Aku masih terdiam mencerna perkataan Ayah yang kurang ku pahami maknanya.
“Apa kau paham, Ros?” Aku menjawabnya menggeleng.
“Wahai anak gadisku, berlayar lah sampai ke pulau, menenun lah sampai jadi perhiasan. Kini, sudah selesai tanggung jawab Ayah. Ayah serahkan kehidupanmu kedepannya kepada suamimu.” Beliau menatapku penuh kasih sayang.
“Baik-baiklah nanti dalam berkeluarga besar, pandai-pandai lah dengan mertua, jangan lah keras kepala dan gampang marah, patuhi suamimu dunia akhirat. Jaga Adat dan Lembaga kita. Ayah ikhlas melepas engkau berumah tangga, Ayah rela melepaskan engkau bersuami, Do'a Ayah mengalir siang dan malam untukmu.”
Ingin aku menjawabnya, “Tentu saja, Ayah ikhlas dan rela melepaskan aku, bukankah aku di paksa agar bersedia menikah dengan pria asing itu?” Namun entah kenapa, bibir dan lidah ku kelu, hatiku tersentuh dan bergetar.
Entah kata-kata, entah karena aku telah menjadi seorang Istri. Perkataan yang di lontarkan Ayahku terasa dalam.
“Dengan menikah, berarti kalian telah mengikat niat dan janji suci bersama pasangan di hadapan Tuhan dan disaksikan banyak orang. Setelah itu, lembaran dan kehidupan baru kalian akan dimulai.” ucap Ibuku yang sedang mengelus punggungku.
“Bak umpamo, biduak kabalayia, lauik lapeh Jo riak nan ka di hadang. Taguah- taguahkan pacik kamudi, ingek di riak Jo galombang, ingek dek karang ka ma onggoh, ingek ombak dek ka ma ampeh.” ucap Ibuku menatapku lembut.
“Pandai-pandai manjago diri, binalah keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Doa Mandeh sapanjang jalan.” sambung Ibuku kemudian memelukku.
[Ibarat perahu yang akan berlayar, laut lepas dengan riak yang akan di hadang, berpegang teguh lah dalam memegang kemudi kehidupan. Ingatlah pada riak dan gelombang, ingatlah dengan karang yang akan menghadang, ingat dengan ombak yang akan menghempas, berpandai-pandailah menjaga diri. Binalah keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Doa ibu akan selalu ada untukmu selamanya]
“Iyo, Bu.” Aku membalas pelukan Ibuku dengan erat. Tak terasa air mataku mengalir. Kata-kata orangtuaku terdengar aneh, menggetar ke relung hatiku rasanya. Entah kenapa...
“Kalau kuriak Induak nyo, Rintiak anak nyo. Maka, jadilah Istri yang baik dalam segala hal. Maka engkau akan melahirkan keturunan baik-baik pula di kemudian hari, dan seterusnya.” sambung Ayah.
Ucapan Ayah yang terakhir membuat rasa haru ku berubah menjadi kesal. Kenapa harus membahas keturunan? Siapa yang ingin punya anak dengan pria asing itu!
“Ya sudah, sekarang kau istirahatlah. Karena mulai besok sampai 3 hari ke depan, kau akan bergadang mengikuti tradisi Adat kita.” ucap Ibu, kemudian mengecup keningku.
Ayah menatap ku lama, kemudian Ia mengelus kepalaku. Lalu masih berdiri mematung. Kemudian berniat pergi bersama Ibu keluar.
Saat beliau hendak ingin pergi, aku memanggilnya. “Ayah.” ucapku, kemudian berhambur, memeluknya erat dan mencium kedua pipinya.
Aku tau, ayah ingin memeluk dan menciumku. Beliau tak pernah lagi menggendong dan menciumku semenjak aku tamat sekolah dasar, namun aku tau beliau menciumku diam-diam saat aku tertidur, aku pernah pura-pura tertidur saat itu.
Aku tahu, dengan wajahnya yang sangar dan terlihat pemarah itu, hatinya hello Kitty terhadapku.
Aku melihat matanya yang berkaca-kaca sejak tadi. Kata-kata nya yang sering keras dan pemarah itu, tak sesuai dengan isi hatinya yang sebenarnya sangat menyayangiku. Aku tau itu.
Aku tau, dia tak terlalu keras memaksaku menikah. Namun, Ia tak bisa memutuskan mufakat dan musyawarah keluarga besar ku. Siapa juga yang berani melawan keputusan Paman pertamaku yang dianggap benar.
Ah...!!! Apakah benar, pria itu adalah laki-laki baik?
Paman pertama, Nenek bahkan keluarga lain mengatakan Pria asing itu dari keluarga baik-baik, bahkan Ibu dan Ayah yang baru berjumpa juga tertarik kepadanya. Apakah benar, dia sebaik itu? Ataukah dia hanya pria yang bermodal kata manis? Sehingga bisa merebut semua hati keluargaku. Entahlah...
Ayah tiba-tiba melepaskan pelukannya, lalu memunggungiku, aku tau, Beliau sedang menutupi wajahnya yang berderai air mata. Aku tau, Ia ingin terlihat gagah dan tak ingin aku melihat ia menjadi cengeng seperti ini. Ibu tersenyum lembut dan merangkul tangan Ayahku, menarik tangan itu sampai keluar.
Aku tau, mungkin saat ini, jika mereka masih di sini bersamaku, kedua orangtuaku akan menangis. “Aneh, untuk apa mereka menangis dan bersedih. Toh cuma menikah kan? Aku tidak mati? Kenapa mereka merasa sangat kehilangan?”
Aku tak percaya dengan kata orang. Orang-orang berkata padaku, jika menikah rasanya akan berbeda, rasanya benar-benar terasa putus ikatan dengan Ayah dan Ibu. Rasanya getaran janji itu masuk ke dalam hati, apakah itu karena sumpah yang di saksikan oleh Tuhan juga?
Sayangnya, aku tak merasakan sedih ataupun kehilangan seperti yang orang katakan. Aku merasa biasa-biasa saja.
Setelah Ayah dan Ibu keluar, Aku mengistirahatkan tubuhku, tidur di atas kasur spring bed ku yang baru dengan nuansa kamar pengantin yang penuh dengan ornamen emas dan merah.
Sekarang masih sore. Dan nanti malam di sebut dengan Malam Bainai. Aku ingin tidur, agar nanti malam aku tidak terkantuk-kantuk. Namun, mataku tak bisa ku pejamkan, aku teringat dengan dia yang masih ku cintai.
Aku berjalan membuka lemari, di sana ada kotak yang ku simpan dengan sangat hati-hati. Ku buka kotak itu. Di sana ada sebuah dompet berwarna cream dengan lukisan love besar berwarna ungu.
Di dalam dompet itu, terdapat sebuah foto pria yang memiliki lesung pipi, dan bagiku Dia sangatlah tampan dan terbaik.
Di sebelah dompet itu, ada sebuah plastik yang telah aku press di fotocopy. Di dalam plastik itu ada kelopak bunga-bunga kering yang sudah berwarna coklat tua bahkan kehitaman.
Aku tersenyum kecil. “Apakah kau akan datang besok? Aku sangat merindukanmu, Aku berharap kau datang, Aku hanya ingin melihatmu, sebentar saja. Hanya itu saja.” gumam ku dalam hati.
Ku peluk dompet dan plastik itu. Tak terasa air mataku menetes. “Ah!!! Aku benci ini, Aku benci. Aku benci, kenapa aku selalu lemah dan cengeng, jika itu mengenai dirimu. Izqian Abraham, Aku mohon, datanglah besok, Aku hanya ingin melihatmu saja. Hanya itu.” getirku dalam hati.
Aku benar-benar merindukan pria itu. Pria yang telah mengisi hatiku selama ini.
*16 Agustus 2000*
Hari ini, Aku terburu-buru, Ibu ku sedang berada di rumah sakit, beliau baru saja di operasi melahirkan.
“Hei tunggu!! Tungguin aku!” teriak temanku.
Gadis dengan rambut lurus panjang dan hitam, langsing, putih, bibir merah, dan pastinya cantik. Namanya Filya, Dia teman sekelasku.
Aku berkenalan dengannya saat tamat Sekolah Menengah Pertama. Ibuku dan Ibu nya berteman, lalu kami di kenalkan. Sehingga kami menjadi lebih akrab. Ya, bisa di bilang, dia satu-satunya teman perempuan ku.
“Aku buru-buru Fil. Aku duluan ya." jelasku.
“Iya, aku tau kok. Aku juga mau ke rumah sakit, jenguk Ibu kamu. Kita berangkat bareng ya. Please...” ucap Filya merengek padaku
“Ah, cepetan kalau gitu! Nanti aku bisa ketinggalan bus lagi. Biasanya, kalo bus jam 2 sudah lewat, jam 5 sore bus nya baru lewat lagi. Aku juga harus masak untuk di bawa ke rumah sakit.” jelas ku panjang kali lebar.
“Ow, ow, ow, Sejak kapan kawan ku ini pandai memasak?" ejek nya sembari memukul-mukul pundak ku.
“Ya, maksudku, aku bantuin Tante ku masak, cuci piring gitu.” kilahku. “Cepatan!!” seruku meneriakinya kemudian
“Iya, iya. Ayo, nanti aku bantuin deh.” Ia menarik tanganku. Aku dan Dia berlarian keluar dari sekolah, menunggu Bus yang lewat.
Aku tinggal di desa, bukan di kota. Tidak ada yang namanya halte. Jadi, aku menunggu di tepi jalan raya dengan panas-panasan yang ditemani cuaca yang terik.
Filya sibuk mengotak-atik handphone miliknya. Handphone Nokia 1600. Entah dengan siapa Ia berkirim pesan.
Tak berapa lama, berhenti 2 buah motor dengan pengemudinya di depan kami. Salah satu pria itu, adalah kekasih Filya. Namanya Revand. Pria itu tersenyum manis pada Filya dan juga tersenyum padaku.
Dan satunya lagi, Kakak kelasku, teman dekat Revand.
“Ayo!” Filya menarik tanganku. Kemudian Ia langsung naik di motor pacarnya. Aku merasa canggung untuk naik motor pria lain yang tidak dekat denganku.
“Heeii!!! Katanya kamu buru-buru.” ucap Filya.
“Lagian, Paman kecilmu dan Kakak sepupu mu juga masih lama pulang. Ayo kita duluan!” seru Filya meneriaki ku, karena aku masih berdiri membatu.
Pria yang menggunakan motor Thunder berwarna biru itu, tersenyum padaku, seolah menyuruhku naik untuk berboncengan dengannya. “Ayo.” ucap pemuda itu.
Ia memiliki lesung pipi, rambut tebal dan sedikit ikal ujungnya, hidung mancung dan bibir merah berisi, berkulit terang dan tinggi. Aku merasa malu sekali, dilema memilih naik atau menunggu bus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
mande pun kini tiado... 😭😭😭
2022-04-24
0
👑Meylani Putri Putti
wow bagus banget filsafat nya, like ya thor
2021-02-19
0
Rosni Lim
Selamat sore
2021-02-18
0