Keesokan paginya, di kediaman Burhan.
”Tria, bangun Nak.” Burhan membangunkan Tria dengan pelan menyentuh bahunya. Ia menatap Tria dengan iba yang tertidur meringkuk di teras rumah, saat ia membuka pintu rumah.
”Um!” Tria terbangun. Perlahan matanya terbuka, ia melihat Burhan duduk berjongkok di depannya. Tria bergegas bangun dan duduk.
”Pa, maafin, Tria! Tolong... jangan mengusir Tria dari rumah, Pa! Tria mohon, maafkan, Tria!” Matanya berkaca-kaca memohon pada Burhan agar tidak di usir. Burhan menghela nafas. Hatinya pedih teriris melihat Tria saat ini.
”Tria mohon, Pa! Jangan usir Tria,” ia kembali memohon pada Burhan agar tidak mengusirnya.
Mata Burhan berkaca-kaca. Ia sangat sedih melihat Tria yang tidak berdaya. Gadis kecil yang berusia 12 tahun, semalam tidur di luar, di bawah derasnya hujan, menahan rasa dingin. Bahkan untuk tinggal di rumahnya sendiri, ia harus bermohon.
”Bapak tidak mengusir kamu, Nak! Ini... ini hanya peringatan saja dari mamamu! Kedepannya... menurut lah sama mama dan Bapakmu,” ucapnya menasehati Tria. Tria mengangguk patuh.
”Iya, Pa! Tria janji... Tria akan menuruti apapun perkataan mama dan Bapak. Maafkan Tria, Pa! Tria gak akan mengulanginya... Tria janji!” Meski matanya berkaca-kaca, wajahnya sedih, namun ia memaksakan tersenyum pada Burhan.
”Bagus! Anak pintar! Sekarang... kamu masuklah ke dalam rumah, bersihkan dirimu! Papa pergi kerja dulu,” suara Burhan bergetar menahan tangis. Hatinya sangat tersentuh melihat senyuman yang di pancarkan Tria untuknya.
”Iya, Pa,” Tria berdiri melangkah dengan pelan memasuki rumah. Burhan memperhatikan setiap langkah kaki Tria, sampai langkah gadis kecil itu hilang di balik pintu.
Semalam Burhan tidak bisa tidur, ia terus memikirkan Tria yang berada di luar, apalagi hujan turun begitu deras. Biar bagaimanapun, Tria adalah anak dari abangnya dan ia bertanggung jawab atas diri Tria.
Ia memberitahu Karmila agar membiarkan Tria masuk ke dalam rumah, tetapi, istrinya menolak.
”Ma, biarkan Tria masuk. Di luar, hujan sangat lebat. Nanti dia sakit,” Burhan membujuk Karmila untuk membiarkan Tria masuk ke rumah.
”Sesekali biarkan anak tidak tau di untung itu merasakan bagaimana berada di luar sana! Jadi... dia tidak akan berani lagi untuk melawan atau membentak ku! Biarkan dia belajar arti kesopanan dan kepatuhan! Biarkan dia di luar semalaman! Dengan begitu dia akan nurut tidak akan membangkang! Lebih baik, Papa tidur saja!!” Karmila menolak Tria masuk ke rumah.
Burhan bergegas pergi bekerja setelah ia memastikan di dalam sana tidak terjadi keributan dengan masuknya Tria di dalam rumah. Ia bisa tenang pergi ke luar kota.
Tria kembali menghela nafas sambil memejamkan mata setelah ingatannya tentang peristiwa pilu yang ia terima ketika dirinya berusia 12 tahun.
Semenjak hari itu... aku selalu berhati-hati bekerja dan berbicara di rumah ini.
Samar-samar telinga Tria mendengar suara gelas yang jatuh di lantai, dari arah dapur. Tria bergegas pergi ke dapur.
Di dapur.
”Yuli?” Tria terkejut melihat Yuli masuk dapur, bahkan Yuli sedang berusaha membuat kopi.
Ada apa dengan Yuli hari ini? Tumben dia ke dapur dan membuat kopi sendiri. Biasanya dia selalu berteriak padaku untuk di buatkan minuman untuknya.
Lihatlah, di lantai ada pecahan gelas. Di tempat cuci piring sudah terdapat empat gelas yang kotor bekas kopi. Dan sekarang dia mengambil dua gelas bersih lagi untuk membuat kopi. Untuk siapa kopi itu?
Tria menghampiri Yuli. ”Biar aku aja kak yang buat kopinya,” ucapnya. Ia mengambil gelas yang di ambil Yuli tadi. Dia menaruh gula dan kopi di dalam gelas dengan takaran tepat. Yuli memperhatikan takarannya.
”Untuk siapa kopi ini, kak?” Tria menuangkan air panas di dalam gelas yang sudah terisi gula dan kopi tersebut. Kemudian, Tria mengaduknya.
”Tidak usah banyak tanya! Kalau sudah selesai... berikan padaku! Kamu... pergilah! Eh, sebelum pergi... bersihkan pecahan gelas itu,” Yuli berkata ketus. Tria menghela nafas.
”Ini kopinya,” Tria menyerahkan dua gelas kopi itu pada Yuli.
”Hum!” Yuli menggeser tubuh Tria sedikit, lalu, ia mengangkat nampan yang berisi dua gelas kopi tersebut dan pergi dari dapur, tanpa mengucapkan terima kasih untuk Tria.
”Langsung pergi begitu saja? Tidak perlu kah mengucapkan terima kasih untuk ku?” Tria membersihkan pecahan gelas dan mencuci gelas yang kotor akibat Yuli.
Tapi... untuk siapa ya kedua kopi tersebut? Apakah ada tamu yang datang?
Tria penasaran. Ia pergi ke depan setelah mencuci gelas kotor.
Di depan, di ruang tamu.
”Ini kopinya... Om Fadil, kak Rio.” Yuli menaruh gelas kopi di hadapan Rio dan Fadil.
”Terima kasih,” ucap Rio.
Kening Tria mengerut mendengar suara pria yang ia kenal. Ia penasaran, langkahnya di percepat.
”Ternyata kamu pandai membuat kopi. Biasanya anak perempuan jaman sekarang sangat jarang tahu membuat kopi,” ucap Fadil memuji Yuli. Yuli tersenyum senang di puji Fadil.
Tria terkejut setelah sampai di depan bibir ruang tamu, ia melihat Rio. Tebakannya memang benar, suara pria yang ia dengar adalah suaranya Rio, teman sekaligus pria yang dalam diam ia cintai.
Rio! Apakah Yuli dan Rio saling mengenal? Om Fadil juga datang bertamu, bukankah om Fadil akan datang setelah aku berusia 20 tahun? Kenapa tiba-tiba on Fadil datang?
Tria masih berdiri di bibir ruang tamu memperhatikan Rio dan Fadil.
”Silahkan di minum kopinya Om, Rio,” Yuli mempersilahkan Rio dan Fadil untuk mencicipi kopinya.
”Terima kasih, Nak Yuli,” sahut Fadil.
”Tambah cantik saja anakmu ya, Pak Burhan,” ucapnya lagi memuji Yuli. Yuli tersenyum malu.
Karmila dan Burhan ikut tersenyum senang mendengar pujian Fadil untuk Yuli.
”Alhamdulillah, Pak Fadil. Kecantikannya, turunan dari ibunya,” sahut Burhan.
”Hahahaha! Iya, kamu benar! Kecantikan anak perempuan turunan dari ibunya dan ketampanan anak laki-laki turunan dari ayahnya,” sambung Fadil.
”Hahahaha! Benar sekali ucapan Pak Fadil,” sahut Burhan.
Fadil mengambil cangkir kopinya dan meneguknya. Ia tidak sengaja melihat keberadaan Tria di depan bibir ruang tamu, saat matanya melihat ke bagian dalam rumah.
”Eh, Nak Tria! Sini, Nak... mari... duduk di samping Paman,” ia memanggil Tria. Tria menurut, ia melangkah menghampiri Fadil.
Rio mendongak melihat Tria saat ayahnya memanggil nama wanita itu. Ia tersenyum manis melihat sahabatnya itu sekaligus wanita yang ia cintai dalam diam.
Yuli dan Karmila tidak senang dengan kehadiran Tria di sana.
”Mengapa kamu tidak menyapa Paman? Bagaimana kabar mu?” tanya Fadil setelah Tria duduk di sampingnya.
”Tria baik-baik saja, Paman.” Jawab Tria.
”Dulu... terakhir melihat mu di usia 12 tahun, masih kecil. Sekarang, usia mu sudah 18 tahun... kamu tumbuh dengan sangat baik... juga cantik! Apa kamu masih sekolah?”
”Tidak, Papa! Em... maksud ku... Tria sudah lulus sekolah, sama-sama dengan Rio, Pa.” Rio yang menjawab langsung pertanyaan Fadil mewakili Tria.
Tria terdiam dalam terkejutnya. Ia tidak menyangka jika Fadil, pengacara ayahnya adalah papanya Rio.
Ja, jadi... Rio adalah anaknya Om Fadil? Oh, iya, nama orang tuanya Rio adalah Mina dan Fadil. Kenapa aku bisa lupa itu? Hanya saja... aku tidak menyangka... jika Fadil itu adalah Fadil pengacara almarhum ayah. benak Tria.
”Oh, yah? Kamu sudah lulus? Kamu dan Rio saling kenal?” Selidik Fadil. Ia juga tidak menyangka jika Tria dan Rio ternyata satu sekolah bahkan sekelas.
”Iya, Paman! Tria sudah lulus sekolah. Rio dan Tria satu kelas,” jelas Tria.
”Rupanya... Pak Fadil gak tahu juga ya kalau Rio dan Tria satu sekolah juga satu kelas?” Ucap Burhan.
”Benar, Pak Burhan. Aku tidak tahu... aku terlalu sibuk dengan pekerjaan ku. Jadi... aku kurang memperhatikan teman-teman dari anakku sendiri,” terang Fadil.
”Padahal, Tria sering datang ke rumah kita untuk kerja kelompok loh, Pa!” Ungkap Rio.
”Ya, meskipun dia cuma sebentar saja datangnya... setelah kerjakan tugas, ia langsung pulang. Makanya Papa gak pernah bertemu dengan Tria saat Tria datang di rumah kita,” ungkapnya lagi.
”Oh, yah? Berarti kita berdua gak jodoh untuk bertemu di rumahnya Paman ya Tria,” sesal Fadil.
”Mungkin itu benar, Paman,” sahut Tria.
”Oh, iya! Rio... Tria ini adalah anak dari klien sekaligus sahabatnya Papa dulu, Marzuki,” Fadil menjelaskan hubungan antara Tria dan dirinya pada Rio.
Kening Rio mengerut. ”Marzuki? Papanya Tria... bukankah...” Rio menghentikan ucapannya mencoba memahami ucapan papanya.
”Yang ada di depan mu sekarang ini adalah orang tua angkat dari Tria... Burhan dan Karmila. Sementara orang tua kandung Tria adalah Marzuki dan Nur Hasanah... mereka berdua sudah lama meninggal,” ungkap Fadil. Ia mengerti maksud Rio yang melihat Burhan dan Karmila.
”Sudah lama meninggal...” Rio mengulang kembali perkataan terakhir papanya.
”Iya. Ibu kandung Tria meninggal sewaktu Tria masih sekolah dasar kelas tiga SD. Dan ayahnya meninggal sewaktu Tria masih duduk di bangku kelas enam SD. Sebelum almarhum ayahnya meninggal, Tria di titipkan pada Burhan dan Karmila, adik angkat dari almarhum Marzuki,” jelas Fadil. Rio terdiam sambil melihat Tria.
Ternyata.. kamu tinggal di rumahmu sendiri dengan orang tua angkat mu, yang tadinya... aku mengira mereka adalah orang tua kandungmu. Dan mereka memperlakukanmu seperti itu di rumahmu sendiri, bagaimana kamu menjalani hidupmu, Tria? Tria... benak Rio. Ia iba terhadap kehidupan Tria.
”Oh, ternyata begitu,” ucap Rio dengan sedih. Rio masih menatap Tria. Tria menyadari Rio melihatnya saat ia memutar wajah melihat Rio.
Apa arti dari tatapan mu, Rio? Apa kamu mengasihani ku? Aku memang pantas untuk dikasihani. Aku... yang tinggal bersama orang tua angkat ku, di rumah ku sendiri dan mereka memperlakukanku seperti pembantu. Dan aku tidak berdaya untuk melawannya, aku hanya berharap suatu saat aku bisa keluar dari rumah ini dan mencari kebahagiaan ku sendiri. benak Tria.
Yuli tidak senang melihat Rio yang terus melihat Tria. Ia marah dan cemburu. Terlebih lagi... ia tahu jika Rio mencintai Tria. Kabar itu ia dengar dari sepupu Rio, temannya Yuli.
”Oh, iya, Pak Fadil. Apa ada tujuan tertentu hingga Bapak menyempatkan diri berkunjung kemari?” tanya Burhan.
”Oh, tidak ada tujuan khusus, Pak Burhan. Kebetulan saja saya lewat di sini. Jadi... saya berfikir untuk sekalian mampir sebentar untuk melihat keadaan sekeluarga saja. Rupanya... lama tidak bertemu, ternyata anak-anak mu tumbuh dewasa dan cantik-cantik,” jawab Fadil.
”Hahaha. Pak Fadil bisa aja! Alhamdulillah, saya dan istri merawat mereka bertiga dengan sangat baik,” sahut Burhan
Kenyataannya kamu membedakan antara anak angkat mu dan anak kandungmu, Paman! Kamu berlaku tidak adil pada putri-putrimu. benak Rio sambil memandang Burhan dengan marah.
”Ternyata... almarhum tepat memberikan tanggung jawab anaknya padamu. Padahal... jika saja kalian menolak untuk merawat Tria 6 tahun yang lalu, saya siap untuk merawatnya,” ucap Fadil sambil melirik Tria.
”Hehehe, masih ada Pamannya di sini yang mau merawatnya, Pak Fadil.” Karmila yang menyahuti.
”Kopinya silahkan di minum, Rio, Pak Fadil, keburu kopinya dingin,” ucapnya lagi, mengingatkan Rio dan Fadil pada kopi mereka.
”Ah, iya, hampir lupa,” Fadil meraih cangkirnya dan meminumnya sampai habis. Rio juga melakukan hal yang sama, menghabiskan kopinya yang masih hangat itu.
”Terima kasih, Pak Burhan, Bu Karmila, Yuli atas kopinya. Kami berdua pamit dulu... sudah terlalu lama kami berada di sini.” Fadil berpamitan.
”Ah, iya, Pak Fadil. Jangan sungkan-sungkan! Seringlah mampir ke sini di waktu luang,” sahut Burhan.
”Insya Allah, saya akan berkunjung lagi,” Fadil melihat Tria. ”Tria, Paman pulang dulu,” pamitnya.
”Iya, Paman. Hati-hati di jalan!” Sahut Tria.
Fadil dan Rio berdiri, Burhan dan Karmila ikut berdiri, begitu pula dengan Tria dan Yuli, mereka ikut berdiri.
Burhan dan Karmila mengantar Fadil dan Rio hingga di teras rumah. Tria pergi ke kamarnya setelah ia membawa gelas kotor di dapur.
Burhan dan Karmila kembali ke ruang tamu, mereka berdua duduk di kursi, menemani Yuli mengobrol
”Mama perhatikan kamu terus menatap Rio. Apa kamu suka dengan anaknya Fadil itu? Hum?” Karmila menggoda Yuli.
”Apaan sih, Ma! Yuli kan hanya melihatnya saja... kenapa Mama langsung artikan aku suka?” Yuli mengelak mengakui jika ia memang mencintai Rio. Namun, ekspresi wajahnya tidak bisa menutupi rasa sukanya pada pria tampan yang baru datang bertamu di rumahnya itu.
”Hahahaha! Pa, lihatlah anakmu! Anakmu ini sedang malu mengakui perasaannya!” Karmila menggoda Yuli.
”Apakah itu benar, Yuli? Kamu menyukai Rio, Nak?” tanya Burhan.
”Dia sedang malu untuk mengakuinya, Pa. Tapi, cobalah lihat ekspresi wajahnya yang jujur itu, dia menyukai Rio,” Karmila yang menjawab, mewakili Yuli.
”Mama!” Yuli merasa malu.
”Em...Pa, Ma, Yuli memang mencintai Rio. Perasaan Yuli sudah lama untuk dia,” ia akhirnya jujur mengakui perasaannya.
”Sudah lama? Berarti kamu sudah lama mengenal Rio, Nak?” Selidik Karmila.
”Iya, Ma. Yuli mengenalnya, dia adalah sepupunya teman ku. Aku juga pernah datang ke rumahnya Rio bersama teman ku itu. Dari situlah Yuli melihat dia dan menaruh hati padanya,” ungkap Yuli.
”Jika kamu serius, Papa akan mencoba untuk menjodohkan mu dengan dia. Papa akan mencoba berbicara dengan Fadil.” Ucap Burhan. Yuli tersenyum senang.
Bapak dan Mama mendukung ku! Ini bagus. Jadi... aku tidak perlu repot-repot untuk mengejar cinta Rio. benak Yuli.
”Iya, Pa. Mama sangat setuju! Kalau bisa segeralah, Pa! Jangan di tunda-tunda!” Karmila menegaskan Burhan.
”Terserah Bapak saja, Yuli menurut saja,” ucap Yuli.
”Baiklah! Jika ada waktu Papa, Papa akan membicarakan langsung dengan Fadil. Papa ke kamar dulu, mau cek pekerjaan Bapak tadi.” Burhan beranjak berdiri dan langsung pergi dari ruang tamu. Meninggalkan Yuli dan Karmila.
”Tapi, Ma! Sepertinya Rio menyukai Tria,” ucap Yuli, wajahnya cemberut.
”Mama juga bisa melihat itu tadi, kamu tenang saja! Mama punya ide untuk mengubur perasaan Rio pada Tria.” Karmila tersenyum licik memikirkan idenya.
”Mama punya ide apa?” Yuli penasaran.
”Ini urusan Mama! Kamu pergilah istirahat! Mama ingin menemani papa mu melihat kerjaannya.” Karmila berdiri dan melangkah pergi ke kamar meninggalkan Yuli sendirian di kursi.
Selain papa membicarakan perjodohan ku dengan Rio, aku juga akan berusaha untuk mencari perhatian pada orang tua Rio. Untuk mempermudah di terimanya aku di keluarga mereka. benak Yuli.
Di kamar Tria.
Drrrrrt drrrrrt! Tria terbangun mendengar suara ponselnya berbunyi. Dengan malas, ia meraih ponselnya. Namun, panggilannya telah berhenti. Ia melihat waktu di layar handphonenya, pukul 05 : 30.
Drrrrrt drrrrrt! Kembali terdengar nada ponselnya berbunyi. Ia melihat jelas di layar tertulis ”Rio memanggil...” Ia mengangkat telfon tersebut.
”Halo! Assalamu 'alaikum, Rio.”
”Wa 'alaikum salam, Tria! Apa aku menganggu mu?”
”Tidak! Ada apa, Rio? Mengapa menelfon?”
”Kamu baru bangun atau... sedang menangis? Suaramu kok serak begitu?” Selidik Rio, ia khawatir saat mendengar suara nada Tria yang serak.
”Aku baru bangun tidur! Tidak usah khawatir! Ada apa menelfon?”
”Kamu tidak berbohong padaku?” Rio memastikan.
”Tidak, Rio!” Sahut Tria dengan kesal.
”Kamu kesal karena aku bertanya begitu?” Rio tidak terima.
”Tidak, ada apa kamu menelfon?” Untuk ketiga kalinya Tria menanyakan maksud Rio menelfon nya.
”Bagaimana? Apa kamu sudah mempersiapkan keperluan yang akan kamu bawa besok untuk kita berlibur?”
”Aku sudah persiapkan semuanya, hanya saja aku belum izin sama mama dan papa. Rencananya... sebentar malam baru aku izin.”
”Oh, nanti beri tahu aku setelah kamu sudah izin sama mereka. Soalnya... besok aku yang akan menjemput kamu.”
”Tidak perlu Rio!” Tolak Tria. Rio tidak senang di tolak.
”Kalaupun mama dan papa mengizinkan aku pergi... kemungkinan papa yang akan mengantarku ke sana,” lanjutnya menjelaskan.
”Besok aku akan tetap menjemput mu, kamu di izinkan pergi atau tidak... aku tetap ke sana menjemput mu! Jadi kamu bersiaplah untuk ku jemput besok.” Ucap Rio dengan marah.
”Tapi, Rio__” Tut tut tut. Tria melihat layar handphonenya, ternyata pria itu telah memutuskan sambungan telfonnya.
Tria menghela nafas. ”Sepertinya dia sedang marah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Miah Restiana
lanjut..
2021-09-25
1
Fathia Nur Jannah
Lanjut
2021-04-27
8
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
semangat ka😘👌
2021-03-29
2