Dengan tangan gemetar aku mencari nama Leo dalam phonebook telepon aku. Aku menunggu teleponku diangkat namun Leo belum juga mengangkat telepon dariku. Aku tunggu sampai beberapa kali namun Leo tak juga mau angkat teleponku.
Aku berjalan mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar kos ku yang ukurannya tidak terlalu besar tersebut. Berbagai pikiran negatif silih berganti memenuhi kepalaku. Apakah Leo sekarang meninggalkan aku? Apakah Leo akan bertanggung jawab? atau Apakah Leo sudah tahu kalau aku hamil dan Ia sekarang sedang kabur?
Lalu bagaimana dengan Bapak? Apa yang akan Bapak lakukan kalau tahu aku bukannya malah kuliah dan hamil diluar nikah? Aduh Ibu gimana? Ibu pasti akan menangis histeris bahkan sampai pingsan atau ..... Ibu bisa jatuh sakit kan?
Kak Anton pasti akan tersenyum senang karena akhirnya hanya Dia yang benar-benar mengikuti segala perintah Bapak. Lalu, bagaimana masa depan aku selanjutnya?
Kamar dengan seluruh fasilitas ini, kebebasan yang aku dapat saat kuliah, uang jajan yang cukup untuk jalan-jalan di mall dan sikap dimanja oleh Bapak, semua ini pasti akan lenyap dalam waktu singkat setelah Bapak tahu kalau aku ternyata hamil. Terus aku gimana ya? aku pasti akan diusir sama Bapak nih sementara kuliah aku tinggal 2 semester lagi. Aduh.....bagaimana hidupku selanjutnya?
Di tengah kegalauan dan kebimbangan ku memikirkan masa depan suara dering telepon dari handphoneku membuatku kaget. Hampir saja aku terloncat mendengarnya. Kulihat nama penelepon di sana, Leo yang menelponku. Secepat kilat aku mengambil handphone yang tadi sudah aku taruh di atas nakkas lalu mengangkatnya.
"Leo, cepet deh kamu ke kosan aku sekarang. penting!" perintahku sebelum Leo mengatakan satu patah katapun.
"Tenang dulu dong, Sayang. Ada apa? Ada masalah? Aku baru aja sampai rumah dari rumahnya Tony." jawab Leo.
"Udah nanti aja aku ceritanya di kosan. Pokoknya kamu harus ke kosan aku sekarang juga." jawabku dengan serius.
"Ih aku jadi penasaran deh. Segitu kangennya ya kamu sama aku? Atau kamu udah kepengen banget?" goda Leo kepadaku. Leo pikir aku sedang bercanda tapi Ia tidak tahu seberapa seriusnya masalah yang akan kita hadapi kelak.
"Aku tunggu kamu di kosan aku sekarang." aku langsung menutup telepon dan mulai memikirkan langkah ke depan yang akan aku ambil.
*****
Setengah jam kemudian, dengan mengendarai sepeda motor miliknya Leo datang ke kosanku. Sambil bersiul-siul ia berjalan mendekati kamarku.
"Sayang, aku udah sampai nih. Bukain pintunya dong." kata Leo dari depan pintu kamarku. Aku yang sejak tadi gelisah pun langsung terburu-buru berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu untuknya.
"Ayo cepetan masuk!" aku menarik tangan Leo dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tak lupa aku menutup dan mengunci pintu kamarku terlebih dahulu agar tidak ada teman-teman kos yang mengganggu pembicaraan aku nantinya.
"Enggak sabaran banget sih kamu sayang. Udah kepengen banget emangnya? Ya aku sih siap-siap aja." Leo masih bercanda dengan kata-katanya.
Aku menatap Leo dengan serius. Sampai akhirnya senyum di wajah Leo pun memudar. Ia tahu aku sedang serius dan tidak main-main.
"Beneran ada masalah? Ada apa sih?" tanya Leo pada akhirnya.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan yang Leo ajukan. Aku memberikan tiga buah hasil tespek yang tadi pagi udah aku pakai. Leo mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan apa yang aku berikan.
"Testpack? Sebentar, KAMU HAMIL?" tanya Leo kaget dan tak percaya.
Aku mengangguk. "Iya, aku hamil."
"Kok bisa? Memangnya kamu enggak pakai pil KB? Kok kita bisa sampai kayak gini sih? Enggak ini pasti salah. Kita ke dokter aja. Aku nggak percaya sama hasil ini. Pasti testpack ini rusak." ternyata Leo sama seperti aku yang tidak mudah menerima kenyataan ini. Aku juga tadi sempat tidak percaya dengan testpack yang aku gunakan. Tapi masa iya sih sampai 3 testpack dan semua hasilnya positif?
"Testpack-nya nggak rusak. Tadi aku juga kayak kamu kok, nggak percaya sama hasil testpacknya. Kamu lihat sendiri kan aku sampai tiga kali mencoba testpack dengan berbeda merk. Ini sih udah pasti kalau aku hamil. Bukan itu yang harus kita pikirkan sekarang. Bagaimana dengan orang tuaku? Bagaimana dengan kuliah aku? Bagaimana dengan kuliah kamu? Bagaimana hidup kita nanti?" aku menjejalkan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi otakku kepada Leo. Biarlah Ia yang berpikir, enak aja jangan maunya enaknya doang. Dia juga harus merasakan penderitaan aku.
"Kamu mau nyuruh aku tanggung jawab?" tanya Leo tanpa dipikir terlebih dahulu.
"Ya iyalah. Kita kan udah ngelakuin dosa. Ya kita harus mempertanggungjawabkan dosa kita." jawab aku dengan kesal. Kenapa sih Leo kayak begini aja nggak ngerti? Peka dikit kenapa sih jadi cowok. Emang dasar laki-laki enggak peka!
"Tapi aku kan belum kerja May. Aku mau hidupin kamu dan anak kita dengan cara apa?"
"Ya mana aku tahu Leo. Aku juga bingung. Aku juga pusing mikirin semua masalah kita ini. Dan yang pasti aku takut ngadepin Bapak aku. Aku udah bisa bayangin Dia bakalan marah kayak gimana. Pasti lebih serem dari pada saat Kak Rian mau kuliah jurusan yang Ia mau dan menentang Bapak."
Perkataanku barusan membuat nyali Leo makin menciut. Ia lalu duduk di lantai sambil mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa sih kamu harus hamil?" tanya Leo pada akhirnya.
"Ya aku hamil karena perbuatan kamu juga lah . Kita kan ngelakuin nya sering. Jadi wajar aja kalau aku tuh sampai hamil." kataku dengan ketus.
"Terus kita harus ngelakuin apa?"
" Ya aku nggak tahu Leo. Kamu bantu dong aku untuk mikir. Jangan kamu cuma nanya kita harus bagaimana- kita harus bagaimana. Ini tuh masalah kita berdua. Kita harus pikirin bareng jalan keluar atas segala masalah kita."
"Apa kita harus...." Leo tidak meneruskan perkataannya. Aku tahu apa yang akan Ia ucapkan.
"Gugurin kandungan ini maksud kamu?" tanyaku to the point.
Leo mengangguk. Bahkan untuk berkata iya aja Dia tidak sanggup.
Aku menggelengkan kepalaku dengan yakin. "Kita udah berbuat dosa dan kita mau menambah dosa untuk menutupi dosa yang udah kita perbuat? Aku nggak mau Leo. Aku nggak mau ngelakuin hal sehina itu. Apalagi sampai harus membunuh janin yang tidak bersalah ini. Biar bagaimanapun, janin yang ada dalam perutku adalah anak kamu juga. Kamu tega membunuh buah hati kamu sendiri?" kataku sambil bercucuran air mata. Akhirnya pertahananku jebol juga. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung lagi.
Leo lalu memelukku. Ia sepertinya merasa bersalah dengan ide yang terlintas di pikirannya tersebut. "Maafin aku, lupain ide aku yang jahat tado. Aku juga nggak mau kok lakuin hal itu. Biar bagaimanapun, anak itu lahir dari buah cinta kita. Aku nggak mau jadi orang tua yang jahat." kata Leo dengan bijaksana.
Perkataan Leo telah membuat aku sedikit tenang. Setidaknya sekarang kami sepakat untuk tetap mempertahankan bayi dalam kandungan ku tersebut.
"Kita hadapin bareng-bareng ya. Pertama, kita hadapin keluarga kamu. Aku tahu Bapak kamu pasti akan marah banget atas apa yang udah kita lakuin. Aku akan bilang sama Bapak kamu kalau aku akan bertanggung jawab atas semua perbuatanku." kata Leo sambil menepuk lembut punggungku.
"Iya. Bagaimana kalau besok kita ke rumah Bapak? Lebih cepat lebih bagus. Aku nggak siap menunggu terlalu lama."
"Oke. Besok pagi, kita berangkat ya ke rumah kamu. Kita hadapin semuanya. Selama ada kamu disisi aku, aku yakin kita bisa lewatin semuanya. Setelah dapat jawaban dari Bapak kamu, kita baru bisa nentuin langkah kita selanjutnya apa. Aku nggak tahu Bapak kamu akan memutuskan apa, kalau memang Ia menginginkan kamu tetap melanjutkan kuliah ya kamu kuliah lah. Tapi kalau misalnya memang Bapak kamu marah dan sampai mengusir kamu, kita harus berjuang sama-sama dari nol." kata Leo dengan yakin.
Aku mengangguk dan kembali memeluk Leo dengan erat. Tidak ada yang aku butuhkan selain pelukan dan dukungan dari Leo saat ini.
*******
Aku hanya mampu menunduk tanpa berani mengangkat kepalaku. Aku dan Leo bagai sedang duduk di kursi pengadilan. Bersiap menerima hukuman apa yang akan kami dapatkan atas perbuatan kami ini.
"Maafin saya, Om. Saya dan Maya saling mencintai. Dan sekarang dalam rahim Maya ada anak saya." kubiarkan Leo yang menghadapi Bapak dan Ibu.
Hanya suara tangis Ibu yang sejak tadi tak pernah berhenti. Suara tangis pilu seorang Ibu yang sudah dikecewakan oleh puteri satu-satunya tersebut.
Aku bisa mengerti bagaimana perasaan Ibu. Kostan yang Ia sediakan senyaman mungkin dengan segala fasilitas yang ada eh malah dijadikan tempat berbuat dosa oleh anak gadisnya sendiri.
Bagaimana reaksi Bapak. Sambil menunduk aku bisa melihat Bapak mengepalkan tangannya dengan kencang. Ini adalah tanda kalau Bapak sedang menahan dirinya untuk kemarahan yang lebih besar lagi.
"Kamu tau, saya bisa laporkan kamu ke polisi atas tuduhan perkosaan terhadap putri saya!" perkataan Bapak membuat aku yang sejak tadi menunduk lalu mengangkat kepalaku.
"Pak, jangan Pak. Maya mohon jangan lakukan hal itu. Jangan, Pak. Biar bagaimanapun Leo adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungan Maya." pintaku sambil berurai air mata.
"Masih berani kamu bicara setelah kau kasih kotoran di wajah orang tuamu? Masih punya nyali kamu!" suara Bapak terdengar menggelegar dan amat menakutkan bagiku. Belum pernah Bapak membentakku sama sekali dan ini yang pertama aku alami.
Aku langsung bersimpuh dibawah kaki Bapak. Kupeluk kaki Bapak. "Maaf, Pak. Maafin Maya. Maya tau Maya salah, Pak. Tolong jangan masukkin Leo ke penjara, Pak. Maya mohon!" pintaku di sela uraian air mata yang terus mengalir deras.
Leo mendekatiku dan ikut bersimpuh di kaki Bapak. "Saya akan bertanggung-jawab, Om. Saya cinta sama Maya. Saya nggak mau kehilangan Maya dan anak kami. Beri saya kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya, Om."
Aku menatap Leo yang kini juga beruraian air mata.
"Kalau kamu mau bertanggung-jawab, silahkan serahkan diri kamu di kantor polisi! Kamu sudah merusak masa depan putri semata wayang saya!" kata Bapak dengan nada tinggi.
"Pak... Jangan, Pak. Maya mohon.... Ijinkan kami menebus kesalahan kami, Pak. Biarkan kami yang bertanggung-jawab atas perbuatan kami." pintaku. Aku berusaha membantu Leo untuk bicara dengan Bapak. Selama ini Bapak selalu memanjakanku dan tak pernah bisa menolak permintaanku. Tapi kali ini berbeda. Ucapanku tak Bapak gubris.
"Kalau kalian mau bertanggung-jawab, silahkan. Tapi Bapak tidak akan pernah merestui pernikahan kalian sampai kapanpun! Jika kalian sampai menikah, jangan pernah menginjakkan kaki kalian di rumah ini lagi!" Bapak menghempaskan tanganku yang sejak tadi memeluk erat kaki Bapak saat bersimpuh. Bapak lalu pergi meninggalkan aku dan Leo dan masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu dengan kencang.
Aku menangis makin kencang. Perasaan yang kurasa saat ini adalah perasaan terbuang. Aku dibuang oleh Bapakku sendiri.
Ibu, ya... Ibu. Pasti Ibu bisa membantu kami. Aku mendekati Ibu yang sejak tadi hanya duduk di bangku sambil menangis sesegukan.
Hatiku teriris. Wanita yang selalu menyayangiku kini sangat terluka hatinya. Dan aku yang sudah menyakiti hatinya tersebut.
"Bu.... Maafin Maya, Bu.... Maya salah.... Maya udah nyakitin Ibu...." Aku memeluk wanita yang sudah melahirkanku tersebut.
"Maafin Maya, Bu... " hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan berulang-ulang. Aku sadar kalau Ibu yang paling terluka atas perbuatanku.
Kulihat Leo hanya terduduk lemas di lantai. Usahanya untuk meminta restu dengan baik-baik kandas sudah.
Ibu melepaskan pelukanku. Matanya sudah bengkak karena kebanyakan menangis tapi Ibu masih saja terlihat cantik.
"Ibu akan merestui pernikahan kalian. Tebuslah dosa atas perbuatan yang sudah kalian lakukan. Biar Bapak nanti Ibu yang bujuk pelan-pelan. Kalian harus sabar menghadapinya. Berjuanglah kalian berdua menghadapi cobaan hidup kalian kelak. Ibu yakin Bapak nggak akan semudah itu melepas kamu, May. Tunggu sebentar, ada yang mau Ibu kasih ke kamu."
Ibu lalu bangun dari duduknya dan pergi ke ruang baca. Itu adalah tempat favorit Ibu. Tak lama Ibu kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Ini. Gunakanlah untuk modal memulai hidup baru. Mungkin tidak banyak. Itu uang tabungan punya Ibu, rencananya Ibu akan berikan pada Rian saat Ia susah membayar uang kuliah, namun Rian bisa membayar dengan usahanya sendiri. Ibu rasa kamu lebih membutuhkannya."
"Ibu yakin semua fasilitas yang Bapak berikan sama kamu akan dicabut, seperti yang Bapak lakukan pada Rian dulu. Gunakanlah sebaik mungkin. Ingat, kamu juga akan memerlukan uang untuk melahirkan. Lebih baik kamu cuti kuliah dulu. Tata hidup kamu dulu lalu setelah keadaan lebih baik barulah kamu kuliah lagi."
Aku makin terisak mendengar perkataan Ibu. Ya, ini bukan pertama kalinya anak Ibu ada yang menentang Bapak. Ibu pasti sudah pengalaman makanya memberikan aku bekal.
"Maaf, Bu..." kembali hanya maaf yang bisa aku ucapkan. Aku menyesal. Aku udah bersalah menyakiti hati Ibu tapi beliau masih saja membelaku.
"Pergilah! Jalani hidup kamu sebaik mungkin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
𝐙⃝🦜Zifei_WanitaTangguh💫
🥺🥺🥺Malah kasihan sama ibuknya Maya.pasti merasa sedih, malu, juga kesal, tp pasti juga merasa sayang&kasihan sama anak perempuan satu²nya🥺
2023-11-07
47
bulan2
menyesal pasti di akhir may, diawal tuh pendaftaran
2023-11-06
3
Yune Z
lapo polisi jg percumah ja itu mah doyan sm doyan... bukannpaksaaan
2023-09-05
2