Di perjalanan mengantar Tria pulang.
”Bagaimana, Tria? Apa sekarang kamu sudah bisa menerima cintaku?” Bagas memberanikan diri untuk bertanya setelah lama ia dan Tria terdiam.
Dia selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan cintanya yang kesekian kalinya pada Tria. Selama ini di saat dia mengatakan perasaannya, Tria selalu menolak dengan alasan masih sekolah.
”Maaf, Mas. Aku gak bisa membalas perasaan Mas.” Tria menunduk saat Bagas melihatnya dari kaca spion.
”Kenapa? Apa ada pria lain yang sudah mengisi hatimu?”
Tria terdiam. Iya, Mas. Ada seorang pria yang sudah mengisi hatiku dan pria itu adalah temanku sendiri, SATRIO NUGRAHA. Dia yang sudah mengisi relung hatiku benaknya.
Ciit! Bagas mengerem motor secara tiba-tiba.
”Astaghfirullah, Mas! Mengagetkan aja!” Tria memukul punggung Bagas dengan marah. Wajahnya nampak kesal, ia hampir terjatuh jika saja tidak memegang lengan Bagas. Ia sangat terkejut saat Bagas menghentikan motornya secara mendadak.
Bagas tertawa. ”Maaf, Maaf! Aku minta maaf, habisnya kamu gak jawab pertanyaan aku. Kamu justru melamun, apa yang kamu lamun kan?” tanyanya.
”Uda, Mas! Jalan lagi... nanti aku telat nyampe di rumah,” Tria masih berwajah kesal.
”Jawab dulu pertanyaan ku, baru aku lanjut jalan.” Bagas turun dari motor. Membuat Tria juga ikut turun dari motor.
Tangan Bagas memegang kedua bahu Tria seraya bertanya, ”Apa sudah ada pria lain yang mengisi hatimu?” Bagas serius menatap Tria. Selama beberapa menit mereka saling menatap.
Tria menepis tangan Bagas. ”Apaan sih, Mas! Gak ada siapapun yang mengisi hatiku. Aku hanya fokus saja dengan urusan sekolah ku selama ini...”
”Sekarang kan kamu sudah lulus. Jadi... bisakah kamu membalas perasaan ku sekarang?” Bagas menatap penuh harap pada Tria.
”Maaf, Mas. Aku tetap tidak bisa membalas perasaan Mas,” jawab Tria dengan tegas.
Tatapan Bagas berubah kecewa menatap Tria, ini sudah kesekian kalinya Tria menolaknya.
”Apa yang kurang dari ku, Tria? Tolong katakan padaku, apa yang kurang dariku, yang membuat mu tidak puas padaku?”
”Gak ada, Mas. Gak ada yang kurang darimu, kamu tampan, baik, sempurna. Tapi... maaf, aku yang tidak bisa menerima perasaan Mas. Menyerah lah Mas dengan perasaan mu. Itu akan menyakiti hati Mas sendiri...”
”Aku gak akan menyerah, Tria! Gak akan! Aku akan berusaha lagi untuk membuat mu menyukai ku dan mau menerimaku. Jangan melarang ku untuk tidak mencintai mu, aku tidak bisa....”
Tria terdiam melihat Bagas, ia bingung harus bagaimana lagi untuk membuat Bagas menyerah padanya.
”Mas, Mas tidak usah berusaha apapun. Tria gak akan bisa membalas perasaan Mas sampai kapan pun, kita hanya sahabat, jangan berharap lebih dari ini, Mas...”
Bagas menggeleng. ”Tidak, Tria. Aku akan tetap berusaha meyakinkan mu kalau aku layak untuk mu untuk menjadi kekasih mu.”
Tria dan Bagas masih saling memandang. Entah ucapan seperti apa yang harus di ucapkan Tria agar pria di depannya itu berhenti berharap banyak padanya.
”Kita lanjut jalan aja, Mas. Aku ingin cepat sampai di rumah. Kalau Mas gak mau... biar aku balik naik ojek saja.”
”Ayo naik, aku antar.” Bagas naik ke atas motor.
Tria juga kembali naik ke atas motor. Bagas melanjutkan perjalanan nya mengantar Tria pulang. Hening! Itulah suasana sekarang yang menemani perjalanan mereka berdua.
Bagas menghentikan motor tepat di depan pagar rumahnya Tria, suasana masih tetap hening. Tria turun dari motor, melepas helm dan memberikannya pada Bagas. Bagas mengambilnya tanpa bersuara.
”Terima kasih, Mas. Sudah mengantar ku pulang, dan maaf, aku sudah menyakiti hatimu dengan menolak mu kesekian kalinya.” Ucap Tria namun, Bagas tidak merespon ucapan maafnya. Pria itu malah menatapnya dengan sedih.
”Mas, aku tahu kamu sedang marah padaku. Aku menerima kemarahan mu. Sekali lagi aku ucapkan permohonan maaf ku. Maaf, sudah membuat mu marah dan kecewa.” Ucap Tria lagi.
Bagas masih terdiam menatap Tria. Tria menyerah dengan diamnya Bagas, ia memutar badan, membelakangi Bagas.
”Aku akan maafkan kamu... asal kamu menerima ku menjadi kekasih mu.”
Tria kembali menghadap Bagas, melihat pria itu dengan bingung. ”Maaf, aku tidak bisa.” Ia memutar badan dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah.
Tria melihat Bagas dari balik jendela rumah. Ia berkata dalam benaknya, Maaf Mas, aku tidak bisa membalas perasaan kamu. Sedangkan perasaan aku saja untuk Rio hanya tersimpan di relung hati. Hidupku di atur oleh kedua orang tua angkat ku. Dan mas sendiri sudah ku anggap kakak untuk ku. Bagaimana bisa aku menerima Mas sebagai pacar? Sedangkan aku juga tidak menyukaimu.
Tak sadar setetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Entahlah, hal apa yang membuat gadis itu menangis? Apakah karena tidak bisa membalas perasaan Bagas? Atau karena orang tua angkatnya? Ataukah perasaannya sendiri yang terpendam untuk Rio?
”Baru pulang kamu?” Terdengar suara Yuli dari belakangnya.
Tria segera menghapus air matanya, ia berbalik menghadap Yuli. ”Iya, kak. Aku baru saja pulang. Mama di mana kak? Kenapa Mama memintaku untuk segera pulang?”
”Mama lagi keluar. Cepat sana pergi ke dapur, buruan masak! Aku dan Rahma sudah sangat lapar.” Yuli menjawab ketus. ”Siapa yang kamu lihat dari jendela?” Ia penasaran, ia ikut melihat keluar. Tidak ada sesiapa di sana.
”Bukan siapa-siapa kak.” jawab Tria.
”Belum juga pergi ke dapur?” bentak Yuli.
”Iya, kak. Ini baru mau pergi.” Tria menurut. Ia bergegas pergi ke dapur.
Yuli dan Rahma adalah kakak angkat Tria. Mereka anak kandung dari pasangan Karmila dan Burhan, orang tua angkat Tria.
Burhan adalah adik angkat dari almarhum Marzuki, ayah kandung Tria. Sedangkan ibu kandung Tria adalah Nur Hasanah.
Nur Hasanah meninggal ketika Tria masih duduk di kelas 3 SD. Setelah ibunya meninggal, Tria tinggal bersama ayahnya. Namun, ayahnya juga pergi meninggalkan Tria ketika ia baru masuk kelas 6 SD, karena sebuah penyakit yang di deritanya.
*
*
*
Di dapur.
Tria bergegas memasak untuk Yuli dan Rahma sekaligus memasak untuk dirinya sendiri. Ia belum sempat memakan habis makanannya saat di kantin sekolah bersama temannya tadi.
Ayah, Ibu, jika ayah dan ibu masih hidup, apakah kehidupan yang Tria jalani masih sama seperti sekarang? Ayah, Ibu, Tria merindukan ayah dan ibu. benak Tria.
Tria kembali mengingat hari sebelum dimana Marzuki, ayahnya meninggal dunia. Dengan suara yang terbata-bata dan lemah menahan rasa sakit, Marzuki memaksakan diri untuk berbicara pada Tria, membujuk anaknya itu untuk tabah menerima semuanya.
Di rumah sakit.
”Nak, A__ayah sudah ti__tidak kuat lagi menahan ra__rasa sakit ini....”
Tria menggeleng. ”Tidak, Ayah! Ayah jangan berbicara seperti itu! Ayah harus kuat demi Tria, Ayah! Demi Tria, putri Ayah satu satunya, Ayah harus kuat! Hu.. hu..hu...” Ia terisak sedih.
Tria menggenggam erat tangan ayahnya yang terlihat kurus. Ia semakin menangis melihat kondisi ayahnya yang semakin menurun.
”Ayah harus kuat hu...hu....”
Marzuki ikut menangis melihat anaknya yang menangis begitu pilu. Penyakit yang di deritanya membuatnya menyerah pada kehidupan. Ia tidak dapat menahan rasa sakitnya lagi. Pengobatan yang ia jalani tidak membuatnya kunjung sembuh.
”Ma__maaf, Nak! A__ayah sudah tidak kuat. Ra__rasa sakitnya semakin membuat Ayah menderita! A__ayah sudah tidak sanggup lagi. A__apa kamu tidak mendengar ka__kata dokter?”
Tentu saja Tria sangat ingat perkataan dokter, kalau waktu ayahnya sudah tidak akan lama lagi. Untuk kesembuhan ayahnya hanya 10 %, karena penyakitnya sudah menjalar dengan cepat dan menyerang jantung juga organ penting lainnya.
Tria menggeleng. ”Hidup dan mati bukan di tangan dokter, Ayah! Asalkan Ayah punya keinginan kuat untuk tetap hidup, Ayah pasti bisa sembuh! Tria yakin Ayah akan sembuh.” Tria menguatkan dan menyemangati ayahnya.
”A__ayah sudah tidak kuat lagi, Nak! A__ayah sudah tidak sanggup... menahan sakitnya...” Nafasnya tersengal membuat Tria terkejut dan takut.
”Ayah...!” Tria histeris.
”T__Tria, a__apa pa__paman mu su__sudah datang, Nak?” tanya Marzuki lemah, suaranya terbata-bata.
Tria menggeleng lemah. ”Belum, Ayah. Mungkin paman masih dalam perjalanan ke sini, Ayah...”
Ceklek!! Suara pintu ruangan terbuka. Tria menoleh melihat ke arah pintu. Ia melihat pamannya, Burhan berjalan masuk ke dalam.
”Ayah, Paman sudah datang.”
”Ma__mana dia? Burhan....”
”Aku disini, Bang.” Burhan memegang pelan tangan Marzuki yang kurus dan lemah. ”Bang, bagaimana keadaan mu, Bang?” Ia menatap Marzuki dengan iba.
”I__ni ka__kamu, Bu__Burhan?” Marzuki memastikan.
”Iya, Bang. Ini aku, Burhan. Aku baru saja datang, Bang. Bagaimana keadaan mu, Bang?” Tangan kanannya memegang wajah Marzuki.
Marzuki memegang tangan Burhan, menggenggamnya, genggaman yang nampak lemah.
”Bu__Burhan, sebelum a__ajalku menjemput. A__aku... aku akan menitipkan putriku, Tria ke__ke kamu. To__tolong... tolong ka__kamu rawat putriku se__seperti a__anak mu sendiri.” Marzuki terbata-bata memohon pada Burhan.
Tria menggeleng. ”Tidak, Ayah! Ayah jangan bicara sembarang! Tria gak mau Ayah pergi meninggalkan Tria... Tria gak mau Ayah....”
”Tria juga gak mau tinggal bersama paman, Ayah... Tria mau tinggal bersama Ayah... hu...hu...hu.. jangan tinggalin Tria, Ayah....” Tolaknya. Ia enggan untuk tinggal bersama pamannya.
Marzuki memaksakan senyum melihat anaknya. Ia sangat yakin jika Burhan bisa menjaga dan merawat anaknya dengan baik. Meskipun Burhan hanyalah adik angkatnya saja.
”Kamu bicara apa, Bang? Kamu harus sembuh, Bang. Kamu harus kuat demi putrimu, Abang. Sembuh lah, rawat Tria hingga besar, Bang. Tria membutuhkan mu sebagai ayahnya.” Burhan juga menolak halus permintaan Marzuki.
Marzuki melihat Burhan, pandangannya sudah buram. Rasa sakit semakin menjalar di urat nadinya, lebih sakit dari yang pertama.
Tangannya gemetar meraih tangan putrinya dan meletakkan tangan Tria di atas telapak tangan Burhan.
”Tria, mu__mulai sekarang pa__pqnggil papa untuk Paman mu,” pintanya. Tria menggeleng, tangisnya semakin menjadi.
”Bu__Burhan, to__tolong ra__awat pu__putri ku...Bu__Burhan,” pintanya lagi pada Burhan di nafas terakhirnya. Tangannya terkulai lemas, terpisah dari genggaman Burhan.
Tubuh Burhan melemas seketika, ia tidak menduga pertemuannya kali ini dengan Marzuki merupakan pertemuan yang terakhir kalinya.
”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapnya. Ia meletakan kedua tangan Marzuki dengan benar di atas dada Marzuki. ”Aku berjanji akan merawat putri mu dengan baik, Bang...”
”Paman, apa yang Paman lakukan? Ayah ku masih hidup! Paman jangan mendoakan Ayahku sembarangan!” Tegur Tria dengan marah.
Burhan memeluk tubuh kecil Tria. ”Ayahmu sudah pergi, Nak. Ayahmu sudah tiada, sudah meninggalkan kita...”
Tria menggeleng. ”Tidak! Paman bohong!!” Ia melepas pelukan Burhan, beralih memeluk tubuh Marzuki, ayahnya.
”Ayah, paman jahat! Paman bilang Ayah sudah meninggal. Paman jahat, Ayah... Tria gak mau tinggal sama paman. Ayah bangun...” Tria menggoyangkan tubuh Marzuki, membangunkannya. Namun, Marzuki tidak merespon.
Burhan mengelus kepala Tria dengan lembut. Pandanganya juga iba melihat putri kecil Marzuki itu. Ibu kandungnya telah tiada sekarang, ayah kandungnya ikut meninggalkan gadis kecil itu.
Tria menggoyangkan terus tubuh Marzuki, membangunkannya ”Ayah... bangun Ayah! Jawab Tria, Ayah! Jangan diam saja. Ayah, bangun...hu...hu...bangun Ayah... bangun....”
Burhan kembali meraih tubuh mungil Tria dan memeluknya. ”Sudah, Nak! Ikhlaskan ayahmu pergi...biarkan ayahmu pergi dengan tenang ya.” Ia membujuk Tria.
”Tidak...!! Ayahku masih hidup, Paman jahat!! Ayah tidak pergi tinggalkan Tria! Ayahku masih hidup!” Tria melepas kasar pelukan Burhan. Ia memeluk tubuh kaku ayahnya.
”Ayah, bangun Ayah! Jangan tinggalin Tria sendiri, Ayah! Tria mohon, bangunlah Ayah! Hu...hu...hu... Ayah, jangan tinggalin Tria!! Bangun, Ayah...” Tria memukul-mukul pelan dada Marzuki.
Pintu rumah sakit terbuka, tidak lama dari ketika Burhan memencet tombol pemanggil suster.
”Suster, tolong urus jenazah Marzuki.” ucap Burhan pada suster yang berjaga di sana. Suster mengangguk. Ia menutupi tubuh Marzuki dengan kain panjang putih.
”Tidak!! Ayah...” Tria semakin histeris saat kain panjang tersebut menutupi hingga kepala Marzuki.
Burhan ikut menangis melepas kepergian kakak angkatnya, ia tidak percaya lelaki kuat dan setangguh dia kini sudah tiada.
Burhan kembali mengingat ketika pertama kali ia dan Marzuki bertemu.
Di jalan yang sempit Burhan sedang di keroyok oleh beberapa orang, ia di pukul terus menerus dan di ejek karena badannya yang kotor dan dekil.
Marzuki yang kebetulan ada di situ, ia menolongnya. Marzuki mendekati Burhan, ia membalas memukul orang yang memukul Burhan dan mengusir orang-orang yang mengejek Burhan. Anak-anak kecil yang sebaya dengan mereka, yang memukuli Burhan, lari ketakutan akibat di pukuli Marzuki.
Marzuki mendekati Burhan. ”Kamu baik-baik saja?”
”Aku... aku baik-baik saja.” jawab Burhan sambil menunduk. Ia mendongak sebentar melihat rupa dari pria yang sudah menolongnya itu, setelah melihat wajahnya, ia kembali menunduk.
Marzuki tersenyum, tangannya terjulur ke depan. ”Perkenalkan, namaku Marzuki.” Ia mengajak Burhan berkenalan.
Burhan tidak menyangka akan ada saatnya, ada sebuah tangan yang mau mengajak berteman dan merangkul dirinya. Selama ini, ia hanya sendirian tanpa teman, tanpa keluarga, tanpa orang tua.
Dengan malu, ia menyambut uluran tangan Marzuki, mereka bersalaman dan dia berkata, ”Namaku Burhan.”
”Kamu tinggal dimana? Biar ku antar.” Tawar Marzuki.
Burhan menggeleng. ”Aku... aku tidak punya rumah,” jawabnya menunduk malu.
Marzuki melihat Burhan seakan tidak percaya dengan apa yang baru di dengarnya.
”Marzuki... kamu dimana, Nak?” Terdengar suara pria memanggil nama Marzuki. Burhan dan Marzuki menoleh ke arah suara tersebut.
”Aku disini, Ayah.” Marzuki melambaikan tangannya, memudahkan sang ayah menemukan keberadaannya. Abdul melangkah besar menghampiri anaknya.
”Kamu di sini rupanya.” Abdul melirik anak kecil yang menunduk malu, anak itu sebaya dengan anaknya. Marzuki menyadari itu.
”Ayah, kenalkan ini temanku namanya Burhan. Maukah Ayah mengangkatnya sebagai adikku?” Marzuki memperkenalkan Burhan pada ayahnya, sekaligus meminta ayahnya untuk mengadopsi Burhan.
Burhan tertegun melihat Marzuki. Ia juga melihat sebentar pria yang menjadi ayah Marzuki itu. Setelah melihat wajah pria itu, ia kembali menunduk.
Abdul terdiam melihat Burhan. Marzuki hanyalah seorang diri, ia merupakan anak tunggal dari Nurul dan dirinya. Karena suatu peristiwa, Nurul tidak bisa mengandung lagi.
Abdul mengangguk. ”Baiklah,” ia langsung menyetujuinya.
”Hore...!!! Aku punya adik!” Marzuki merangkul Burhan. Ia nampak senang dan bahagia miliki saudara lelaki.
Abdul berjongkok, sejajarkan diri dengan tingginya Burhan. ”Di mana orang tua mu, Nak?” tanyanya. Ia berniat akan meminta izin pada orang tua Burhan untuk mengangkatnya sebagai anak angkat.
Burhan menggeleng. ”Aku tidak tahu mereka. Aku tidak punya orang tua,” jawabnya.
”Apa benar begitu?” Abdul memastikan kembali. Burhan mengangguk.
”Kalau keluarga mu?”
Burhan kembali menggeleng. ”Aku tidak punya.”
Abdul melihat Marzuki. ”Ayo, bawa Burhan ke rumah. Mulai hari ini...dia adalah adikmu. Sebagai kakak...kamu harus menjaganya,” ucapnya menasehati Marzuki.
Marzuki sangat senang mendengarnya, ia memeluk ayahnya. ”Terima kasih, Ayah. Marzuki janji akan menjaganya,” sahutnya.
Hari itu juga, Abdul membawa Burhan pulang ke rumahnya. Dan mengangkat Burhan sebagai adik angkat dari Marzuki yang sah.
Abdul dan Nurul memperlakukan Marzuki dan Burhan dengan adil, tanpa membedakan mereka berdua. Apapun yang mereka belikan untuk Marzuki, mereka juga membelikannya untuk Burhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
coco
Yee sudah mampir
2021-06-21
1
Fathia Nur Jannah
lanjut
2021-04-23
1
💖Friza🧚♂
nyimaakk😊
2021-03-28
1