Chapter 3

Happy reading❣

...“Sepertinya semesta sangat sulit untuk membiarkan penghuninya menikmati kebahagiaan, buktinya selalu ada mendung yang dapat menghadang di tengah cerahnya bahagia.”...

...~MDHD~...

Ketenangan itu didapat tatkala matanya memandang ke arah langit dan membayangkan jika sang mama ada di sini, menemaninya, dan mengusap punggungnya. Sekadar mengatakan “Mama ada di sini, denganmu, untukmu”, tentunya akan membuat hati menjadi lebih siap untuk menerima semua tantangan hidup.

Namun, bagaimana jika ketenangan itu hanya sekadar imajinasi? Hanya mimpi? Ya, mimpi yang tak ingin diakhiri. Akan tetapi, pada kenyataannya semesta memang tak pernah membiarkan penghuninya menikmati kebahagiaan dalam waktu yang lama. Ketenangan itu pasti akan diusiknya, atau parahnya lagi, keterangan itu akan diporak-porandakan, hingga tak ada lagi hal yang mampu membenahinya dan mengembalikannya seperti semula.

Vino menghela napas panjang. Lelaki itu berdiri di depan balkon dengan rokok yang berada di sela kedua jarinya. Dia menghisap benda bernikotin itu, kemudian mengembuskan asapnya secara perlahan, berharap segala emosi yang masih membuncah di dadanya dapat tertawa oleh asap yang dia embuskan.

“Terus-terusan aja nuntut gue biar jadi kayak Bang Gilang. Kenapa Papa nggak pernah ngertiin keinginan gue?” gumamnya. Ternyata emosi itu masih saja ada.

Ceklek!

Pintu kamarnya terbuka, tetapi Vino enggan menoleh, sekadar hanya untuk melihat siapa yang dengan berani memasuki kamarnya.

“Vin!” panggil seseorang dengan diiringi langkah kali, dapat Vino ketahui bahwa orang itu sedang berjalan mendekatinya.

“Ngapain lo ke sini?” ketus Vino lalu kembali menghisap rokoknya.

“Buang barang itu!” tegas Gilang, tak terbantahkan.

Vino berbalik, dia menghadap pada Gilang yang sudah berdiri di hadapannya. Bukannya mendengarkan, Vino justru mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya tepat di depan wajah Gilang, yang seketika itu saja membuat Gilang terbatuk-batuk. Vino tahu, bahkan sangat tahu, bahwa Gilang begitu anti dengan asap rokok. Jangankan mengisapnya, menghidup asapnya saja sudah berhasil membuat laki-laki itu terbatuk-batuk.

“Peduli apa lo sama gue?”

“Gue bilang buang barang itu!” Tak menghiraukan pertanyaan adiknya, Gilang kembali mengulang perintahnya setelah batuknya reda.

Kali ini Vino menurut, dia membuang putung rokoknya lewat balkon kamar. Lantas, matanya menatap tajam ke arah Gilang.

“Lo sama Papa sama aja, ya! Sama-sama suka merintah gue seenaknya. Gue cuma boneka kalian ya? Haha ....” Vino tertawa hambar. Dia kemudian berbalik, kembali pada posisinya. “Sejak Mama meninggal, gue nggak pernah lagi ngerasain yang namanya keluarga harmonis. Keluarga harmonis itu cuma ada di film yang pernah gue tonton. Realitanya, keluarga harmonis itu bullshit,” lanjutnya sambil menatap datar ke arah Gilang.

“Kita semua sayang sama lo. Gue, Papa, cuma pengin yang terbaik buat lo!” tegas Gilang sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Vino.

“Kebaikan gue apa kebaikan lo sama Papa, hah?! Papa selalu aja ngebeda-bedain gue sama lo! Papa selalu nuntut biar gue bisa kayak lo. Pada kenyataannya, gue nggak pernah lebih baik dari lo di mata Papa. Di mata Papa, gue ini selalu salah, dan selamanya akan tetap begitu ...,” ucap Vino dengan nada lirih di akhir kalimatnya. Dengan beraninya air mata pria itu mulai mengalir dari pelupuk matanya.

Gilang menarik Vino ke dalam dekapannya sambil menepuk-nepuk punggung adik laki-lakinya itu pelan.

“Gue capek, Bang. Gue capek selalu diatur kayak gini, Papa selalu ngatur-ngatur keinginan gue, gue juga pengin nentuin pilihan gue kayak anak-anak lain.”

“Maka dari itu, buktiin ke Papa kalau lo bisa jadi lebih baik dari gue. Gue tahu cara Papa buat lo lebih baik itu salah, tapi percaya sama gue, Papa itu sayang sama lo. Papa cuma nggak pengin kalau masa depan lo hancur nantinya,” tutur Gilang sambil memegang kedua pundak Vino, jangan lupakan senyum tulus yang terpancar di wajahnya.

Dia tak suka melihat wajah rapuh adiknya. Dia merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik jika mendapati adiknya dalam posisi rapuh seperti ini.

“Ya udah, sekarang lo istirahat. Nanti kalau udah waktunya makan malam, gue bangunin lo,” lanjut Gilang lalu meninggalkan Vino di kamar.

Sepeninggal Gilang, Vino mengusap kasar wajahnya, lantas berjalan menuju ranjangnya. Dia membanting tubuhnya di atas ranjang.

“Gue nggak tahu, Bang. Sampai kapan pun gue nggak bakalan bisa lebih dari lo. Lo itu orang tertulus yang pernah gue temuin di dunia ini. Lo itu selalu unggul di mata Papa, sedangkan gue selalu kalah sama lo,” monolognya, lalu perlahan mulai memejamkan matanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tok-tok-tok!

Alvan mengetuk pintu kamar Tasya, bertujuan untuk membangunkan adiknya agar makan malam terlebih dahulu. Mengetahui tak ada tanggapan dari pemilik kamar, Alvan pun memutuskan untuk langsung masuk saja. Sepertinya, adiknya itu tertidur.

Ceklek!

Benar saja seperti dugaannya, Tasya masih berdamai dengan alam mimpinya dengan seragam yang tentunya belum diganti oleh gadis itu.

Alvan menghampiri Tasya, dia duduk di tepi ranjang milik Tasya.

“Dek, bangun, Dek!”

Tasya menggeliat, lalu perlahan mengerjapkan matanya.

“Iya, Bang, kenapa?” tanyanya dengan suara khas orang bangun tidur.

“Kebiasaan kalau pulang sekolah nggak langsung ganti baju, malah langsung tidur. Mandi dulu sana, habis itu makan malam.”

“Tasya masih ngantuk, Bang.”

“Buruan, Ayah sama Bunda udah nunggu di meja makan tuh,” ucap Alvan, menunjuk luar pintu kamar dengan dagunya.

Dengan malas Tasya mulai bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandi guna membersihkan diri.

Sepuluh menit lamanya, akhirnya Tasya telah selesai mandi dan menggunakan piyama bermotif Keroppi kesukaannya. Dia mulai melangkah menuruni tangga, berjalan ke dapur menghampiri anggota keluarga yang telah menunggunya sejak tadi.

“Malam, Ayah, Bunda, Bang Al!” sapa Tasya dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya. Lantas, duduk di salah satu bangku meja makan.

“Baru bangun, Dek?” tanya Rafa, melirik sekilas ke arah putri bungsunya itu.

“Hehe iya, Yah.”

🎀

Saat ini, Tasya sedang berbaring di ranjangnya setelah selesai mengerjakan tugas matematika yang akan dikumpulkan besok.

“Huh, ngapain, ya enaknya?”

Tangannya terulur mengambil ponselnya yang berada di balas dekat ranjangnya.

Nah, lebih baik dia mengganggu Vino saja. Tasya mulai mengetikkan sebaris kalimat di layar ponselnya, lalu menekan tombol send, mengirimnya ke Vino.

^^^Anda^^^

^^^Malam Vino (read)^^^

^^^Vino kok cuma read sih (read)^^^

^^^Penguin balas dong (read)^^^

^^^Serasa chatting sama artis (read)^^^

^^^Vino!! (read)^^^

“Haih, ngeselin nih anak. Hobinya nge-read mulu,” monolog Tasya kemudian kembali mengetikkan sesuatu di sana.

^^^Anda^^^

^^^Lo tahu g karma orang yang suka banget nge-read chat orang lain tanpa ada niatan balas?(read)^^^

^^^Nanti jenazahnya cuma dilihatin doang, nggak bakalan dikubur (read)^^^

Vino Ganteng

Ap? (read)

^^^Anda^^^

^^^Giliran balas singkat banget sumpah. Gini ya gue bilangin. Lo itu kalau gue chat harusnya bersyukur, jadi WA lo kagak sepi-sepi amat (read)^^^

“Vino ngeselin, seneng banget bikin gue darting. Dahlah gue mau bocan aja.”

Kemudian Tasya memejamkan matanya, niat tidurnya gagal gagal saat terdengar dering ponselnya. Dia segera mengangkat ponselnya di depan wajahnya, siapa tahu Vino, bukan? Hehe, berharap sedikit tak apa, bukan?

Senyum di bibirnya seketika memudar kala tahu siapa yang menelponnya.

...Arin soplak...

...Is calling......

Dengan ogah-ogahan, Tasya mulai mengangkat telepon dari sahabatnya itu.

“Kenapa?” tanyanya malas.

“Kenapa suara lo kayak orang mager?”

“Berisik, ada apa?”

“Nggak papa sih, ngetes doang, siapa tahu lo udah gila.”

“Nggak jelas banget sih lo.”

Tut-tut-tut!

Dengan kesal Tasya segera mematikan sambungan teleponnya. Malas sekali rasanya meladeni Arin yang tingkat kegabutannya kelas kakap.

Ponselnya kembali berdering. Taysa segera mengangkat tanpa mau melihat siapa yang menelponnya.

“Ada apa lagi sih, ganggu aja lo!” geram Tasya, usai menempelkan ponselnya di telinga.

“Kamu kenapa, Tasya?”

Eh ini bukan suara Arin, ini kayak suaranya ..., batin Tasya, lantas Tasya melihat siapa peneleponnya. Nahkan benar saja, ini Bang Gilang bukan Arin.

“Hehe maaf, Bang, tadi Tasya kira ini Arin.”

Terdengar suara tawa dari Gilang.

“Oh, nggak papa, kirain kamu kenapa tiba-tiba marah-marah.”

“Hehe sekali lagi maaf, ya, Bang. Soalnya Tasya kesel, si Arin nelepon nggak guna banget.”

“Iya nggak papa, Sya. Btw kamu udah makan?”

“Udah, Bang, baru aja selesai makan.”

“Besok berangkat mau bareng sama Abang?”

“Boleh, irit ongkos. Bang alvan kayaknya juga besok nggak sekolah.”

“Lah kenapa?”

“Ada urusan katanya, nggak tahu deh urusan apa.”

“Oh, ya udah. Kamu tidur gih, biar besok nggak telat.”

“Ya udah Tasya matiin, ya, Bang teleponnya? Selamat malam abang Gilang.”

“Malam juga, Tasya.”

Tut-tut-tut!

Tasya menaruh kembali ponselnya di atas nakas.

“Coba aja Vino nggak datang, pasti sampai sekarang Tasya masih suka sama Bang Gilang sepenuh hati. Sekarang mah cuma tersisa perempat doang hati Tasya buat bang Gilang. Selebihnya udah buat Vino,” gumam Tasya lalu memejamkan mata, hendak berdamai dengan alam mimpinya.

To be continued ....

Terpopuler

Comments

Peri Cantik

Peri Cantik

semangat kak, next part nya ditunggu

2021-01-25

2

Peri Cantik

Peri Cantik

jangan sedih Vino

2021-01-25

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!