Akhir Kisah Cinta Tria
Dengan langkah terburu-buru Tria yang mengenakan seragam putih abu-abu bergegas jalan menuju sekolahnya.
Terburu-buru bukannya ia takut akan di marahi oleh guru jika terlambat datang ke sekolah, yang ia takutkan adalah akan berdempetan dengan teman sekolahnya saat berkerumun di depan dinding mading.
Hari ini adalah hari berita kelulusan bagi siswa dan siswi SMA kelas tiga. Berita kelulusan tersebut di umumkan pada dinding mading sekolah.
”Rusnani, Rusmini, Satrio Nugraha, Sutrisno, Tria Handayani,” senyum Tria merekah seketika saat membaca namanya, ”Yes, Alhamdulillah aku lulus.” Ia sangat gembira. Senyumnya tidak pernah lepas dari sudut bibirnya.
”Tria, kamu lulus?” terdengar suara seseorang bertanya padanya. Tria menoleh melihat si pemilik suara tersebut. Dia adalah Nani.
Di genggamnya erat jemari tangan Nani dan berkata, ” Iya, Nan. Alhamdulillah, aku lulus...”
Nani menyambut senang. ”Alhamdulillah, aku senang untuk mu. Gimana dengan aku, apa lulus?” Nani maju selangkah ke depan mading sebelum mendengar jawaban Tria.
Tangan kanan Tria bersandar di bahu Nani dan menjawabnya, ”Iya, kamu lulus. Em, yang lainnya juga lulus, loh!!” Tangan Tria berpindah memeluk erat tubuh Nani seraya berkata, ”Aaaa... aku sangat senang Nani! Upaya belajar kita dalam sebulan untuk menghadapi ujian, tidak sia-sia.”
Nani masih belum merespon Tria. Matanya sedang membaca daftar nama-nama yang tertera di selembaran kertas, di dinding Mading tersebut.
Matanya terbuka lebar saat menemukan namanya dan melihat nilai nya sangat bagus. Ia berbalik menghadap Tria, di peluknya tubuh Tria yang masih memeluk dirinya dan berkata, ”Ah... nilai ku tidak mengecewakan. Aku sangat senang! Alhamdulillah kita semua lulus....”
”Sudah pasti nilai kita bagus-bagus! Kalau tidak...percuma dong kita belajar sungguh-sungguh sebulan ini,” Tria menanggapi. Pelukan mereka telah terputus. Mereka kembali melihat papan mading.
Nani dan Tria menoleh ke belakang saat merasakan bahu mereka bertengger sebuah tangan dan terdengar suara yang bertanya pada mereka, ”Apa kalian berdua lulus?”
Nani dan Tria berbalik badan menghadap wanita tersebut. Mereka memandang Mini dengan wajah bersinar bahagia dan sama-sama menjawab Mini, ”Iya. Alhamdulillah, kami berdua lulus. Kamu, Rio, dan Risno juga lulus kok!! Nilai kita juga sangat bagus!”
”Iya, kah? Coba ku lihat.” Mini maju selangkah ke depan, ia membaca nama-nama yang tertera di selembaran kertas putih tersebut.
”Ah, benar! Kita semua lulus! Wah, nilai kita memang sangat bagus-bagus! Usaha belajar satu bulan terakhir gak sia-sia.” Mini berbalik ke belakang memeluk erat kedua sahabatnya, melepaskan bahagianya.
”Oh, jelas!!” Tria dan Nani merespon.
”Sabar!” Mata Mini mencari sosok seseorang. Kening Nani dan Tria mengerut mengikuti arah mata Mini memandang. ”Di mana dua pria tampan milik kita? Apa belum datang?” tanya Mini.
”Oh, kamu sedang mencari kedua pria itu?” Nani menanggapi. Mini mengangguk.
”Kedua pria kita belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan ke sini. Kenapa? Rindu?” Tria ikut menanggapi, menggoda Mini. Mini tersipu malu.
Nani terkekeh geli melihat Mini yang tersipu. Ia ikut menggoda sahabatnya itu, ”Ah, iya. Kamu benar, Tria. Rindunya Mini pasti sudah menumpuk untuk Risno. Kira, selama satu bulan penuh tidak bertemu dengan sang kekasih. Dan lagi, selama ujian sekolah berlangsung mereka berdua selalu bertolak belakang datangnya jika kita berkumpul. Di saat Mini ataupun Risno yang datang, salah satu di antara mereka sudah pulang duluan.”
Mini terdiam, menunduk malu di godain sama kedua sahabatnya itu. Ia tidak mengelak, ucapan kedua sahabatnya benar. Dia merindukan Risno, Sutrisno, yang sudah ia pacari.
”Wah, pagi-pagi sudah menggoda orang! Gak kasian apa?” terdengar suara seseorang dari arah belakang mereka bertiga.
Ketiga wanita tersebut tersenyum merekah dan berbalik melihat pria yang barusan bicara, pria yang sudah mereka tunggu kedatangannya. Terutama Mini, gadis itu terasa sangat bahagia melihat kekasihnya datang.
”Ah, Risno! Em...akhirnya... pria tampan ku datang juga.” Nani menyenggol lengan Mini, masih dalam mode menggoda sahabatnya itu. Tria hanya tersenyum saja.
”Udah... udah! Jangan di godain terus dong temannya! Makanya... punya pacar juga jadi tahu gimana rasanya rindu.” Risno membela Mini, kekasihnya.
Mini merasa senang di bela oleh Risno. ”Iya, benar tuh! Betah bangat menjomblo.” Ia mencibir Tria dan Nani, sahabatnya tersebut.
Tria terdiam, senyumnya berubah kecut. Ia berkata dalam benaknya. Tidak perlu berpacaran baru bisa merasakan rindu. Meski teman, tapi...jika pria itu kita sukai, bila tidak bertemu...rasa rindu akan mengobrak-abrik hati...meminta untuk bersua... matanya mencari sosok pria yang ia cintai.
”Idih, mentang-mentang ada pembela...merasa jago dia.” Nani balas mencibir Mini. Tria kembali memperhatikan ketiga sahabatnya, saat sosok yang ia cari belum terlihat.
”Eh, udah...udah! Gimana, apa kalian bertiga sudah melihat hasil pengumuman? Apa kita semua lulus? Gimana dengan nilainya? Apakah memuaskan?” Risno sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau melihat wajah kekasihnya yang menahan malu di godain terus sama Nani dan Tria.
”Eh, iya hampir lupa. Iya, Ris, ucapan mu sebelumnya benar! Kita semua memang lulus dan nilai kita bagus-bagus, loh!” jawab Tria.
”Iya, kah? Alhamdulillah! Berarti sesuai dengan perkataan sebelumnya ya, siapa nih yang janji mentraktir makan?” Risno melirik Mini.
”Rusmini...” jawab Tria dan Nani.
”Ok, tenang...tenang! Aku orang yang menempati janji kok, gak akan ingkar!” Mini tidak mengelak. Matanya mencari seseorang. Ia melanjutkan ucapannya, ”Tapi... kita harus tunggu Rio, pria itu kenapa belum datang ya?”
”Hah, apa sih yang membuat Rio sampai telat? Kita janjian jam 07.00 tepat harus sudah berkumpul disini. Kok, dia belum datang ya?” Nani berkomentar kesal.
”Udah...udah! Kita tunggu aja lagi, ini juga baru jam 06 : 46 menit. Masih ada waktu 15 menit lagi untuk dia datang.” Tria merespon.
”Baiklah, tapi... sebaiknya kita nunggunya di kantin aja deh,” usul Risno.
”Ok,” sahut Nani, Tria, dan Mini. Mereka semua berjalan menuju kantin. Sesekali Tria menoleh kebelakang, melihat sosok pria yang di nantinya itu.
Apakah sesuatu terjadi padanya? Tidak biasanya dia datang terlambat, bukankah dia yang selalu datang lebih awal? Rio... benak Tria.
Hati Tria berdetak tidak menentu memikirkan pria itu.
*
*
*
Perkenalan tokoh.
Tria Handayani Marzuki adalah seorang gadis yang mandiri, berusia 18 tahun, dan menyukai sahabatnya sendiri, Rio. Ia anak satu-satunya dari pasangan Marzuki dan Nur Hasanah.
Satrio Nugraha, ia adalah anak tunggal dari seorang pengacara, Fadillah dan Mina. Berusia 20 tahun, ia sangat menyukai sahabatnya, Tria.
Rusmini, merupakan sahabat Tria. Dia adalah kekasih dari Risno. Usianya 18 tahun, penampilannya sedikit tomboi.
Sutrisno, atau yang biasa di panggil Risno, kekasih dari Mini. Usianya 19 tahun, lebih muda satu tahun dari Rio. Dulunya, dia adalah seorang anak jalanan.
Rusnani, sering di panggil Nani, usianya 18 tahun. Ia sangat membenci lelaki yang mendekatinya untuk mengajak pacaran. Karena itulah, ia selalu lengket dengan Rio. Hingga orang berpikir Nani dan Rio berpacaran.
Tria, Nani, Mini, Risno, dan Rio, adalah sahabat semenjak masa orientasi siswa-siswi baru di sekolahnya. Mereka begitu akrab dan menjalin persahabatan sampai sekarang. Meskipun kadang persahabatan mereka sering diuji, mereka selalu bisa melewati permasalahan yang ada dengan kepala dingin dan saling mendengarkan antara satu sama lain. Itulah kekompakan diantara mereka dan yang penting lagi, mereka selalu berbagi suka dan duka bersama-sama dan saling membantu satu sama lain.
*
*
*
Di kantin sekolah.
Nani, Tria, Mini, dan Risno melangkah masuk ke dalam kantin. Mereka duduk di tempat biasa, ketika mereka datang ke kantin di jam-jam istirahat ataupun di saat nongkrong.
”Kamu pesan apa Tria?” tanya Bagas, saat ia melihat Tria dan teman-temannya duduk di kursi.
”Em... nanti, Mas. Sementara... kami duduk-duduk aja dulu. Masih menunggu teman datang,” jawab Tria.
”Oh, kalau sudah ingin pesan... bilang saja ya.” sahut Bagas. Tria mengangguk.
Bagas adalah kemenakan dari Bu Inah, sang pemilik kantin. Ia adalah seorang mahasiswa akhir yang kuliah di salah satu Universitas ternama di Medan. Ia memiliki sebuah bengkel dan juga depo air, usahanya yang ia rintis sendiri.
Bagas merupakan orang yang baik, tampan, ramah dan tidak sombong. Bagas sering sekali menyempatkan waktu untuk ketempat Bu Inah hanya untuk bertemu ataupun bercengkrama dengan Tria. Bagas sangat menyukai Tria dan sudah dua kali ia mengajaknya untuk berpacaran tapi Tria selalu menolak dengan alasan masih sekolah.
”Apa perlu menunggu Rio baru kita pesan makanan?” tanya Nani sambil melihat Risno, Mini, dan Tria. ”Jujur, aku sudah lapar,” ucapnya lagi memelas.
”Ok, kalau begitu kita makan saja. Bagaimana dengan kamu Tria? Mau makan atau nunggu Rio dulu?” tanya Risno.
”Kalau kalian mau makan, ya... kita makan bersama saja. Rio... biar dia datang baru dia makan.” jawab Tria. Namun, di hatinya berkata lain. Sebenarnya, ia ingin menunggu Rio baru makan. Tetapi, ia tidak ingin ada temannya ataupun Rio sendiri menyadari jika ia menyukai pria pemilik nama tersebut.
”Mas Bagas,” Risno memanggil Bagas saat Bagas kembali dari belakang. Bagas melangkah menghampiri Risno.
”Bagaimana?” tanya Bagas.
”Kami mau memesan makanan,” Risno melihat tiga wanita di depannya. ”Ayo, pesan apa yang ingin kalian makan,” ucapnya lagi pada ketiga wanita tersebut. Bagas melihat Tria, Nani, dan Mini, menunggu mereka berbicara.
”Aku pesan makanan yang biasa aku makan aja, Mas. Minumannya juga masih tetap,” ucap Tria, Nani, dan Mini.
Mereka tidak perlu menyebutkan satu persatu makanan dan minuman apa yang ingin mereka makan dan minum. Karena mereka tahu jika Bagas sudah mengetahui makanan dan minuman favorit dari mereka semua. Apalagi untuk menu kesukaan Tria, Bagas sangat hafal.
”Aku juga Mas, seperti biasa juga.” Risno memesan makanan dan minumannya setelah tiga wanita tercintanya.
”Oh, baiklah! Aku siapkan dulu.” Bagas berlalu dari hadapan mereka.
Dengan telaten, Bagas membantu Bu Inah menyiapkan pesanan Risno, Tria, Nani, dan Mini.
Risno mengenal Bagas karena Bagas adalah teman dari abangnya dan Bagas sering datang bermain kerumahnya. Karena itulah, Risno mendukung Bagas untuk menjalin hubungan dengan Tria, saat ia tahu Bagas menyukai Tria.
Bu Inah dan Bagas membawakan pesanan Tria dan temannya. Setelah menata makanan mereka di atas meja, Bagas ikut bergabung duduk dengan mereka.
Trrtrtrrt trrtrt! Bunyi suara handphone milik Tria berdering saat sedang menikmati makanannya. Semua mata melihat Tria.
Tria mengambil handphone dan melihat di layar tertera mama is calling. Ia menekan tombol hijau menjawab panggilan tersebut.
”Halo, Ma. Assalamu 'alaikum.”
”Wa 'alaikum salam!!” Karmila menjawab kasar.
”Ada apa Ma?” Tria tetap berkata lembut pada Karmila, meski Karmila berlaku kasar padanya.
”Cepat pulang! Sekarang!!” Karmila memutuskan sambungan telfon, setelah ia berbicara.
”Tapi Ma, Aku... Tut tut tut,” Tria terdiam saat mendengar suara sambungan telfon terputus. Ia menghela nafas sambil menarik benda pipih dari telinganya. Ia melihat layar handphonenya dengan sedih, Karmila telah memutuskan sambungan telepon di saat ia masih bicara.
Tria memasukan kembali handphone ke dalam sak celananya, wajahnya cemberut dan tampak berpikir.
Ada apa dengan mama? Mengapa menyuruh ku pulang secepatnya? Apakah ada sesuatu lagi? benaknya.
Nani, Bagas, Risno, dan Mini mengerutkan kening melihat Tria seraya bertanya serentak pada Tria, ”Kenapa?”
Tria melihat temannya dengan tersenyum di paksakan dan menjawab, ”Tidak apa-apa. Mama yang menelfon barusan, mungkin ada hal yang penting di rumah. Aku harus pulang.” Ia berdiri.
”Makanan mu?” Nani, Mini, Risno menatap Tria dengan iba.
”Em...” Tria bingung untuk menjawabnya. Ia melihat makanannya masih tersisa sedikit. Dia ingin habiskan, tetapi perintah mamanya dia harus pulang secepatnya.
”Biar saja tidak apa-apa. Aku berikan pada kucing bi Inah saja.” Risno merespon cepat melihat Tria yang bingung. Tria mengangguk.
”Maaf, aku harus pulang.” Tria merasa tidak enak meninggalkan temannya. Risno, Nani, dan Mini mengangguk terpaksa.
”Aku antar ya?” tawar Bagas.
”Tidak usah Mas. Nanti merepotkan mu,” tolak Tria.
”Tidak ada kata-kata repot untuk mu. Jangan menolak! Aku tetap mengantar mu pulang....” Bagas bersikeras.
Tanpa menunggu jawaban dari Tria, Bagas beranjak berdiri. Ia mengambil kunci motor di dalam laci Bu Inah lalu ia kembali ke meja makan Tria dan temannya.
Bagas melihat Tria dan berkata, ”Aku tunggu kamu di halaman parkir.” Ia segera pergi setelah berucap.
Tria menatap teman-temannya seakan meminta tanggapan mereka atas ajakan Bagas.
”Pulanglah! Biarkan saja Bagas yang antar kamu pulang. Kamu ingin cepat sampai di rumah juga, kan?” Nani berkomentar. Tria mengangguk.
”Jadi... pergilah dengan Bagas.” ucap Nani lagi.
Tria kembali mengangguk dan berkata, ”Baiklah, Aku pulang duluan ya. Maaf loh... aku gak bisa ikut pembahasan dengan kalian.” Ia menampakan wajah sedihnya. ” Nanti kalian beritahu aku ya hasil dari pembahasan kalian,” ucapnya lagi memelas.
”Ok. Kamu pulanglah,” sahut Risno. Nani dan Mini mengangguk mengiyakan.
Tria bergegas pergi ke halaman parkir sekolah, Bagas sudah menunggunya di sana.
*
*
*
Di halaman parkir sekolah.
”Maaf, sudah membuat mu menunggu.” Tria merasa tidak enak pada Bagas.
”Tidak apa-apa. Nih, pakai helmnya.” Bagas menyerahkan helm pada Tria. Tria mengambil dan memakai helmnya, lalu, ia naik ke atas motor.
”Pegangan!” ucap Bagas lagi. Tria menurut, ia berpegangan pada baju Bagas.
”Jangan ngebut ya, Mas,” pinta Tria.
”Iya, sayang...” sahut Bagas gemes. Ia mulai menjalankan motornya.
Tria sudah terbiasa dengan panggilan sayang yang keluar dari mulut Bagas untuknya. Ia juga tidak menyangkal kalau Bagas masih menaruh hati padanya. Meskipun sudah sering ditolak, Bagas tak pernah menyerah. Ia terus berusaha untuk memikat hati Tria.
Bukan! Bukan Tria tidak menyukai Bagas, tapi ia tidak bisa menerima dan membalas perasaan Bagas. Bukan juga karena Tria tidak berani untuk membuka hati kepada pria manapun, juga bukan karena ia takut akan patah hati jika sudah mulai mencintai. Tapi ia sudah memiliki satu pria yang menghuni relung hatinya.
*
*
*
Di kantin sekolah.
Nani, Risno, dan Mini sangat kesal karena mereka sudah lama menunggu kedatangan Rio, tapi, pria itu belum juga datang. Mereka telah lama menunggu bahkan sampai mereka telah selesai makan, Rio belum juga datang.
”Di mana Rio, ya?” Nani sudah sangat kesal. Ia melihat pintu masuk kantin, menunggu sosok Rio melewati pintu tersebut. ”Kok, Rio belum juga datang? Ini sudah lewat dari jam 07 : 00 loh.”
”Aku coba ulang telfon Rio.” Risno merogoh hapenya dari sak celananya, ia menggeser layar mencari kontak Rio.
”Hum. Telfon dia deh, sudah suntuk nih nungguin dari tadi.” Mini ikut merespon. Risno menunjukkan layar hapenya pada Mini yang menghubungi Rio. Telfon tersambung.
”Halo, Bro! Posisi di mana?”
”Masih di jalan, Bro! Bentar lagi nyampe di sekolah.”
”Oh, ok, buruan! Sudah lama nih nungguin kamu. Langsung ke kantin biasa ya kalau sudah nyampe di sekolah...”
”Ok, Bro! Siap!”
”Ok!” Risno mengakhiri panggilannya dan menyimpan kembali handphonenya.
”Bagaimana? Apa katanya? Di mana dia?” tanya Mini.
”Dia lagi di jalan, bentar lagi nyampe. Kita tunggu saja,” jawab Risno.
”Oh.” Hanya itu sahutan Mini dan Nani. Mereka menunggu kedatangan Rio.
Beberapa menit berlalu. Rio berjalan masuk ke dalam kantin.
”Sori, Bro! Aku telat.” Rio menepuk bahu Risno dan duduk di sampingnya.
”Santai aja Bro!” sahut Risno.
”Sori... aku telat! Aku salah, jangan ngambek lagi dong! Mukanya jelek bangat tau.” Rio membujuk kedua teman wanitanya yang sedang merajuk. Tapi, ia tidak berhasil memujuk Nani dan Mini, mereka masih cemberut.
”Tunggu... tunggu! Loh, kok cuman kalian berdua, di mana Tria?” Rio baru sadar jika Tria tidak ada di sana.
”Tria... Tria sudah pulang setelah mendapat telfon dari mamanya.” Risno menunjuk piring makanan Tria. ”Tuh lihat, makanannya aja gak di habis kan.”
Kening Rio mengerut melihat piring makanan Tria yang masih tersisa. Dalam benaknya ia berkata, Ada apa dengannya, ya? Apa lagi yang akan di lakukan mamanya, padanya?
Sebagai sahabat, mereka tahu tentang kehidupan yang di jalani oleh Tria. Gadis itu, hanya bersama dengan mereka saja bisa tertawa lepas dan tersenyum bahagia. Sedangkan di rumahnya, ia begitu tertekan dan terbebani oleh kedua orang tua dan kedua saudaranya.
Mereka ingin sekali membantu Tria, tapi, Tria selalu menolak. Tria tidak menginginkan itu, dia masih bisa atasi sendiri permasalahan yang menyangkut diri pribadinya.
Dan itu merupakan masalah keluarganya, mereka tidak bisa ikut campur tanpa dimintai langsung oleh Tria. Itu adalah salah satu perjanjian mereka agar persahabatan diantara mereka tetap terjalin, mereka harus saling menghormati privasi masing-masing meskipun tentang cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Aldin Andi
diam diam cinta... langsung saja katakan kalau cinta...nanti xesel loh kalau Rio mencoba mencintai wanita lain.
2022-04-05
0
Aldin Andi
wah...saingan cintax Rio..
2022-04-05
0
Aldin Andi
benar sekali...rindu itu sangat menyiksa....
2022-04-05
0