Dika menutup pintu ruang siaran, ia bergegas menuju kamar berukuran 3x4 Meter, di dalam ruangan itu berisi satu komputer, satu CPU/prosesor, serta satu printer. Dika mulai mengeksekusi beberapa foto Nara yang diambilnya beberapa hari yang lalu. Seketika bibir Dika tertarik beberapa centimeter. Nara terlihat begitu manis dengan balutan gaun pengantin, senyumnya yang khas dengan menampakkan sedikit gigi taringnya yang kurang rapi itu.
Tiba-tiba Dika teringat telepon beberapa jam yang lalu, gadis yang fotonya sedang ia pandangi itu memintanya untuk menemuinya. Di saat itu pula tangan Dika mulai tidak sejalan dengan pikirannya, ia bahkan bingung ingin meletakkan filter apa, dan apa yang harus ia edit dari foto tersebut.
"Oh Dika, seheboh inikah dirimu, Nara hanya minta kamu menemuinya, bukan meminta kamu menjadi pasangan hidupnya." gumam Dika.
Saat itu juga Dika putuskan untuk mengakhiri semedinya di dalam ruangan 3x4 meter itu. Ia bergegas mengambil kunci mobil. Namun tiba-tiba langkah Dika terhenti ketika melihat jam dinding, Pukul 16.00 wib.
"Astagfirullah, aku belum sholat asar, aku bisa cari mati jika menemui Nara dalam keadaan belum sholat asar, bisa kena ceramah Nara nanti." Gumamnya kembali.
Dika memang terus bergumam sebab di studio hanya ada dia saja. Rekan yang lain sudah terlebih dahulu pulang, sedangkan Dika memilih untuk tinggal di studio.
Dika segera mengambil wudhu kemudian melaksanakan sholat asar. Setelah sholat Dika langsung meraih jaket merah mudanya itu, lalu berjalan menuju tempat parkir. Mobil Avanza putih sudah terparkir di halaman radio sejak pagi, sebab pemiliknya memutuskan untuk tidak mengajaknya kemana-mana hari ini. Namun ocehan gadis bergigi taring itu membuat pemilik mobil Avanza putih itu berubah pilihan, sehingga Avanza putih yang dibeli dengan hasil kerja kerasnya sendiri itu keluar juga mengitari jalan raya.
Dika bukanlah seorang CEO seperti di cerita novel-novel. Dika hanyalah seorang pengusaha biasa yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai penyiar radio, dan menjalankan hobi-hobinya yang lain. Sedangkan usahanya dikelola oleh orang yang ia percayakan. Dika sosok pemuda yang sederhana, ia tidak pernah menunjukkan kekayaannya yang ia punya, ia juga tidak pernah bangga dengan apa yang sedang ia raih dan ia punya, ia bersikap sangat sederhana namun pekerja keras. Paras wajah yang manis, berhidung mancung, dengan tinggi 170 cm, membuat Dika sudah cukup bisa bersaing dengan pemuda-pemuda di Medan, meski ia tidak setampan artis Irwansyah atau Arya Seloka. Maka tidak jarang Nara menjuluki Dika dengan sebutan pemuda yang begitu banyak selirnya.
***
Mobil Avanza putih itu memasuki gerbang selamat datang Lapangan Merdeka atau Merdeka Walk. Seperti suasana pada hari-hari biasa, lapangan merdeka setiap sorenya selalu diisi dengan para mereka yang berlari sore sembari menikmati suasana senja di kota Medan. Ada juga sebagian orang yang hanya duduk untuk sekedar melepas penat. Berhubung hari ini bukan hari weekend maka pengunjungnya pun sepi.
Dika turun dari mobilnya, berjalan menuju tempat-tempat penjual buku-buku bekas yang ada di Merdeka Walk. Namun tidak ia temukan seseorang yang ia cari. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat matanya tertuju pada seorang gadis berkerudung abu-abu dengan gamis berwarna navi, ia sedang duduk di kursi panjang sembari melihat anak-anak kecil bermain ayunan.
"Jangan nangis sesegukan begitu, nggak malu dilihat orang, nih aku bawakan tisu."
Gadis itu seketika menyeka air yang menetes di pipinya. Ia hanya melirik, namun tidak berkata sedikit pun.
"Apa yang membuat redaktur cerpen ini menangis? Apa kisah-kisah yang dikirim para sastrawan Medan terlalu menyedihkan untukmu? Atau terlalu menyakitkan untukmu? Jahat sekali mereka yang sudah membuat awan mendung di wajahmu." Ucap Dika sembari duduk di sampingnya. Namun Nara tetap saja diam, ia hanya melirik Dika dengan sudut matanya.
"Dari mana kamu tahu aku di sini?" Tanya Nara. Dika pun hanya tersenyum sinis, kemudian tertawa ringan.
"Hanya aku Nara yang tahu di mana tempat-tempat kamu bersemedi. Kalau nggak di sini ya di toko buku, sudah sesimpel itu."
"Apa cerpen-cerpen itu menyakitimu?" Dika kembali bertanya, kali ini ia bertanya sambil menyodorkan kacang rebus yang ia beli sebelum bertemu Nara. Nara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa cerpen-cerpen itu mengajarkanmu untuk bermuka jelek seperti ini?" Dika mulai mengejek Nara. Nara meliriknya tanpa berkata sepatah pun. Dika pun terdiam beberapa saat membiarkan Nara yang terus bungkam tanpa menjawab pertanyaannya.
"Aku gagal ta'aruf lagi, pemuda yang bernama Dhapa itu menolak ku, ia mengembalikan CV. Ta'aruf milikku, dan di saat bersamaan itu pula Mbak Elnita kembali membahas perjodohan gila itu, membuat aku semakin sedih."
Dika pun tercengang, ini adalah CV. Ta'aruf Nara yang kedua yang tertolak. Satu bulan yang lalu Nara begitu antusias mengisi CV. Ta'aruf itu, bahkan Dika pun ambil andil di dalamnya untuk membuat CV. Ta'aruf itu menjadi semakin menarik dan indah, dengan format penulisan yang ia buat. Tapi mengapa ditolak lagi, apa seluruh pemuda di sini buta, hingga mereka tidak dapat melihat kecantikan dan kebaikan yang terpancar di diri Nara? Batin Dika terus bertanya-tanya, ingin sekali ia menyeka setiap tetes air mata yang mengalir di pipi Nara. Tapi mana bisa, Nara pasti menolaknya.
"Perjodohan gila itu membuat aku benar-benar gila Kak Dika, kenapa di saat semua CV. Ta'aruf ku ditolak, disaat itulah perjodohan gila itu semakin menjadi-jadi, mereka semua seakan-akan membabi buta ingatanku, mereka jahat Kak Dika." Tuturnya kembali, kali ini tanpa sadar kepala Nara sudah bersandar di pundak Dika. Dika pun menelan ludahnya dengan dalam sampai-sampai terlihat jakunnya bergerak.
"Sabar, tenangkan pikiranmu, kamu pasti bisa dapat pasangan tanpa harus pacaran, ada aku yang selalu bersamamu, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu." Jelas Dika yang berusaha menenangkan hati Nara, kemudian batinnya kembali berkata "Hanya aku Nara, hanya aku yang tahu akan kebaikan yang terpancar dalam dirimu, hanya aku yang memahami, bersandarlah Padaku Nara jika itu membuatmu tenang." Ucap batin Dika, kemudian Dika menyeka air matanya tanpa sepengetahuan Nara.
Nara mulai sadar bahwa selama beberapa menit pundak Dika menjadi sandaran kepalanya. Dan beberapa menit pula Dika tak bergerak sedikit pun.
"Astagfirullah, Maaf Kak Dika. Nggak sepantasnya aku bertindak seperti itu." Jelas Nara yang tersipu malu.
"Nggak papa, lakukanlah apa yang membuatmu senang." Jelas Dika sembari bangkit kemudian mengulurkan tangannya.
"Ayo bangkit, sudah adzan magrib, kita cari masjid dekat sini, terus aku antara kamu pulang ke rumah. Aku yakin, Bibi dan Paman sudah sangat merindukanku." Celoteh Dika.
"Bibi dan Paman? Sejak kapan aku jadi sepupumu?" tanya Nara sambil menatap Dika.
"Ya, kalau Ibu dan Bapak, sejak kapan aku jadi anak mereka? kan aku belum menikahi anak mereka jadi aku belum menjadi anak merekalah." Jelas Dika kembali. Nara kembali menatap Dika sembari tersenyum dengan menampakkan gigi taringnya.
"Jangan menatapku seperti itu, nanti aku jadi jatuh cinta sama kamu Ra, atau nanti kamu lagi yang jatuh cinta dengan ketampanan aku." Celoteh Dika kembali.
Nara pun tertawa lepas sepanjang jalan menuju parkiran mobil. Menikmati senja yang menyilaukan matanya. Namun perlahan menghangatkan hatinya, Dika pun terus memberikan celotehan-celotehan kecil agar Nara tertawa. Setidaknya ia dapat melupakan sedikit kesedihannya.
***
*Assalamualaikum Sahabat Nara. Selamat membaca perjalanan kisah cinta Nara ya. Nara siap membuat kamu baper di setiap membacanya. Oya, jangan lupa tinggalkan jejak cintamu ya. Dengan cara, LIKE AND COMENT cerita ini.
Karena Like dan Comentmu berharga banget buat Nara. hihihihi
Semoga Suka*.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
TiiehAtieh
like thor
2021-04-18
0
Little Peony
Like like like
2021-03-28
1
Anila Aninditya
💜💜💜
2021-02-23
1