Sore hari di halaman belakang rumah kediaman Burhan.
Tria duduk termenung sambil menikmati secangkir teh dan menghirup aroma segar dari bunga mawar yang ditanam oleh almarhum ibunya.
Sesekali, ia menengadah melihat ke atas langit, seakan ia melihat wajah ibu dan ayahnya terpampang jelas di atas sana, yang sedang menatap dirinya sambil tersenyum. Namun senyumnya terlihat ada kecemasan di sana.
Ayah, ibu, Tria janji, Tria akan hidup dengan bahagia untuk ayah dan ibu di sana. Jangan cemaskan Tria yang ada di sini. Ayah, ibu, Tria akan baik-baik saja! benak Tria.
Ting! Bunyi notifikasi nada pesan mengalihkan perhatiannya. Ia melihat ke layar handphone ”satu pesan dari Mini” Tria membuka, membaca, dan membalas chat dari temannya itu.
”Tria, sesuai dengan keputusan bersama, besok kita adakan liburan masih di villanya Rio.” Mini
”Oh, ok sayang! Terima kasih atas infonya.” Tria
”It's ok, darling! Di tunggu kedatangan mu besok, ya!” Mini
Belum sempat Tria membalas chat Mini, Mini kembali mengiriminya pesan.
”Oh, iya, tadi kenapa di suruh pulang?” Mini.
”Tidak apa-apa, hanya ada sedikit keperluan keluarga saja!” Tria membalas chat Mini dengan berbohong.
”Kamu gak sedang berbohong?” Mini
Dengan cepat Tria kembali membalas chat Mini.
”Tidak, sayang!” Ia menambahkan emot senyum, agar lebih meyakinkan Mini jika ia tidak berbohong.
”Oh, ok, kalau begitu. Besok datang ya, kami tungguin loh! Dan start nya dari rumah masing-masing, kamu... Rio yang akan pergi menjemputmu besok.” Mini
”Ok.” balas Tria.
Chat dengan Mini telah selesai, ia masih tetap duduk di tempatnya, masih mendengarkan musik dari earphone.
Apa mama dan bapak akan mengizinkan ku pergi besok? Meskipun mereka tidak mengizinkan, aku akan tetap pergi! Itu adalah acara kami dan mungkin saja menjadi momen terakhir kami untuk bersama.
Em, bagaimana nanti kedepannya kami ya? Jalan apa yang akan di tempuh sama teman-teman ku? Apakah tetap akan kuliah? Atau malah berkerja? Atau... mungkin akan menganggur?
Pikirannya teralihkan seketika ketika terbesit wajah Rio di pelupuk matanya. Di matanya sudah terbayang akan indahnya kebersamaan mereka saat di villa nanti. Di benaknya juga sudah terpikirkan pakaian apa saja yang akan ia bawa ke sana untuk besok.
Ia tidak pernah berkunjung di villa Rio sebelumnya, tapi, ia bisa mendeskripsikan suasana di vila dari cerita-cerita yang di utarakan oleh Nani dan Mini padanya. Juga melihat keindahan villa Rio dari foto-foto yang di perlihatkan oleh Mini dan Nani, foto-foto setahun lalu, foto liburan mereka saat selesai ulangan penaikan kelas 3.
Mengapa Tria belum pernah pergi ke villa Rio? Apakah dia tidak di ajak pergi ke sana? Bukan! Bukan Tria tidak pernah di ajak liburan ke sana, ia sering di ajak berlibur oleh teman-temannya di setiap akhir pekan.
Tetapi, di saat ia meminta izin kepada orang tuanya untuk berlibur, ia selalu tidak di izinkan. Alasannya hanya karena ia seorang perempuan dan tidak ada yang akan menjaganya selama ia berada di villa. Meskipun Tria bukan lah wanita sendirinya, masih ada Mini dan Nani di sana. Tria mengingat sewaktu ia meminta izin untuk pergi liburan pada tahun lalu.
”Mama, Papa, teman-teman Tria akan mengadakan liburan ke Villa. Tria ingin ikut liburan ke sana besok.”
”Tidak!” Karmila langsung menolak, tidak mengizinkan Tria pergi. Wajah Tria berubah sedih.
”Tapi...Ma...” Tria terdiam melihat tatapan tajam dan wajah marah Karmila yang menatapnya.
”Kamu ingin pergi ke villa dengan teman lelaki mu? Kamu mau bikin malu kami, hah?! Kamu ini perempuan! Kalau mereka berbuat hal senonoh pada kamu, siapa yang mau bantuin kamu? Siapa yang mau menolong mu? Kamu tidak boleh pergi!!”
Begitulah ucapan Karmila di setiap dirinya meminta izin untuk berlibur bersama temannya.
Tria menghela nafas. Ia meminum kembali teh nya.
Tidak! Bukan itu alasan yang sebenarnya mengapa Karmila melarang ku pergi. Semua itu karena... jika aku pergi, siapa lagi yang mengurusi pekerjaan rumah? Dapur? Yang memasak? Siapa yang akan mencuci piring kotor? Pakaian kotor? Yuli? Rahma? Mereka jangan kan mencuci piring dan memasak, pakaian kotornya saja tidak bisa di cuci sendiri. benak Tria.
”Seandainya ada ibu dan ayah di sini, apakah ayah dan ibu juga tidak akan mengizinkan ku pergi berlibur dengan teman-teman ku?” Pandangannya melihat langit yang menjulang tinggi itu.
”Ayah dan ibu pasti mengizinkan ku. Karena mereka percaya padaku.”
Pikirannya kembali terbayang akan kasih sayang yang di berikan oleh ayah dan ibunya. Bagaimana ia di manja, dan di ajarin banyak hal oleh kedua orang tua kandungnya itu.
Rumah yang dulu membawa kebahagiaan untuknya, rumah yang di bangun oleh ayahnya, yang di isi dengan keharmonisan, kebahagiaan oleh ibunya, yang selalu penuh akan canda dan tawa bahagia yang mereka ciptakan.
Kini, rumah itu ibarat neraka bagi Tria. Dalam rumah itu terisi dengan kesedihan dan tangisan yang ia tumpahkan sembunyi-sembunyi di dalam kamarnya sendiri. Ia tinggal di rumah itu ibarat pembantu. Ia di jadikan pembantu dalam rumahnya sendiri oleh orang tua angkat dan saudara angkatnya.
Kedua orang tua angkatnya ibarat seorang raja dan ratu, yang di setiap ucapannya harus di turuti. Kedua saudara angkatnya ibarat seorang putri, yang setiap harinya harus di urusi dan di layani.
Mengapa Tria tidak melawan mereka? Apakah Tria terlalu lemah menghadapi kekerasan mereka?
Bukan! Tria tidak lemah! Ia pernah melawan mereka, membela diri, akan tetapi, apa yang di dapatnya dari pembelaan dirinya sendiri? Ia di usir dari rumahnya sendiri.
Tria teringat kembali peristiwa memilukan itu.
”Ma, kenapa cuma Tria yang mengerjakan pekerjaan rumah? Masih ada Yuli, Rahma di dalam rumah ini, tapi mengapa hanya Tria yang bekerja, Ma? Untuk apa mereka berdua, Ma? Apa hanya untuk berdiam melihat ku bekerja?” Tria sangat kecewa dengan perlakuan tidak adil Karmila kepada dirinya dan saudara angkatnya.
Ia sudah tidak sabar lagi di perlakukan seperti pelayan di rumahnya sendiri. Sudah hampir dua bulan semenjak keluarga Burhan tinggal bersamanya, hanya dirinyalah yang selalu bekerja mengurusi pekerjaan rumah. Menyapu, memasak, mencuci pakaian kotor, tanpa ada yang membantunya. Apalagi dia masih kecil.
”Anak kurang ajar! Kamu berani bicara begitu padaku?!” Ucap Karmila dengan marah. ”Apa kamu tidak melihat setiap kali Rahma dan Yuli pulang dari sekolah, mereka pergi lagi untuk melakukan tugasnya? Mereka capek! Mereka sibuk, tidak seperti kamu yang hanya duduk diam saja di rumah!!”
”Tria juga capek, Ma!! Bukan hanya mereka berdua yang punya kesibukan, Tria juga memiliki kesibukan sendiri! Meskipun Tria capek, Tria sempatkan mengerjakan pekerjaan rumah! Tapi bagaimana dengan Rahma dan Yuli? Tidak bisa kah mereka berdua membantu ku dalam pekerjaan di dalam rumah?” Tria tak kalah marahnya dari Karmila.
Karmila di buat geram oleh Tria. ”Apa kesibukan mu, Hah?! Sesibuk apa kamu? Anak kelas 6 SD saja, apa yang kamu sibukkan?!”
Karmila menunjuk kedua anaknya yang lagi duduk di kursi dengan santai melihat pertengkaran antara Karmila dan Tria.
”Lihat Yuli dan Rahma! Mereka berdua baru namanya punya kesibukan!! Mereka kursus untuk bisa mengembangkan usaha papamu! Dan membantu ku mengurusi kontrakan milik ayahmu!! Dan kamu, apa yang sudah kamu lakukan untuk usaha ayahmu ini? Kamu hanya duduk di rumah saja bilang sibuk!”
Yuli dan Rahma lebih tua dari Tria. Yuli duduk di bangku kelas 2 SMP, dan Rahma, ia duduk di bangku kelas 1 SMP. Dengan menggunakan uang dari Marzuki, Rahma dan Yuli mengikuti kursus. Mereka mengambil beberapa materi dalam kursus seperti, melukis, kursus bahasa Inggris dan lainnya. Mereka berdua selalu pulang di malam hari dan hal itu tidak pernah di permasalahkan oleh Burhan dan Karmila.
Rahma dan Yuli memang ingin kursus dari dulu, tapi karena kondisi keuangan mereka yang kekurangan, mereka urungkan niatnya itu. Tetapi, setelah mereka tinggal bersama Tria dan menikmati harta Marzuki, mereka berdua kembali membujuk kedua orang tuanya untuk mengambil kursus.
Bahkan di hari Minggu pun Rahma dan Yuli tidak pernah membantu Tria melakukan pekerjaan rumah. Mereka justru pergi memanjakan tubuh mereka ke salon dan shopping.
Tria tidak mempermasalahkan uang ayahnya yang keluar untuk membiayai kehidupan mereka, yang ia sayangkan mengapa dirinya di jadikan pembantu di rumah sendiri untuk mereka?
”Ma, ini rumah ku! Aku bukan pembantu di rumah ini! Apa Mama lupa, apa yang pernah paman Fadil ucapkan? Bukankah bapak dan Mama berjanji untuk merawat dan membuat Tria bahagia?” Nada suara Tria sedikit rendah.
”Tapi apa yang sudah Mama lakukan padaku?! Kalian malah membuatku seperti seorang pembantu di rumah ku sendiri! Kalian membedakan aku dengan anak kandung kalian,” ucapnya lagi dengan nada tinggi. Ia menatap marah dan tajam pada Karmila. Ia menahan agar air matanya tidak tumpah saat ini, saat ia meluapkan amarah, kekesalan, dan kecewanya kepada keluarga Burhan.
Plak!! Karmila menampar wajah Tria dengan keras. Tria memegang wajahnya yang perih, matanya berkaca-kaca, wajah marahnya semakin jelas terlihat menatap Karmila.
”Anak sekecil kamu berani bicara seperti itu padaku?! Membentak ku?! Kamu harusnya bersyukur, kami masih mau merawat kamu, membesarkan, dan menemani kamu tinggal di rumah ini,” ucapnya.
”Apakah itu ajaran dari orang tuamu?! Mereka mengajarkan keburukan padamu?” Karmila malah menyudutkan orang tua kandung Tria.
”Jangan menyebut kedua orang tuaku tidak mengajariku dengan baik!! Orang tuaku sangat baik mendidik ku, jauh lebih baik dari kalian!!” Tria membela orang tuanya. Rasa sakit akibat tamparan Karmila, tidak sesakit atas tuduhan yang bukan-bukan pada orang tuanya.
Plak!! ”Anak kurang ajar!!” Karmila kembali menampar pipi Tria.
”Ada apa ini, Ma? Kenapa kalian ribut? Mengapa menampar Tria, Ma?” Burhan menahan tangan Karmila yang ingin menampar pipi Tria lagi.
Burhan bergegas masuk ke dalam rumah saat mendengar suara pertengkaran dari dalam rumah. Saat ia masuk, ia melihat Karmila menampar wajah Tria. Karmila sempat terkejut dengan datangnya Burhan yang tiba-tiba, tetapi seperti biasa, ia dapat menaklukan Burhan.
”Ini nih Pa, anak abang mu! Dia tidak tau berterima kasih kita masih mau merawatnya dan mengurus usaha ayahnya, dia malah berani membentak ku!!” Karmila memprovokasi Burhan.
”Berani kamu membentak Mamamu, Tria?” Burhan seakan tidak percaya. Ia tahu Tria adalah orang lembut, baik, dan penurut.
Tria menggeleng. ”Tidak, Pa! Tria cuma__” Ucapannya langsung di sela oleh Karmila.
”Cuma apa? Hah! Cuma apa?” Karmila membentak Tria. Ia tidak akan membiarkan Tria untuk menjelaskan yang terjadi dari awal. Burhan terlihat kecewa terhadap Tria.
”Kamu keberatan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian! Lihat Papamu, seharian pergi mengurus perkebunan ayahmu! Mama mu ini mengurus kontrakan ayahmu! Kamu yang hanya duduk manis dan menerima hasilnya di rumah, untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja kamu keberatan?! Kamu malah membentak Mama! Mengatakan Yuli dan Rahma pemalas! Kami tidak ada baiknya di matamu,” Karmila terus mencerca Tria, semakin memprovokasi Burhan. Tria terdiam menahan marah.
”Kamu juga mengungkit perjanjian antara pak Fadil dan bapakmu! Apa kami tidak merawat kamu dan menjaga Kamu dengan baik selama ini?”
Tria masih terdiam, air matanya mulai turun membasahi pipinya. Ia tidak menyangka, Karmila akan sekejam itu padanya.
Burhan menggeleng kepala melihat Tria dengan tatapan kecewa. Ia sudah terhasut pada ucapan Karmila yang memojokkan Tria.
”Pa, anak ini harus diberi pelajaran supaya tidak semakin menunjak ke depannya!!” Ucap Karmila lagi. Burhan terdiam.
”Pergi Kamu dari rumah ini! Kumpul semua pakaian Kamu dan angkat kaki Kamu dari rumah ini!!” Karmila mengusir Tria dari rumah.
Tria terkejut, ia tidak menyangka ia akan di usir dari rumahnya sendiri. Bahkan Burhan, papa angkatnya itu tidak membelanya. Burhan juga terkejut, ia tidak menyangka Karmila tega akan mengusir Tria dari rumah Tria sendiri.
Tria menggeleng. ”Tidak, Ma! Jangan usir Tria, Ma! Maafkan Tria, Ma! Maaf!” Ia memohon maaf pada Karmila sambil menangis dan bersimpuh di kaki Karmila agar ia tidak di usir dari rumah.
”Ma, jangan begitu! Cukup di marahi dan di beritahu saja! Jangan mengusirnya, dia akan tinggal di mana jika keluar dari rumah?” Burhan tidak sampai hati melihat Tria diusir dari rumahnya sendiri. Karena Tria tidak memiliki keluarga lagi selain dirinya.
Karmila yang sudah geram, bertambah marah ketika Burhan, suaminya membela Tria. Karmila berjalan ke arah Tria, menarik tangan Tria dengan kasar sampai di depan pintu rumah.
Karmila mendorong tubuh Tria dengan keras hingga Tria terjatuh di lantai, di teras rumah.
”Pergi dari rumah ini!!”
Karmila menutup pintu rumah dan menguncinya dari dalam. Tria bangun dan berlari ke arah pintu rumah.
”Tidak! Mama! Jangan tutup pintunya! Mama buka pintunya!!” Tria menangis sambil menggedor-gedor pintu rumah.
”Mama, buka pintunya! Maafin Tria, Ma! Biarkan Tria masuk ke rumah, Ma! Mama...” Ia selalu meminta maaf dan memohon agar di bukakan pintu.
Tapi sayang... orang di dalam rumah seakan me-nuli mendengar teriakan Tria. Tria lelah... selama ia mengetuk pintu, tidak seorang pun yang datang membukanya.
Ia duduk di sudut rumah, menangis tersedu-sedu, memikirkan nasibnya kini. Tanpa sadar... ia tertidur bersandar di dinding, di tempat duduknya karena lelah saat mengeluarkan tenaga menggedor-gedor pintu. Ia juga lelah menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Denni Siahaan
"semoga dapat ganjaran Karmila
2023-07-31
0
Rosita Husin Zen
ini certa nya tetantang keserakahan licik saudra angkat yg tidak tau diri dan tidak punya malu dengan mengambil hak punya orang lain astagfirllohhalazim
2022-06-20
1
Rosna Sari
si BurungHantu gak berterima kasih sm Tria.....harta bapak Tria dikuasi anaknya disiksa....gak ingat dulunya dia siapa..kalau gak ditolong bapaknya Tria sdh mati bonyok lu saat itu...
2021-09-03
1