Aku meyandarkan kepalaku di bahu Leo. Mataku bengkak dan wajahku terlihat kusut. Tak kuhiraukan pandangan penumpang bis yang melihat kami dengan pandangan yang penuh selidik.
Aku dan Leo bagai anak hilang yang diusir dari rumah. Di terminal bus pun kami hanya diam dengan pikiran yang berkelana kemana-mana.
Bocah. Ya, kami dua orang anak bocah yang sudah melakukan dosa dan sekarang bingung bagaimana harus menghapus dosa tersebut.
"Kamu mau minum nggak?" tanya Leo pada akhirnya.
Aku mengangguk lemah.
Leo lalu memanggil tukang air mineral yang sedang menjajakan dagangannya di dalam bus antar kota antar provinsi tersebut.
"Bang, air mineralnya 2." Leo mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya pada penjual minuman tersebut.
"Nih minum dulu. Kita tenangin diri dulu biar bisa mikir kedepannya mesti gimana." Leo membukakan tutup botol air mineral dan memberikannya air mineral yang sudah dibukakan padaku.
Aku menerima air mineral tersebut dan meminumnya. Terasa amat segar di tenggorokanku yang bahkan aku udah lupa kapam terakhir kali aku minum karena stress menghadapi Bapak.
"Udah lebih tenang sekarang?" tanya Leo.
Aku pun mengangguk.
Bis kota yang kami tumpangi pun mulai berjalan. Mengantarkan kami ke kota tempat kami kuliah.
"Besok, kamu urus cuti kuliah ya. Aku nggak akan sanggup membiayai kuliah kamu saat ini. Aku juga akan cari kerjaan untuk membiayai hidup kita."
Aku mengangguk, menyetujui apa yang Leo perintahkan. Aku juga nggak siap ngelanjutin kuliah dengan perut hamil besar nantinya. Aku pasti akan menjadi bahan cibiran empuk para penggosip di kampus.
"Uang yang Ibu kamu kasih kita pakai buat ngontrak rumah dan memulai hidup baru."
"Kenapa harus ngontrak? Kan kita masih bisa tinggal di kostan aku yang nyaman?" sanggahku.
Leo menghembuskan nafasnya. "Kita nggak bisa lagi tinggal disana. Kamu tadi dengar kan kata Ibu kamu? Bapak kamu pasti akan menyetop segala fasilitas yang diberikan ke kamu. Jadi kamu harus mempersiapkan diri kehilangan semua kenyamanan yang kamu miliki dan hidup dengan pas-pasan bersamaku."
"Tapi......" aku ingin menyanggah lagi tapi kuakui kata-kata yang Leo ucapkan benar adanya. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku akan kehilangan semuanya hanya karena pilihanku.
"Besok aku akan bilang sama kedua orang tuaku. Siapa tahu mereka bisa membantuku untuk mendapatkan pekerjaan? Kalau saja aku sudah lebih mapan pasti aku bisa membiayai kamu dan anak kita tanpa harus memelas minta bantuan dari kedua orang tua kita. Maaf ya..." kata Leo dengan sedih.
Aku memeluk Leo. "Iya. Enggak apa-apa. Kita lewatin masa sulit ini sama-sama. Bertiga sama bayi yang ada dalam kandunganku ini."
Leo tersenyum. Ia memelukku balik dan mencium lembut keningku. "Makasih ya Sayang atas kepercayaan kamu sama aku."
******
Aku pun memulai semua yang sudah aku dan Leo rencanakan. Kuurus surat cuti kuliah dan kubayar biaya cutinya dengan uang yang Ibu berikan. Dengan mengurus surat cuti pasti cepat atau lambat Bapak akan mengetahui apa yang menjadi pilihanku.
Kukemasi barang-barang yang ada dalam kostanku. Aku sudah bilang pada Ibu pemilik kost kalau aku akan pindah dan tidak melanjutkan lagi kost di tempatnya. Aku juga berpamitan pada teman-teman di kostanku yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri.
Selanjutnya aku pindahan rumah. Aku sudah mencari rumah kontrakkan yang letaknya jauh dari kampus. Tujuannya agar tidak ada yang tahu kalau aku berhenti kuliah karena hamil di luar nikah.
Leo membantuku dalam pindahan rumah. Oh iya, Leo juga sudah mengatakan semuanya pada kedua orang tuanya.
Tau apa yang Leo dapat? Bogem mentah yang beberapa kali ditujukan padanya. Sikap Papanya yang memang suka main fisik langsung dilampiaskan pada Leo.
Leo datang keesokan harinya setelah kami pulang dari rumah orangtuaku. Wajahnya bengkak dan lebam bekas pukulan dari Papanya. Aku yang kaget langsung menangis melihat Ayah dari anak yang kukandung seperti itu.
Leo menenangkanku. Ia bilang kalau Ia baik-baik saja. Walau Leo mengatakan Ia baik-baik saja namun tetap saja aku sangat khawatir. Air mata kembali mengalir deras dari mataku tanpa bisa kutahan. Aku menangis sesegukan.
Kenapa cobaan yang aku dan Leo dapatkan sangat berat? Apa salah kalau kami ingin menebus kesalahan kami? Apa salah kalau kami ingin mempertahankan anak kami?
"Sst... Udah.... Jangan nangis lagi. Nanti mata kamu bengkak. Lebih baik ambilkan aku betadine dan kompres agar wajah aku nggak begitu bengkak nantinya."
Aku mengangguk lalu melakukan apa yang Leo perintahkan. Kuambil betadine dan kapas serta membawa kompres. Aku bersihkan bekas luka di wajah Leo lalu mengoleskan betadine.
Aku merasa amat kasihan dengan apa yang Leo alami. Andai aku bisa membantunya.....
"Papa aku sangat marah. Ia juga nggak peduli dengan keputusan aku. Mungkin Ia juga nggak peduli sama hidup aku. Yah.... setidaknya kita udah usaha. Kalau keluarga kita nggak ada yang merestui usaha dan pernikahan kita ya sudahlah. Percuma juga dipaksa. Yang penting adalah kita berdua yang akan menjalaninya. Kamu masih yakin kan kalau kita bisa?"
Aku kembali mengangguk. Sudah kadung basah sekalian saja berenang, begitu pikirku. Keluargaku tidak setuju, keluarga Leo pun sama.
"Ya sudah.... Mau gimana lagi?" kataku pasrah.
Leo menatapku dengan lekat. Kutatap balik wajah Leo. Lebam di wajahnya tidak mengurangi ketampanan yang Ia miliki.
Besar harapanku agar anak dalam kandunganku jika laki-laki akan setampan Leo. Kulihat Leo menyunggingkan senyumnya dengan getir.
"Minggu besok kita nikah ya. Kamu dandan yang cantik. Pakai baju yang paling cantik. Meskipun sederhana, itu momen berharga kita." kata Leo.
Aku mengangguk lagi. "Iya."
"Jangan lupa kabari Kakak kamu, Kak Rian. Aku yakin Ia akan datang. Ia satu kubu sama kamu. Kita jadikan Ia sebagai wali nikah kamu."
"Iya. Aku sudah mengabarinya tapi belum bilang kapan kita nikah. Kenapa harus minggu besok? Apa tidak terlalu cepat?"
Leo kembali menghembuskan nafasnya dengan berat. "Aku diusir sama Papa. Mau tinggal dimana aku kalau bukan sama kamu? Kita sama-sama anak yang sudah mencoreng nama baik keluarga. Kita memang pantas diusir. Jadi kita mulai hidup baru kita dari sekarang."
Aku tertunduk sedih. Kenapa pernikahan yang kuidam-idamkan akan menjadi seperti ini? Tidak ada orang tua yang menjadi saksi. Tidak ada gaun yang indah. Tidak ada teman yang hadir.
Pernikahan kami tergolong singkat. Biayanya pun murah karena menikah di kantor KUA. Hanya Kak Rian, Adel dan Tony sahabat Leo yang hadir sebagai saksi.
Aku hanya mengenakan kebaya yang biasa kupakai untuk kondangan. Leo pun hanya memakai kemeja putih dan celana hitam panjang. Pakaian yang Ia gunakan saat magang kerja dulu.
Sedih. Amat menyedihkan malah. Tapi ini pilihan kami. Semua konsekuensi dari segala perbuatan yang kami lakukan.
*****
Aku dan Leo sedang pusing memikirkan biaya hidup kedepannya kelak. Setelah menikah aku dan Leo masih belum punya pekerjaan. Leo masih melamar kesana kesini namun dengan ijazah SMA yang Ia miliki sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Biaya hidup makin lama semakin banyak. Belum biaya kontrakkan, listrik, makan sehari-hari dan juga ongkos untuk Leo melamar kerja.
Uang pemberian Ibu sudah menipis. Harus aku hemat-hemat untuk bayar kontrakkan bulan depan. Aku dan Leo sudah mulai berselisih paham dan sering bertengkar kecil. Semua karena kami tidak punya uang untuk membiayai hidup kami ke depannya.
Lalu bagaimana dengan kandunganku? Aku juga tidak tahu. Aku belum pernah periksa lagi. Hanya sekali saat aku tau aku hamil sisanya belum lagi. Uang darimana?
Untuk makan sehari-hari saja aku dan Leo benar-benar harus super irit. Makan mie instan satu bungkus berdua. Kadang ceplok telor dan pakai garam saja. Kadang juga makan dengan tempe goreng saja.
Kenapa nggak minta sama Kak Rian? Wah aku nggak tega deh. Kak Rian aja harus bayar uang kuliah sendiri meskipun Ia sudah bekerja tapi tetap saja uangnya tidak banyak.
Kenapa nggak minta sama Kak Anton? Yah itu sih jangan ditanya deh. Gak bakalan dikasih! Kak Anton kan satu kubu sama Bapak.
Kenapa nggak minta sama Ibu? Jawabannya nggak bisa. Loh kok? Hp Ibu disita sama Bapak. Telepon rumah juga Ibu tidak boleh mengangkatnya. Kirim surat lewat pos gitu? Pasti langsung ketahuan Bapak.
Bapak benar-benar memutuskan hubungannya denganku. Ia tidak peduli padaku padahal aku anak perempuan satu-satunya.
"Leo, kamu nggak nyari-nyari kerjaan lagi? Uang kita udah menipis nih. Nanti kita makan apa? Mau tinggal dimana?" rengekku pada Leo yang sedang asyik mengetik di laptopnya.
"Ini aku lagi nyari-nyari kerjaan. Ada sih kerjaan dari Tony, tapi di klub malam. Kamu mau aku kerja di tempat kayak gitu?" tanya Leo tanpa mengalihkan matanya dari laptopnya.
"Ya janganlah. Emang Tony nggak ada lowongan di tempat lain apa? Di Indomar** atau Alfama** gitu nggak ada?" tanyaku lagi.
"Sabar atuh May. Kan kemarin aku udah interview. Tinggal nunggu aja dipanggil."
Mataku berbinar melihat ke arah laptop Leo. Laptop bermerk mahal itu bisa untuk membayar kontrakan beberapa bulan dan buat sehari-hari juga.
"Kenapa liatin laptop aku kayak gitu?" Leo bisa menangkap arah pandanganku yang penuh makna itu.
"Tuh laptop mehong kayaknya. Lumayan buat bayar biaya kontrakan sama buat makan sehari-hari. Enggak bisa dijual aja apa?"
Leo langsung memeluk erat laptop kesayangannya tersebut. "Enggak! Jangan berani-berani ya kamu jual laptop kesayanganku!"
Aku memanyunkan bibirku. "Ih kenapa sih? Nanti kan bisa beli lagi."
"Nanti kapan May? Buat makan sehari-hari aja kita sulit apalagi buat beli laptop lagi?"
"Ya justru karena kita lagi sulit makanya kita jual aja. Kan lumayan bisa nafas dikit." jawabku tak mau kalah.
"Oh no! Enggak May. Ini ada banyak hasil editan foto aku. Belum lagi banyak proyek yang aku kerjakan."
"Prett! Proyek apaan? Paling isinya cuma game bola kamu. Alesan aja pake banyak proyek padahal mah kerjaan kamu cuma ngegame aja."
"Tau ah. Pokoknya awas ya kalau kamu berani jual!" ancam Leo.
"Yaudah kalau nggak mau aku jual kamu cari kerja dong. Aku tuh pusing mikirin besok kita makan apa lagi. Aku kan juga harus periksa kandungan ke dokter." rengekku lagi.
"Iya.... Iya. Aku tau. Udah ah aku mau nyari kerjaan dulu. Bagi duit dong buat beli bensin." Leo membuka telapak tangannya seperti anak kecil yang minta uang sama Mamanya.
"Bener loh ya cari kerja! Awas aja uangnya dipake buat main di warnet atau buat nongkrong!" ancamku.
"Iya, bener. Udah mana cepetan." pinta Leo tak sabaran.
"Nih." kuberikan uang dua puluh ribu untuk uang ongkos dan kalau ada keperluan di jalan.
"Yaudah aku mandi dulu terus langsung berangkat. Jangan lupa doain aku ya biar dapat kerjaan." Leo menaruh laptop dalam lemari bajunya dan menguncinya rapat. Ia takut aku bakal menjualnya.
"Iya."
*******
Tidak lagi kuliah otomatis kesibukanku makin berkurang. Aku sudah selesai mencuci dan beres-beres rumah. Masak juga sudah. Tadi aku membeli tahu dan cabe. Aku buat tahu goreng dan sambal kecap. Menu yang sederhana.
Aku benar-benar super irit sekarang. Leo tak kunjung dapat kerjaan sementara kami harus terus makan, apalagi kini aku sedang berbadan dua porsi makanku lebih banyak.
Aku memikirkan harus mencari uang juga meskipun tidak kerja kantoran. Apa saja deh aku lakukan yang penting aku dapat uang.
Saat aku lihat anak kecil sedang main di depan kontrakkan aku lihat mereka memegang jajanan di tangannya. Pop Ice dan sosis goreng. Aku menelan ludahku. Aku mau makan itu.
Aku membayangkan enaknya makan sosis pakai saus jorok yang botolan, yang pakai cabe busuk dan tomat busuk namun rasa saosnya tetap saja lebih enak dari saus bermerk. Mungkin kandungan bakteri didalamnya yang bikin tambah enak.
Udah murah tuh saus dicampuri air juga. Enggak tau deh tuh air matang apa mentah. Yang penting sausnya encer dan untung penjual lebih banyak. Enggak ada yang memikirkan kesehatan anak-anak yang biasa membelinya.
Jangankan anak-anak, aku juga ngiler sih pengen nyobain. Beli....enggak....beli....enggak....
Hmm... Coba anak ekonomi kayak aku hitung-hitungan dulu. Harga Pop Ice 3 ribu dan sosis beli 5 jadi 5ribu. Total 8 ribu. Kalau aku belanja di tukang sayur udah dapet tempe satu papan dan sayur bayam, bisa buat makan siang dan malam.
Huft.... aku menghela nafas berat. Mau jajan aja kok mikirnya panjang banget ya? Sedih banget hidup aku. Ibu.... aku kangen.... hiks....
Kuurungkan niatku untuk membeli jajanan. Sebodo amat deh anak dalam kandunganku ileran. Nanti aku lap aja kalau udah lahir.
Tapi aku tetap memandangi anak kecil itu. Mataku memandang terus ke sosis yang Ia pegang. Ia lalu menaruh plastik sosis miliknya diatas batu besar dan sibuk bermain petak umpet.
Aku bagai kucing yang mengawasi tikus dari kejauhan. Saat anak kecil itu pergi karena dipanggil mamanya dengan secepat kilat aku mengambil plastik sosis dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aku memakan sosis tersebut dengan lahap seperti tidak pernah makan sebelumnya. Bahkan saus joroknya pun aku habiskan. Ah... enaknya.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
ani surani
waduh, kasian anaknya masih di perut diajarin maling 🤔🤔
2024-10-06
0
ani surani
🤮
2024-10-06
0
Aysana Shanim
🥺 Disini mereka kasian banget
2024-01-12
1