Happy Reading❣
...“Aku terus mencintaimu sepanjang waktu, sampai matahari memilih tenggelam ketika tiba saatnya. Meski ketika mendekat, yang kudapatkan hanyalah kata-kata kasar yang tak hentinya kamu ucapkan.”...
...~Natasya Quiella Natapraja~...
Tasya dan kedua temannya tampak asik duduk anteng di tribun lapangan basket, menonton para anak basket yang tampak sedang latihan. Iya, salah satu pemainnya adalah Vino. Lelaki tampan idaman kaum hawa, dan lelaki incaran Tasya.
Tasya tampak tak mengalihkan pandangannya dari pertandingan, dia begitu antusias melihat Vino bermain basket dengan lihainya. Arin tampak acuh, bahkan dia tak memedulikan permainan basket yang sedang berlangsung di hadapannya, gadis itu justru lebih terlihat asik dengan layar ponselnya. Lala, gadis itu juga menonton pertandingan dengan sesekali memasukkan keripik yang berada di pangkuannya ke dalam mulut.
Di tengah lapangan basket, Vino tampak sedang menyeka keringatnya menggunakan punggung tangan, membuat beberapa kaum hawa menjerit kegirangan. Kalian tentu tahu penyebabnya. Jika sudah tampan dari lahir, mau berkeringat, atau memakai pakaian gelandangan sekalipun, pasti masih akan tetap terlihat tampan.
“Aaa, Vino makin ganteng aja deh kalau keringetan kayak gitu!”
“Vino, sini aku usapin keringatnya!”
“Vino kalau keringetan gantengnya makin nambah. Nggak kayak si doi, kalau keringetan malah kelihatan tambah buluk!”
Iya, begitulah ocehan-ocehan yang terdengar dari mulut beberapa kaum hawa yang juga sedang menonton pertandingan basket, membuat Tasya hanya memutar bola matanya malas.
Akhirnya permainan basket pun berakhir. Seketika Tasya bangkit dari duduknya sambil membawa sebotol mineral yang sedari tadi berada di genggamannya. Dia langsung berjalan menghampiri Vino yang berada di pinggir lapangan, meninggalkan kedua temannya.
“Vin!” panggil Tasya.
Vino menoleh sekilas ke arah Tasya lalu berjongkok membenarkan tali sepatu miliknya yang terlepas. Setelah memastikan tali sepatunya sudah terpasang dengan benar, dia kembali berdiri, berhadapan dengan Tasya.
Tasya menyodorkan botol air mineral. “Nih, gue tau lo haus.”
Vino dengan wajah dinginnya menatap Tasya datar.
“Lo nggak capek?”
Kening Tasya membentuk sebuah kerutan, dia menatap bingung ke arah Vino.
“Capek kenapa?”
“Lo nggak capek ngejar-ngejar gue, padahal gue nggak pernah balas perasaan lo? Lo terkesan kayak murahan, hobinya ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas nggak suka sama lo,” ucap Vino penuh penekanan di akhir kalimatnya, membuat nyeri di ulu hati Tasya.
Napas Tasya tertahan, seakan-akan nyawanya ditarik paksa saat itu juga. Dia menurunkan tangannya yang sedari tadi menyodorkan botol untuk Vino. Tasya tersenyum miris, yang seakan mewakili perasaannya saat ini, lalu berkata,
“Apa lo nggak bisa menyisihkan sedikit aja rasa sayang lo buat gue? Bahkan sejak awal gue ngedeketin lo, lo selalu abaikan gue.”
“Udah tahu gue abaikan, masih aja ngejar-ngejar. Lo terkesan lebih murahan daripada ****** bayaran."
Cukup, cukup sudah Vino mengatai Tasya dengan sebutan murahan. Perempuan mana yang tak sakit hati saat dikatai murahan, apalagi dengan orang yang disayang? Jika ada, berarti kalian hebat.
“Lo boleh abaikan gue, tapi setidaknya jangan hina gue ...,” ucap Tasya lirih, entah bisa terdengar atau tidak oleh Vino. Perlahan Tasya mulai melangkah mundur ke belakang, lalu membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya. Mengabaikan kedua sahabatnya yang berteriak memanggil namanya.
Tasya berhenti di taman belakang sekolah, dia duduk di bangku panjang. Tasya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pertahanannya runtuh sudah. Bahunya bergetar hebat, yang berarti sang empu tengah menangis sejadi-jadinya.
Kenapa mencintai harus sesakit ini? Kenapa jatuh cinta harus sesakit ini? Apakah benar cinta hanyalah sebuah luka? Oh Tuhan, ini sakit. Hati Tasya sakit Tuhan. Gue capek, kenapa hati gue harus jatuh pada orang yang sama sekali nggak ada rasa sama gue?
Batin Tasya terus timbul berbagai pertanyaan. Jika bisa memilih, dia tidak ingin jatuh cinta. Jatuh cinta hanyalah jatuh pada lembah luka, lembah kekecewaan. Saling memiliki dan dicintai hanyalah sebuah keberuntungan, ya itulah pemikiran Tasya saat ini.
Tring!
Tasya sudah tak peduli dengan bel yang berbunyi nyaring itu. Perasaannya sedang hancur berkeping-keping, tanpa tahu bagaimana caranya agar bisa utuh kembali, walau perasaannya memang sudah hancur sedari dulu. Hatinya bagai ditusuk oleh ribuan jarum, atau bahkan lebih sakit daripada itu.
“Enggak, lo nggak boleh lemah! Ingat, Sya! Lo itu cewek yang kuat, lo bisa hadapin ini semua. Lo nggak boleh nyerah, lo bisa!” batin Tasya menyemangati diri sendiri.
Bisakah dia berjuang kembali? Ataukah perjuangannya hanya sampai sini? Namun, jika dipikir-pikir kembali, dia berjuang sudah terlalu lama, apakah Tasya harus berhenti tanpa membuahkan hasil, yaitu sebuah kebahagiaan, bukan sebuah luka seperti yang saat ini sedang singgah dihatinya. Walau kebahagiaan itu hanyalah sebuah keberuntungan.
Dengan cepat Tasya menghapus air mata yang masih saja lolos dari mata indahnya. Dia kembali menyemangati dirinya sendiri. Tasya tak mau usahanya selama ini gagal. Dia akan berjuang kembali. Namun, apakah dia bisa? Apakah dia akan sanggup? Atau memutar balik arah dan berhenti lalu menyerah? Tasya menghela napasnya pelan.
Puk!
Seseorang menepuk pundak Tasya pelan. Tasya langsung menoleh ke arah seseorang yang menepuk pundaknya. Terdapatlah Alvan yang sedang duduk di sampingnya.
“Enggak masuk kelas?” tanya laki-laki itu, yang hanya dibalas gelengan oleh Tasya. “Kenapa?” tanya Alvan to the point. Dia tahu, ada yang tidak beres dengan adiknya saat ini. Terbukti dari mata sembab gadis itu.
“Abang kenapa bisa di sini? Inikan udah bel?” tanya Tasya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa?” tanya Alvan sekali lagi.
Tasya hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia tak mau membuat abangnya itu khawatir. Padahal melihat keadaannya saat ini saja sudah membuat Alvan khawatir setengah mati terhadap Tasya.
Karena Tasya tahu, jika Alvan mengetahui penyebab Tasya menangis, Alvan akan marah besar.
“Jujur sama Abang, kamu kenapa? Gara-gara Vino lagi?” tanya Alvan, seakan paham apa yang membuat adiknya ini menangis.
Tasya hanya menunduk, tak berani menatap manik mata Alvan. Tasya tak sanggup, dia tak sanggup jika nanti melihat Alvan murka kepada Vino.
Tangan Alvan terulur mengangkat dagu Tasya, mendongakkan kepala gadis itu agar menghadap ke arahnya.
“Kenapa sih, lo masih aja perjuangin manusia kayak Vino itu? Berhenti berjuang buat dapatin dia, Dek! Cari pria lain kek, laki-laki nggak cuma dia doang di dunia ini.”
Tasya menggeleng, tak menyanggupi permintaan sederhana dari Alvan, tetapi terasa sangat berat baginya.
“Bang, Tasya udah sayang sama Vino sejak kelas sepuluh. Kalo Tasya berhenti berjuang, lalu apa hasilnya perjuangan Tasya selama ini? Tasya nggak mau perjuangan Tasya selama ini sia-sia, Bang.” Tak terasa, bulir air mata kembali mengalir deras di pipi Tasya.
“Enggak begini, Dek, lo sama aja nyakitin diri lo sendiri. Lepasin dia, orang kayak gitu nggak pantas diperjuangin,” tutur Alvan sambil menghapus air mata adiknya itu.
Tasya menggeleng. “Semua orang pantas diperjuangin, Bang. Sekalipun dia adalah orang brengsek. Biarin gue berjuang sekali lagi. Bang. Kalau sekali ini gagal lagi, gue bakalan berhenti.”
Alvan hanya bisa merengkuh tubuh adiknya itu ke dalam pelukannya. Dia mengelus rambut Tasya lembut. Dia sangat sayang dengan Tasya. Tasya adalah perempuan kedua yang disayanginya setelah bundanya. Alvan tak ingin melihat Tasya terus merasakan yang namanya kecewa karena cinta. dia hanya ingin melihat adik kesayangannya ini bahagia. Dengan melihat Tasya bahagia, Alvan juga pasti akan ikut bahagia.
To be continue ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Peri Cantik
smngt kakkkk
2021-02-11
1