Sedih, itu pasti yang di rasakan oleh Tria. Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu, harus merasakan kekejaman takdir yang menghampirinya.
Ketika ia duduk di bangku kelas 3 SD, ia sudah menyandang status sebagai piatu karena di tinggal oleh ibunya. Dan sekarang, ia pun di tinggal oleh ayahnya, sehingga menjadikannya sebagai anak yatim piatu.
Tria masih terduduk lemas di depan tanah gundukan tempat istirahat terakhir ayahnya. Ia enggan meninggalkan kuburan itu.
Sebuah tangan menyentuh bahunya, ”Nak, mari kita pulang.” Tria menoleh melihat Burhan, ia mengangguk dan segera berdiri setelah melihat kembali kuburan di depannya itu.
Tubuhnya masih terasa lemas, tatapannya kosong, senyum pun hilang dari bibir mungilnya.
Menangis? Ia ingin sekali menangis, tetapi, air matanya seakan sudah mengering untuk keluar lagi. Status yatim piatu yang di sandangnya tidaklah berat, yang ia pikirkan adalah bagaimana ia akan menjalani hidup ke depannya?
Apakah paman dan bibinya juga saudara sepupu yang kini telah menjadi saudara angkatnya itu bisa menyayangi dirinya? Bisakah mereka akan menerima dirinya dengan baik dalam keluarga? Ia sama sekali tidak ingin tinggal bersama paman dan bibinya, akan tetapi, amanah dari ayahnya membuat ia harus bertahan hidup bersama mereka.
*
*
*
Di kediaman Marzuki.
Tria menatap kosong pada rumah megah yang ada di hadapannya itu. Suara canda tawa bersama ayah dan ibunya terngiang di telinganya. Bayang wajah ayah dan ibunya tergambar jelas di pelupuk matanya. Seketika ia merindukan kehangatan ayah dan ibunya.
Burhan merasa iba melihat Tria yang seakan kehilangan separuh hidupnya setelah kepergian Marzuki, kakak angkatnya.
”Assalamu 'alaikum, Nak Tria, Pak Burhan, Bu Karmila.” Terdengar suara seorang pria dari arah belakang mereka.
Tria, Burhan, dan Karmila menengok ke belakang, melihat orang yang baru saja menyapa mereka.
”Wa 'alaikum salam, Pak Fadil.” Burhan bersalaman dengan Fadil, pengacara dari Marzuki.
”Saya tidak perlu memperkenalkan diri saya lagi. Tentunya, Pak Burhan sudah mengenal siapa saya.”
”Hahaha, Pak Fadil bisa bercanda juga. Em...mari Pak, kita bicara di dalam rumah saja. Tidak baik kita hanya berdiri dan berbicara di sini.” Burhan mengajak Fadil masuk ke dalam rumah.
”Iya, Pak Burhan. Alangkah bagusnya seperti itu.” sahut Fadil.
”Iya. Mari-mari, mari masuk.” ajak Burhan, ia melangkah masuk ke dalam rumah, Fadil menyusul di belakangnya. Tria dan Karmila ikut masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, ruang tamu.
”Mari duduk, Pak Fadil.” Burhan menunjuk kursi sofa untuk Fadil. Ia sendiri telah duduk. Tria juga duduk di kursi panjang bersama Burhan. Fadil segera duduk di kursi sofa tunggal.
”Bagaimana, Pak Fadil? Apa tujuan Bapak datang kemari?” Burhan melihat map yang baru saja di keluarkan Fadil dari dalam tas. Ia bisa menebak apa isi dari map tersebut.
”Saya datang kemari untuk membicarakan tentang surat wasiat yang dituliskan oleh almarhum pak Marzuki. Sebelum sakit beliau bertambah parah, beliau membuat surat wasiat untuk mu, Pak Burhan.” Fadil menyimpan map itu di atas meja.
Karmila baru datang dari arah dapur dengan membawa nampan berisi minuman.
”Silahkan di minum kopinya, Pak Fadil.” Karmila meletakkan secangkir kopi di hadapan Fadil. Ia juga membagikan kopi kepada Burhan, suaminya. ” Pa, kopinya.”
”Iya. Terima kasih, Bu Karmila.” Fadil tersenyum ramah sambil meraih cangkir kopi tersebut. Ia meminumnya satu teguk, dua teguk, tiga teguk, lalu ia letakan kembali cangkirnya di atas meja.
”Sama-sama, Pak Fadil.” Karmila duduk di samping Tria.
”Pak Burhan, untuk mempersingkat waktu, saya langsung saja membacakan isi surat wasiat dari almarhum ya.” Fadil menggeser cangkir kopinya sedikit, ia membuka lembaran map.
”Ah, iya. Silakan, Pak.” Burhan mempersilahkan. Ia dan Karmila sudah tidak sabar lagi ingin mendengar apa isi dari surat wasiat tersebut.
”Saya, Marzuki bin Abdul yang bertanda tangan dibawah ini, memberikan seluruh warisan harta ku kepada putriku satu satunya, Tria Handayani Marzuki. Akan tetapi, karena anakku masih kecil dan masih berusia 12 tahun, untuk sementara, saya memilih dan menunjuk langsung Burhan untuk menjadi wali warisnya. Burhan, selaku adikku dan sebagai paman dari anakku, Tria. Setelah Tria dewasa dan berusia 20 tahun, maka warisan itu resmi menjadi hak dari Tria Handayani Marzuki. Atau jika Tria telah menikah, ia berhak mendapatkan warisannya meskipun usianya belum genap 20 tahun.” Fadil membacakan isi wasiat itu dengan jelas dan tegas.
”Itulah isi wasiat dari almarhum Marzuki.” Fadil menutup map setelah membacanya. Burhan dan Karmila tampak senang mendengar isi dari wasiat yang di tulis oleh almarhum Marzuki. Terutama Karmila, ia sangat amat bahagia mendengarnya.
Karmila sangat tahu apa saja yang menjadi kekayaan Marzuki, saudara ipar angkatnya itu. Marzuki pergi dengan meninggalkan perkebunan teh yang luasnya 5 hektar, yang hasil perbulannya sangat menggiurkan. Marzuki juga memiliki 1 bidang tanah yang di atasnya di dirikan rumah sewa dua susun. Marzuki juga memiliki mobil mewah, rumah megah, dan masih ada lagi harta yang lainnya.
”Sesuai dari isi suratnya, maka, saya akan datang lagi ke sini untuk menyerahkan langsung wasiat tersebut kepada Tria, setelah Tria berusia 20 tahun. Saya harap, Pak Burhan dapat menjalankan kewajiban Bapak sebagai wali waris dengan bijaksana. Dan mohon, kiranya Pak Burhan mempergunakan dengan bijak atas harta dari almarhum. Dan juga, merawat Tria dengan baik seperti Pak Burhan merawat kedua putri Bapak,” nasehatnya untuk Burhan.
”Baik, Pak Fadil, saya akan menjalankan kewajiban saya dengan baik dan akan merawat Tria dengan baik pula.” Burhan dengan percaya dirinya menyanggupi tanggung jawabnya.
”Baik. Pak Burhan, ini ada beberapa aset yang telah di tandatangani oleh almarhum Marzuki, silahkan Bapak pelajari.” Fadil memberikan beberapa buah map yang berisi aset Marzuki kepada Burhan.
”Baik, Pak Fadil, saya akan mempelajarinya.” Burhan mengambil dan membukanya. Ia membaca sekilas apa yang tertulis di sana. Burhan sangat senang karena ia sebagai kepala dari perkebunan dan juga sebagai kepala dari beberapa usaha lainnya yang dilakoni oleh Marzuki.
”Pak Burhan, urusan saya sudah selesai. Saya permisi dulu, Insya Allah, saya percaya Bapak akan merawat Tria dengan baik dan memberikan Tria kebahagiaan dalam keluarga Bapak.” ucap Fadil. Ia memasukkan kembali surat wasiat yang di bacanya tadi ke dalam tasnya. Ia menghabiskan kopinya.
”Hahahaha! Pak Fadil ini bicara apa? Tentunya saya akan menjaga dan memberikan kebahagiaan untuk Tria. Tidak ada perbedaan antara anak kandung saya dan anak dari abang saya. Saya akan merawat dan membesarkan mereka bertiga dengan adil.” sahur Burhan.
Fadil mengangguk dan tersenyum, tapi... entah mengapa hatinya merasa perkataan Burhan bertentangan dengan nalurinya.
Pasti ini hanya perasaan ku saja! Marzuki percaya pada Burhan, makanya ia menitipkan Tria padanya, bukan padaku. Jadi...aku juga harus percaya pada Burhan. benak Fadil.
”Syukurlah jika begitu. Saya tidak perlu khawatir lagi tentang Tria,” Fadil melihat Tria sebentar lalu, ia kembali melihat Burhan. ”saya permisi dulu,” pamitnya. Ia berdiri.
”Bu Karmila, terima kasih atas kopinya. Pak Burhan, kita akan bertemu lagi delapan tahun yang akan datang,” lanjut Fadil berucap.
”Baik, Pak Fadil. Terima kasih atas waktu Bapak berkunjung kemari.” Burhan mengulurkan tangannya, Fadil menyambut tangan Burhan dengan tersenyum. Mereka saling berjabat tangan.
Fadil kembali melihat Tria dan berkata, ”Tria, bisa antar Paman sampai di depan rumah?”
Tria melihat Fadil sebelum akhirnya ia menjawab, ”Bisa, Paman.”
Tria segera berdiri menyambut tangan Fadil yang terulur. Mereka melangkah bersama keluar dari rumah.
Karmila mengikuti langkah mereka. Ia penasaran kenapa Fadil mengajak Tria yang mengantarnya ke depan, bukan dirinya ataupun Burhan.
Di teras rumah Burhan.
Fadil menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan menghadap Tria. Bahkan ia berjongkok agar tingginya sejajar dengan tinggi badan Tria, saat melihat Karmila di bibir pintu, sedang melihat mereka.
Fadil menggenggam tangan Tria dan memberikan kartu ke tangan Tria. Tria sempat menolak, tapi, Fadil menggenggam tangan Tria yang memegang kartu tersebut. Fadil memeluk Tria.
”Ini adalah kartu kredit milik ayahmu, kamu pegang lah. Jangan berikan kartu ini kepada mama dan papa mu. Juga... jangan sampai mereka tahu tentang kartu ini. Kartu ini adalah milikmu, kamu akan membutuhkannya nanti. Kartu ini tanpa batas, tiap bulannya akan terisi secara otomatis dari setengah hasil perkebunan ayah mu. Kamu mengerti?!” bisik Fadil di telinga Tria.
Tria mengerti, ia mengangguk dan menggenggam erat kartu yang ada di tangannya itu.
Fadil melepas pelukannya dan berdiri. Ia tersenyum melihat Karmila yang masih berada di bibir pintu. Ia kembali melihat Tria dan tersenyum padanya. ”Jaga dirimu, Tria. Paman pergi dulu,” pamitnya.
”Iya, Paman. Hati-hati di jalan, Paman.” sahut Tria.
”Iya, sayang.” Ia membelai kepala Tria. Fadil melangkah keluar dari kediaman Marzuki, yang kini di huni oleh Burhan. Karmila memutar badan kembali masuk ke dalam rumah.
Tria menyimpan kartu yang di berikan Fadil ke dalam sak celananya. Ia masuk ke dalam rumah.
*
*
*
Di dapur, kediaman Burhan.
”Auh sakit!” Tria menjerit kecil, jarinya teriris pisau saat memotong sayur. Hal itu juga menyadarkannya dari ingatan masa lalunya.
Tak terasa, air matanya jatuh membasahi pipinya, mengingat bagaimana kehidupan yang ia jalani sekarang. Semua berbanding terbalik dari kata-kata Burhan yang di ucapkannya dulu di hadapan Fadil, pengacara ayahnya.
Beruntung, ia memiliki kartu limited milik ayahnya yang di berikan oleh Fadil kala itu. Tria menggunakan uang itu untuk membangun sebuah Kafe sederhana ketika ia menginjak kelas 1 SMA. Kafe tersebut di jaga oleh Aisyah, adik sepupu dari Nani yang kebetulan tidak sekolah lagi. Tria juga menggunakan kartu itu untuk menambah uang jajannya.
”Hidup bersama orang tua angkat dan orang tua kandung... rasanya... memang berbeda....”
Tria tertawa kecil, mengejek dirinya sendiri. ”Ternyata, mama menelfon, menyuruh ku pulang hanya untuk mengerjakan ini? Memasak untuk kedua putrinya yang sudah besar itu.” Ia menghela nafas kesal.
”Tria, Cepat! Aku sudah lapar! Lama bangat sih, masaknya!” Terdengar suara teriakan Yuli dari meja makan.
”Iya, kak! Bentar lagi, tinggal sedikit lagi masakannya sudah selesai!” jawab Tria. Ia menghapus air mata dan melanjut memasak.
Lima menit kemudian, masakan Tria telah selesai. Ia menata semua masakannya di atas meja makan.
”Kak, makanlah,” ucapnya pada Yuli. Tria sudah duduk dan menyendok makanan untuknya sendiri.
”Masak makanan segini saja...lama banget!” Omel Yuli dengan ketus. Ia mengambil makanannya. Tria hanya menghela nafas sabar, menanggapinya.
”Panggilkan Rahma sana! Bilang ke dia untuk turun makan, aku menunggunya,” titahnya pada Tria.
Tria menghentikan suapannya, ia menyimpan kembali sendok itu di atas piring. Ia berdiri melangkah keluar dari dapur. Ia pergi ke kamar Rahma.
Di kamar Rahma.
Tok tok tok! ”Kak, kak Rahma,” panggilnya. Namun, tak ada sahutan dari sang empu kamar. ”Mungkin dia masih tidur.”
Ceklek! Tria membuka pintunya dari luar, ternyata pintunya tidak terkunci. Ia masuk ke dalam kamar, ia melihat Rahma yang masih tertidur. Ia berjalan mendekati Rahma.
”Kak Rahma, ayo bangun untuk sarapan.” Tria membangunkan Rahma dengan menggoyangkan bahu Rahma, dengan pelan.
”Apaan sih! Ganggu aja!” Gerutu Rahma dengan kesal. ”Sana sana sana! Keluar!” Bukannya bangun, Rahma justru mengusir Tria.
Tria menghela nafas. ”Kak Rahma, ayo bangun, kita makan dulu! Kak Yuli sudah menunggu mu di meja makan,” ucapnya lembut membujuk Rahma.
”Berisik!” sahut Rahma ketus. Terpaksa ia bangun, ia turun dari ranjang dengan kesal. ”Beresin kamar ku,” perintahnya. Ia keluar dari kamar. Tria kembali menghela nafas.
Mengapa dia kesal dan marah? Aku seperti pembantu di rumah ku sendiri. Dan ini sudah berjalan selama beberapa tahun ini semenjak ayah ku meninggal dan tinggal bersama mereka. benaknya.
Ia membersihkan kamar Rahma, ia tidak berani menolak untuk tidak mengerjakannya. Ia takut akan kena marah lagi sama Karmila jika ia menolak.
”Oh, ya Allah, begini kah jalan hidup dari takdirku? Kenapa takdir begitu mempermainkan ku? Apa aku tidak pantas untuk hidup bahagia?”
Tria telah selesai membersihkan kamar Rahma. Ia kembali ke dapur, bergabung kembali di meja makan melanjutkan makannya yang tertunda.
”Sudah beresin kamar ku?” tanya Rahma.
”Sudah, Kak.”
Mereka makan dalam diam. Setelah selesai makan, Rahma dan Yuli pergi menonton televisi di ruang keluarga. Sedangkan Tria, wanita itu membersihkan dapur dan meja makan.
”Alhamdulillah, akhirnya selesai juga.”
Meskipun Tria sering dibentak dan dimarahi oleh keluarga angkatnya, ia tidak pernah membenci ataupun dendam pada mereka. Begitulah Tria, ia diajarkan kebaikan, ketulusan, dan keikhlasan dari orang tua kandungnya, Nur Hasanah.
Tria mengingat kembali pesan Nur Hasanah, ibu kandungnya kepadanya, saat ia baru masuk kelas 1 SD.
”Tria, sayang. Anak Mama, dengarkan pesannya Mama baik-baik, ya.” ucap Nur Hasanah, ibunya Tria.
”Iya, Mama. Tria akan dengar.” sahut Tria kecil.
”Tria, anak Mama yang cantik. Ingat, kita harus menjadi orang yang baik, kita tidak boleh jahat sama orang, meskipun orang itu berbuat jahat kepada kita. Dan kita harus tulus juga ikhlas dalam menjalani ataupun melakukan sesuatu. Karena, apapun yang kita alami, kita lalui, itu adalah ujian dari Allah. Dan juga takdir yang sudah ditentukan untuk kita. Ingatlah, Nak! Allah tidak akan menguji hamba-Nya di batas kemampuannya. Dan orang yang sudah jahat pada kita, biarlah Allah yang akan membalasnya. Jadi... bersabarlah dalam menghadapi apapun.” Nur Hasanah menasehati Tria.
”Iya, Mama. Tria akan selalu ingat pesan Mama ini.” Tria memeluk ibunya, ” Tria sangat sayang pada Ibu dan ayah.”
”Ibu dan ayah juga sangat sayang pada mu, Nak.” Nur Hasanah balas memeluk Tria dengan erat.
Tria tersenyum sendiri saat mengingat kembali momen berdua dengan ibunya. ”Aku merindukan ibu,” gumamnya sedih.
Tria kembali ke kamar setelah ia membersihkan dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Annie
hmmm kan banyak duit,beli aza knp hrs nunggu tria masak
2021-07-05
4
coco
mampir LG kk
2021-07-04
1
Fathia Nur Jannah
Lanjut.
2021-04-24
1