Menikah dengan Dia

Aku duduk menatap cermin rias yang besar di hadapanku, di belakangku ada perias yang menghias hijabku, dengan warna hijau toska yang selaras dengan baju kebaya yang aku kenakan.

Senin, 5 Juni 2006. Hari ini adalah hari pernikahanku. Pakaian nikah yang aku kenakan ini, adalah pemberian dari calon suamiku. Warna yang tidak pernah aku bayangkan, kebaya berwarna hijau toska, manik-manik dan payetnya berwarna pink dan putih.

Aku merasa sangat gerah, Aku biasanya tidak pernah memakai hijab. Sekarang, aku harus memakainya dengan terpaksa. 2 Minggu terakhir ini, hidupku sungguh sengsara, untuk bertemu sahabat ku Boy saja, susahnya minta ampun.

Aku masih menunggu di dalam kamar. Di luar, Ayah dan calon suamiku sedang melakukan ijab qobul yang di saksikan banyak orang. Tak lama, Ibu dan Uncu datang menemuiku, lalu menggandeng tanganku keluar dari kamar untuk menuju mempelai pria.

Pria asing yang sekarang telah sah menjadi suamiku itu, juga memakai baju dengan warna dan model yang sama denganku. Ah, Ya, Aku lupa. Baju ini kan dia yang memberikan, tentu saja keluarganya membuat baju couple.

Aku duduk disamping pria itu. “Sekarang serahkan maharnya pada pengantin perempuan nya.” pinta Bapak Pengulu.

Pria asing yang sedari tadi duduk membelakang dan memunggungi ku, kini menoleh ke samping, menatapku cukup lama, aku pun juga menatapnya dengan syok.

Aku terkejut bukan main, jika seandainya ada lalat terbang, mungkin mulutku yang ternganga sudah di masuki lalat. Dia adalah pria yang waktu itu, pria yang kuberikan jari tengah, pria yang kuberikan alamat salah, dan pria yang menyindirku.

“Ahhhhh!!! Apakah dunia ini sempit?! Aku menikah dengan Dia?! Kenapa harus Dia yang menjadi suamiku?” pikirku, mataku membulat sempurna, tidak percaya.

“Ekhem, Udah, udah, nanti tatap-tatapannya, sekarang berikan mahar dulu, biar benar-benar SAH. Hehehehe.” ucap seseorang pria disampingnya terkekeh.

Dia pun memberikan mahar berupa Uang sebesar Rp. 206.000,- yang di hias di dalam bingkai frame berbentuk bunga, serta seperangkat alat sholat berbentuk mesjid. Kemudian, Aku menerimanya.

Jepret! Jepret! Beberapa orang mengambil gambar penyerahan mahar itu, dari keluargaku atau pun keluarganya. Kemudian Aku diminta mencium tangannya. Mau tidak mau, aku pun patuh menyalaminya.

Ya, 2 Minggu belakangan ini, aku di ceramahi oleh semua orang.

Pikirku, setidaknya jika pernikahan ku berantakan, aku bisa menyalahkan keluargaku, karena mereka yang memaksa dan menjodohkan aku.

Itu salah satu alasanku bersedia menikah. Karena jika aku kabur, aku akan pergi kemana? Aku tidak punya uang, aku tidak bisa memasak, tidak bisa bekerja. Dan, jika aku pergi, 199 Adik-adik ku akan siap menangkap dan mambawa ku pulang. Tentu saja, hukuman untukku lebih berat lagi setelah aku tertangkap.

Jadi, Aku mengalah dan menerima perjodohan ini. Setidaknya, aku memiliki alasan menyalahkan keluarga ku nanti, jika aku tak bahagia di pernikahanku.

Setelah itu, Aku dan Dia menandatangani surat-surat yang begitu banyak, namun kami hanya diberikan kertas kecil yang berwarna hijau tua dan merah hati. Selebihnya diberikan kepada Bapak Penghulu sebagai dokumentasi.

Aku membaca nama di surat nikah itu. Pria asing yang menikahiku itu bernama Hanan Arsman. Pria berumur 28 tahun, sedangkan Aku masih berumur 21 tahun. “Aku menikah dengan pria Tua!” pikirku, saat membaca buku nikah yang aku pegang.

Setelah penyerahan buku nikah dan mahar. Bapak Penghulu, mengubah cara duduknya dengan santai, lalu menatap kami berdua dengan lekat.

“Tatalah niat kalian berdua, apapun dan bagaimanapun, niatkanlah, bahwa menikah itu adalah ibadah untuk kalian berdua. Pahamilah perbedaan karakter pasangan kalian, bangunlah sikap saling toleransi, saling berbicara dengan bahasa yang halus dan santun serta hormati satu sama lain.” ucap Bapak Penghulu memulai ceramahnya.

“Penuhilah hak dan kewajiban kalian, sang suami harus bekerja, beri nafkah, tempat tinggal dan pakaian untuk istrimu, begitu pula istri, harus bisa memahami sesuai dengan pekerjaan dan kemampuan suami, jangan meminta membeli pesawat, jika sang suami hanya mampu membeli sepeda, bersabar dan berdo'a lah.”

“Gauli lah Istrimu secara baik.” sambung Penghulu itu menatap Pria asing yang menjadi suamiku kini.

Lalu, Penghulu itu menatapku. “Layanilah suamimu dengan baik, jangan menolak saat dia meminta bergaul denganmu.” ucapnya tegas padaku.

“Dasar penghulu mesum, otaknya jorok sekali.” dongkol ku dalam hati. “Kenapa sih membahas hal beginian di depan orang banyak.” gerutu ku melawan. “Aku saja malu mendengarnya, apa Dia tidak malu, berkata seperti itu?”

“Biasanya, perempuan lebih sering menolak dan tidak melayani, dengan alasan lelah dan letih bahkan jawaban gak mood. Ingatlah, jika menolak, kau akan mendapatkan dosa.” Penghulu itu menatapku, seolah dia tau apa yang ada di kepalaku.

Aku memang berniat menolak. Menikah saja aku terpaksa, bagaimana mungkin aku akan bergaul dengan pria asing ini?

Untungnya, penghulu tak banyak membahas itu lagi, Ia melanjutkan ucapannya kembali dengan menatap suamiku. “Bimbinglah Istrimu.” Pria asing itu menjawabnya dengan mengangguk.

“Kalian berdua, harus saling memberikan rasa cinta dan kasih sayang.” Lalu penghulu menatapku kembali. “Taatilah suamimu.”

“Jagalah harta, rumah dan kehormatan mu serta kehormatan suami mu.” terang penghulu itu, masih menatapku.

“Apa penghulu ini bisa membaca semua yang terlintas di otakku? Atau wajah dongkol ku terlihat sangat jelas?” Aku bergumam dalam hati.

Setelah ceramah pendek penghulu kepada kami berdua, beliau pun mengakirinya dengan memimpin do'a untuk pernikahan kami.

Setelah berdo'a, Bapak penghulu pun langsung pergi, karena masih banyak yang akan menikah. Keluargaku dan keluarga suamiku sibuk memoto kami berdua, lalu dilanjutkan kami berfoto bersama keluarga.

Setelah sesi foto, kami lanjutkan makan bersama.

Setelah makan, Suamiku beserta keluarganya kembali pulang kerumah mereka, karena besok kita akan melakukan pesta pernikahan melalui adat.

Di adat Minangkabau, lebih tepatnya dikampung ku sih, kami belum boleh bercampur atau sekamar, sebelum pesta adat. Jadi Suamiku harus pulang kembali, sampai kami menjemputnya dengan adat.

Setelah keluarga suamiku pulang, Aku langsung masuk ke dalam kamarku. Tak lama, Ayah dan Ibu juga masuk ke dalam kamarku.

Ayah memegang erat ke dua tanganku. Lalu tersenyum. “Dangakan dek Anak Gadih, pasan Ayah. Balaia lah sampai ka pulau, batanun lah sampai ka gunjai.” Beliau menghela nafas berat.

“Alah sampai tangguang jawab Ayah... Ayah sarahkan kahidupan anak ka suami mulai dari kini. Elok-elok baipa, babisan. Pandai-pandailah bamintuo.” Beliau menatapku dengan mata yang berkaca.

“Usah pandareh jo pamberang, patuah ka suami dunia akhirat, jago Adaiak Jo Limbago. Ayah ikhlas malapeh anak basuami, Danga, Inokan pasan Ayah. Do'a Ayah siang Jo malam.” ucap ayah pelan, suaranya terdengar tercekat.

Aku benar-benar sedih mendengarnya, walaupun aku tidak mengerti maksud dari perkataan ayah padaku.

Ku lihat raut wajah Ayah dan Ibu, mereka terlihat menahan tangisnya.

Terpopuler

Comments

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

umur segitu belum tua Ros. ponakan ku aja ada yang nikah umur 32tahun dan istrinya 23tahun.

2022-04-24

0

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

😭😭😭😭😭
pada saat aku menikah, sudah tidak ada Abak disampingku, sanak..., hiks hiks 😰😰😰

2022-04-24

0

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀

jiahahaa, ngakak akuh 😂🤣🤣🤣🤣🤭🤭

2022-04-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!