujur tubuh yang sejak tadi gemetar nyaris seluruhnya dibasahi oleh keringat.
Kini ia telah memasuki sebuah kompleks perumahan sederhana, karena penasaran dibukanya kembali amplop cokelat tersebut untuk memastikan bahwa alamat yang tertera benar.
'Perumahan Jasmine Garden Blok B nomor 04. Alamatnya benar, aku coba masuk,' batin Tania.
Kakinya masih bergetar saat melangkah. Tania berusaha masuk lebih dalam, pintu gerbang pun didorong hingga menimbulkan suara berderit. Masih sepi.
'Rumah siapa ini?'
Tidak terkunci, keadaan rumah pun dibiarkan kosong. Pandangannya terhenti disebuah meja ruang tamu. Lagi-lagi Tania dikejutkan dengan setumpuk dokumen yang di tata rapi dengan map warna-warni. Semakin Aneh rasanya.
Matanya hampir saja mencelos dari tempatnya ketika melihat sebuah tulisan yang di ketik dengan font bercetak tebal dan berukuran besar, "Untukmu Tania Wijaya".
'Hmm ... berarti ini benar untuk aku. Akan tetapi, apakah aku aman tinggal di sini? Siapa yang bisa aku temui?' batin Tania, kini ia menjatuhkan diri ke sofa meski masih belum tenang juga.
Tania berusaha berpikir positif, ia kemudian memutuskan untuk melihat-lihat sekeliling rumah. Ia juga melihat kamar tidurnya, kamar yang nampak mewah untuk kelas ekonomi menengah kebawah. Namun, sangat sederhana untuk seorang sekelas Tania.
"Tidak apa-apa, cukup nyaman untuk aku tinggal sendiri," ucap Tania ngomel sendiri, karena tak ada satu pun orang yang bisa diajaknya bicara.
Setelah berbenah dengan barang-barang miliknya, Tania memutuskan untuk keluar mencari makan. Perutnya sudah mulai berontak karena belum terisi apa pun sejak semalam.
Karena ingin menghapal daerah sekitar, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki.
Sepasang kaki jenjangnya menelusuri sepanjang jalan setelah keluar area perumahan, dengan sebuah payung di tangan.
Bahkan di sekitar kanan dan kiri jalanan terlihat basah karena air hujan yang menggenang.
Karena kecerobohannya, sebuah mobil oleh hampir saja menabraknya.
Tania tersungkur di aspal, seorang pria muda dengan perawakan proporsional akhirnya keluar dari mobilnya.
Pria dengan setelan jas berwarna biru tua, lengkap dengan kacamata hitamnya tampak menawan. Hingga mampu membuat Tania sesaat mematung karenanya.
"Maaf, mobilku sepertinya bermasalah. Apa kau baik-baik saja?" Pemuda tampan itu langsung meraih lengan Tania yang tergores aspal dan berlumuran darah.
Pemuda itu terkejut, ekspresinya langsung berubah tegang setelah menyadari jika ia telah membuat orang lain celaka.
Tania diam saja. Tak banyak bicara. Masa buruk yang memang baru saja ia lewati memaksanya banyak belajar.
"Hey girl. Kita naik taksi, soalnya mobilku sepertinya sedang bermasalah!" ajak pemuda yang bahkan tidak memberikan pada lawan bicaranya untuk menjawab.
Gadis itu langsung menepis tangan si pemuda. Membuat pria tampan itu tercengang.
"Permisi, aku tidak bermaksud ingin berbuat jahat," kilah pria tersebut berusaha membela diri, lalu ia menggendong tubuh ramping Tania.
Gadis yang tetap pada pendiriannya, menolak kehadiran pria lain itu, akhirnya terus meronta-ronta. Memaksa pemuda yang menggendongnya menurunkan tubuhnya.
"Nama kamu siapa?" tanya pria tampan tersebut, saat Tania memilih diam di dalam taksi dan menatap ke arah luar jendela.
"Tania Wijaya," balasnya singkat.
"Bisa menatap saat kita berbicara? Karena kata orang tua kurang sopan jika bersikap seperti itu. Perkenalkan, namaku Edo Mahardika." Edo mengulurkan tangannya.
Membuat gadis itu memaku menatap wajah pria tampan itu dengan jarak dekat.
Tania memberanikan diri menoleh, meski kepalanya tertunduk. Dengan ragu-ragu akhirnya Tania menjabat uluran tangan tersebut meski memberikan kesan ragu yang hanya sekedar menempelkan telapak tangannya.
"Kenapa kamu berjalan ditengah hujan?" Edo masih menatap heran, dengan segudang pertanyaan di otaknya.
"Aku lapar, dan sedang ingin mencari makan di sekitar dekat rumah, tapi ...."
Edo memperhatikan sikap Tania, akankah gadis tersebut menerima dirinya menjadi seorang teman. Sedangkan Tania terkesan ragu bahkan dalam setiap jawaban atas pertanyaan Edo padanya.
Perempuan cantik, lembut, tetapi sangat terlihat jelas ada guratan kesedihan di wajahnya. Jelas jika ia saat ini sedang gak baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi?
Lima belas menit berlalu, keduanya berada di klinik.
"Tania, aku akan mengantarmu membeli makan, lalu kuantar pulang ya. Lagi pula aku yang membuat kamu celaka," ujar Edo, setengah memaksa sembari refleks menepuk bahu Tania.
Tania terhenyak dengan mata melotot, ia berupaya sedikit menjauh.
Baru kali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang tidak agresif, bahkan wajahnya terlihat suka disentuh.
Sikapnya yang menunjukkan tidak ada ketertarikan sedikit pun pada Edo, membuat pria tersebut semakin penasaran.
Tania kini memakai baju blouse casual berwarna merah, dengan celana pendek selutut berwarna hitam. Kulit putihnya yang kontras membuatnya terlihat cantik, rambutnya bercat blonde, seolah memberi ciri jika ia bukan sekedar gadis biasa yang kerap ditemuinya di jalanan.
Ini jelas bukan kebetulan.
"Tidak, aku bisa pulang sendiri."
Edo semakin penasaran saja dengan siapa ia sedang berbicara saat ini. Keningnya berkerut, menyimpan sejuta tanya.
"Jika kamu menolak, itu artinya kamu menempatkan diriku sebagai pecundang. Terima tawaranku sebagai pertanggungjawaban."
Hening. Tak ada jawab yang terucap, kecuali sepasang mata yang saling bertatapan.
*****
Keduanya berada di sebuah rumah makan sederhana, Edo semakin tertarik.
"Kamu lahap sekali makannya? Lapar ya?" tanya Edo, sambil menyesap jus jeruk di genggaman tangannya sementara fokusnya tidak berpindah sedetikpun.
"Aku belum makan sejak semalam," balas Tania.
Edo menautkan kedua alisnya hingga saling bertautan. Ia tertegun mendengar jawaban Tania.
Jika ia terus mencecar Tania dengan segudang pertanyaan, ia ragu gadis itu akan menjawab. Bagaimana jika justru akan takut padanya?
Dan ....
Benar saja pernyataan Tania mencengangkan bagi Edo. Bahkan ia tersentak mendengar semua kisah sedih yang dikisahkan gadis itu padanya.
Mulanya ragu. Tapi, saat menyadari Edo tak sekejam yang ia bayangkan, akhirnya ia memberanikan diri untuk memulai bercerita.
Tania berhenti mengunyah, ia memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap Edo ketika berbicara. Bukan tanpa sebab, melainkan juga tanpa hormat.
Tak ada sedikit pun kisah yang ia lewatkan, bahkan ketika beberapa orang misterius berusaha menguasai seluruh harta miliknya.
Seketika bulir bening mengalir dari pipinya. Ia kembali terisak mengingat kejadian yang baru saja menimpa dirinya. Ia sendiri, tanpa teman, tanpa keluarga.
Hallo kesayangan, jangan lupa like, love, dan vote kalian untuk dukungan kalian ya. Agar Author semangat up Bab baru dan tetap bisa berkarya. Terimakasih sudah mampir membaca.
Salam cinta dariku.
Lintang
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Aline
next
2022-06-29
0
Flowers Anggel
lah baru kenal udah curcol
2021-11-29
0
Titik pujiningdyah
jangan-jangan jodoh nih
2021-07-11
2