Chapter 2

Happy Reading❣

...“Setiap anak punya potensi dan kemampuannya masing-masing. Kamu tidak bisa memaksa ikan untuk memanjat seperti monyet, dan kamu tidak bisa memaksa ayam agar dapat terbang setinggi mungkin. Hargai yang kamu miliki, sebelum hal itu menjadi sebuah senjata makan tuan yang akan menikammu di masa depan.”...

...~MDHD~...

Dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku celana, juga tangan kiri yang memegang tas yang disampirkan di pundaknya, Gilang tampak berjalan santai . Tujuannya kali ini adalah kelas Tasya, tentunya untuk menghampiri gadis itu.

“Sya!” panggilnya, tatkala telah berdiri di ambang pintu kelas Tasya.

Tasya menoleh ke sumber suara.

“Bentar lagi, Bang!”

Sambil menunggu Tasya yang tampaknya sedang membereskan alat belajarnya, Gilang memainkan ponselnya sebentar guna mengusir kebosanannya. Tak lama kemudian, Tasya pun datang dengan tas yang sudah tergendong di punggungnya.

“Ayo, Bang!” Tasya menarik lengan Gilang agar berjalan dengan cepat. Padahal, sebenarnya dia yang membuat lambat.

Gilang hanya mampu menggeleng melihat kelakuan Tasya dengan senyum yang mengembang mengembang pada kedua sudut bibirnya. Dia senang melihat senyum dan tawa gadis itu, apalagi jika disebabkan karenanya.

Namun, baru beberapa langkah dari pintu kelas, sudah ada saja yang memanggil nama mereka. Ah ralat, hanya Tasya saja.

“Tasya!” teriak seorang gadis sambil berjalan menyusul mereka, diikuti oleh satu gadis lainnya di sampingnya.

“Eh, Rin, La. Maaf, ya nggak nungguin kalian tadi, hehe. Soalnya gue mau ke kedai es krim sama Bang Gilang,” ucap Tasya sambil senyum seolah-olah tak merasa bersalah. “Ya udah deh, kita duluan, ya! Dadah, ketemu besok, Lala, Arin!” Tasya melambaikan tangannya ke arah dua sahabatnya yang hanya bisa saling pandang.

Gilang dan Tasya pun berjalan sambil sesekali melontarkan percakapan. Hingga tak terasa mereka telah tiba di parkiran. Keduanya melangkah menuju mobil milik Gilang.

Gilang membukakan pintu mobil untuk Tasya. Terlihat begitu perhatian, bahkan pria itu juga menjaga kepala Tasya agar tak berbenturan dengan bagian mobil.

“Makasih, Bang Gilang.” Tasya tersenyum setelah duduk tenang di kursi samping kemudi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Es krim rasa vanila kayak biasa, ‘kan?” tanya Gilang memastikan.

Tasya mengangguk cepat dengan mata berbinar bahagia. Terlihat seperti anak kecil yang begitu antusias ttakala mendapatkan hal yang mereka inginkan.

“Wah, Bang Gilang selalu tau kesukaannya Tasya.”

“Harus dong.” Gilang tersenyum jemawa, lantas berjalan untuk memesan es krim untuk mereka.

Sambil menunggu Gilang kembali, Tasya mengambil ponselnya yang berada di dalam tasnya. Tujuannya adalah untuk menghubungi abangnya, bahwa dia pulang terlambat karena mampir ke kedai dulu. Gadis itu belum sempat memberi kabar kepada sang abang.

“Chat sama siapa sih, asik banget kayaknya?”

Pertanyaan itu membuat Tasya mendongak, dia menatap Gilang sambil tersenyum kecil.

“Oh ini, Bang, Tasya lagi ngabarin Bang Al.”

Gilang mengangguk paham, kemudian menyodorkan se-cup es krim ke arah Tasya.

“Makasih, Bang.” Gilang hanya mengangguk lagi. Keduanya kemudian memilih untuk menghabiskan es krim mereka, sebelum benar-benar mencair dan tak lagi nyaman untuk dinikmati.

Beberapa saat setelahnya, es krim yang mereka nikmati pun telah habis.

“Pulang sekarang?”

Tasya tak menjawab, perempuan itu justru lebih dahulu menatap jam yang melingkar sempurna di lengan kanannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.

“Iya, Bang. Udah jam segini ternyata.”

“Ya udah, ayo,” ajak Gilang. keduanya lantas kembali memasuki mobil Gilang, dan memulai perjalanan ke rumah Tasya.

Hanya perlu waktu selama 15 menit, mobil Gilang pun telah berhenti di depan rumah Tasya.

“Abang duluan, ya, Tasya,” pamit Gilang sambil masih setia memegang setir.

“Enggak mampir dulu, Bang?” tanya Tasya sambil menoleh pada sang lawan bicara.

Gilang menggeleng.

“Enggak deh, udah sore soalnya. Lagian masih banyak tugas di rumah.”

“Hati-hati dijalan, Bang!” pesan Tasya. Perempuan itu lantas turun dari mobil dan melambaikan tangan kepada Gilang.

Gilang mengangguk lalu menghidupkan mesin mobilnya dan mulai mengendarainya kembali, setelah menekan klaksonnya.

Setelah mobil Gilang sudah tak terlihat lagi di pandangan matanya, Tasya pun berbalik. Dengan gontai gadis itu berjalan memasuki rumah kediaman keluarganya.

“Assalamu'alaikum, Ayah, Bunda, Bang Alvan. Adek pulang.” Tasya mengucapkan salam seiring langkahnya memasuki rumah.

“Waalaikumussalam. Adek dari mana?” tanya Tera yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi.

Tasya menghampiri sang mama, lalu meraih tangan wanita itu dan menciumnya.

“Tadi habis beli es krim sama bang Gilang, Bun,” sahutnya, yang dibalas anggukan kecil dari sang mama. “Oh iya, Bun. Bang Alvan mana?” lanjutnya, menanyakan keberadaan abangnya.

“Kayaknya lagi di kamar istirahat, tadi bilang sama bunda katanya capek.”

Tasya mengangguk paham.

“Kalau gitu, Tasya ke kamar dulu, ya, Bun.”

Setelah mendapat anggukan dari bundanya, Tasya melangkah menuju kamarnya.

Sampai di kamar, gadis itu segera menggantung tasnya di dekat lemari lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa ada niatan untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Gilang memarkirkan mobilnya di garasi rumah, tepat berada di samping motor sang adik. Sejenak lelaki itu mengembuskan napas kasar saat keributan dari kediamannya itu kembali terdengar. Bukan ini yang dia harapkan. Hampir setiap saat, keributan itu selalu menyambut kepulangannya. Dan, parahnya lagi, dia harus menjadi penengah di antara dua orang laki-laki berbeda usia yang hampir setiap saat beradu argumentasi itu.

Setelah merasa dirinya lebih tenang dan siap, Gilang pun turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Siap tidak siap, dia memiliki tanggung jawab agar perseteruan antara ayah dan adiknya itu cukup sampai di sini, walau dia yakin, besok pasti akan ada episode baru lagi.

“Kenapa kamu nggak pernah berubah sih, selalu saja berbuat onar di sekolah?” tanya seorang pria paruh baya yang sedang memarahi anak bungsunya dengan nada geram.“Harusnya kamu contoh abangmu itu. Dia nggak pernah berbuat onar,” lanjutnya dengan amarah yang makin menjadi-jadi, terlihat jelas dari warna wajahnya yang kian memerah.

“Pa, ini aku bukan Bang Gilang. Kita memang saudara, tapi kita nggak sama, Pa. Kita beda! Terus aja Papa beda-bedain aku sama Bang Gilang. Pada kenyataannya aku selalu salah di mata Papa. Papa terus nuntut aku biar bisa kayak Bang Gilang, tapi aku nggak bisa, Pa. Ini diri aku. Papa nggak bisa paksain aku buat jadi orang lain ...,” sahut anak yang dimarahi dengan suara yang semakin melemah di akhir kalimatnya.

Dia benci dibeda-bedakan, dia benci dituntut agar mau menuruti keinginan orang lain dan mengorbankan keinginannya. Dia tak pernah membenci papanya, yang dia benci adalah sifat sang papa yang selalu saja menuntutnya agar menuruti semua keinginan pria itu.

“Udahlah, Vino capek ngomong sama Papa!” ucapnya. Dia mengambil tasnya yang tergeletak di lantai, lalu pergi meninggalkan Bagas yang menghela napas sambil mengusap wajahnya kasar.

Sedangkan Gilang, dia masih setia berdiri di ambang pintu. Entah sudah berapa ratus kali dia menyaksikan pemandangan seperti ini. Semua bisa terselesaikan, asal ada kesadaran dari diri dua laki-laki itu sendiri. Bagas dengan kesadarannya bahwa tak semua anak harus memiliki potensi dan kemampuan yang sama, dan Vino dengan kesadarannya agar berhenti membuat ulah.

Mereka memang saudara kandung , tetapi selama ini Gilang tak pernah benar-benar dekat dengan Vino, walaupun berada dalam satu atap yang sama. Bahkan, di sekolah pun tak ada yang tahu bahwa dia adalah abang kandung dari seorang Arvino, sebab Gilang selalu menyingkat nama marganya. Bukan malu, hanya saja Gilang lebih nyaman berlaku seperti itu.

“Pa!” panggil Gilang sambil berjalan menghampiri sang papa yang tengah menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil memijit pelipisnya dengan mata yang terpejam.

“Iya, Lang?” sahut Bagas, tanpa mengubah posisi duduknya.

“Papa nggak seharusnya beda-bedain Gilang sama Vino. Kasihan Vino, Pa. Dia berhak buat menentukan pilihannya, keinginannya. Vino udah besar. Vino udah SMA, Vino bukan anak kecil lagi,” tutur Gilang tatkala sudah duduk di samping Bagas.

“Papa cuma nggak mau masa depan Vino berantakan, Nak. Kamu tau bagaimana perangai adikmu, ‘kan? Papa atur aja dia seperti ini, apalagi kalau Papa biarkan, jadi apa nanti dia?”

“Tapi, Pa. Kasihan Vino, dia pasti tertekan.”

“Udah-udah, sekarang kamu ganti baju, terus istirahat, Papa juga mau istirahat, Papa capek.”

Gilang hanya menghembuskan napas pelan. Beginilah setiap dia berusaha berbicara kepada papanya agar tidak terlalu menekan Vino. Gilang tahu, papanya ini ingin yang terbaik untuk anaknya, hanya saja caranya yang salah. Semenjak mamanya meninggal, papanya ini menjadi lebih tegas pada anak-anaknya. Dia selalu ingin anaknya menjadi orang-orang yang pandai.

“Ya udah, Gilang ke kamar dulu ya, Pa. Papa istirahat. Jangan capek-capek.” Bagas hanya mengangguk, kemudian Gilang berjalan meninggalkan Bagas di ruang utama.

To be continued ....

Terpopuler

Comments

Peri Cantik

Peri Cantik

semangat kakak

2021-01-25

1

Peri Cantik

Peri Cantik

yang sabar vino, aku padamu, xixi

2021-01-25

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!