BAB 4

Lalu entah bagimana caranya ia bisa merasakan tangan kekar sedang memboyong tubuhnya kearah yang ia sendiripun tidak mengetahuinya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu, ia merasakan ada cucuran air yang keluar dari rongga hidungnya.

“Bawa kerumah saya aja pak, dekat dari sini” Suara akrab itu terdengar bening di telinganya sebelum pada akhirnya ia tak sadarkan diri dan berlalu ke dalam alam entah berantah.

***

“Aww sakit!” Ia meringis nyeri saat benda berbulu tipis menyentuh permukaan kulitnya. Berulang kali ia mengerjapkan mata, meyakinkan dirinya bahwa ia masih mencaplok udara segar di planet bumi.

“Sabar ya sedikit lagi.” Irene kaget bukan kepalang, serasa ia sedang mencicipi mimpi siang bolong. Wajahnya mengerut cengang, berbisik heran di dalam hati.

“Apa? Bagimana aku bisa bersama mereka?” Ia mengedarkan pandangan. Menatap ketat rombongan orang yang tengah mengerumuninya. Dan laki-laki itu…

“Kamu?” Lirihnya seraya membidikkan jari telunjuk.

“Kenapa aku bisa ada di- aww.” Seketika kepalanya serasa melilit, alamnya membawa ia pada kejadian pukul tujuh tadi.

Suasana hening, semua orang masih kalut menonton cairan merah kental yang mengucur dari pelipis kiri gadis apes itu. Lekat, sampai pada akhirnya beberapa dari mereka membuka suara untuk pamit dari kerumunan itu, yang tersisa hanya tiga. Irene, lelaki itu dan perempuan yang ditemuinya di taman beberapa tempo lalu.

“Mbak ada di rumah saya. Lain kali kalau lagi berkendara jangan main ponsel ya mbak biar ga jatuh kaya tadi.”

Byurrr

Hati Irene serasa dihujani oleh kembang merah dari atas bukit. Nafasnya memburu disempurnai dengan jantungnya yang berpacu. Ia terpaku, menatap intens bola mata yang sesekali meliriknya dari sudut ranjang.

“Apa? Dia bicara padaku?” Greget Irene semrawut, terbang sudah rasa sakit akibat kecelakaan tadi.

“Tadi mbak kecelakaan di gang depan. Bener kata dia kalau lagi berkendara jangan main ponsel ya mbak.”

Timpal wanita dengan khimar menjulur. Irene dapat menerawang jernih wajah oval gadis ayu itu, bola matanya hitam pekat, suaranya lembut tanpa mendayu.

“Apa? Dia katanya? Dia siapa? Kenapa ia tak langsung menyebut saja nama lelaki itu? Hah!” Raut wajah masam Irene terlukis di rupa, ia tahu jika wanita itu tak akan rela memberikan identitas tajuk mahkotanya sendiri kepada hawa lain.

“Ada nomor keluarga mbak yang bisa dihubungi?” Sambung wanita itu yang ditaksir Irene tak ingin memperlama keberadaannya di rumah mereka.

“Oh ini.” Katanya lirih seraya mendial nomor Antonius dengan jari sedikit bergetar.

Irene melekatkan pandangannya pada lajang itu. Ia benar-benar tak menyangka bisa dipertemukan kembali bahkan berbaring di atas kasur tidurnya. Satu hal yang masih membuatnya hambar, nama lelaki itu.

“Sepertinya dia bukan lelaki biasa.” Gumamnya dalam hati seraya menyipitkan kedua mata.

~

***

“Terus cokelat itu buat siapa?” Irene menggembungkan pipinya dengan nafas, memadamkan pandangan Ester yang tengah menatap perban putih yang membalut putaran kepalanya.

“Fatimah.” Katanya hemat jawaban.

“Oh” Irene melemparkan sorot mata, menatap seantero kamarnya yang berdominasi dengan warna hijau. Ia meluruskan kakinya selonjoran, menyandarkan setengah badannya pada kepala kasur. Sudah tiga hari ia mendekam di dalam penjara hijau ini pasca insident beberapa hari lalu, jiwa liarnya menjerit minta dibebaskan.

“Mangkanya lain kali kalau naik motor itu jangan main Hp. Sok punya sembilan nyawa kamu.” Sindir Antonius ketus yang tiba-tiba nongol membobol pintu kamar Irene. Ia membawa nampan kecil berisi jahe hangat dan madu botol.

“Papa?” Irene memutar wajah ke arah sumber suara, ia menyesal mengeloskan pintu biliknya setengah ternganga.

“Papa denger?” Tanyanya seraya menarik nafas berat.

“Irene Natalia yang berharap dapat coklat dari pak Bobby” Antonius menyunggingkan senyum sinis pada Irene, seakan tahu persis isi kepala putrinya itu.

“Loh papa kok tahu? Kamu ya Nyuk?” Matanya mendelik mendengar penuturan Antonius. Ia melirik tajam ke arah Ester yang ditaksirnya sebagai dalang.

“Hehehe.” Gelak Ester cengingisan. Ia tak mengantongi opsi jawaban selain melempar cengir kepada Irene.

“Mulai besok kamu papa antar jemput!” Celetuk Antonius dari ujung ranjang.

“Hah! Ih gamau ah pa, kaya anak SD!” Katanya mentalak perintah papanya.

“Memangnya kamu mau naik motor tanpa ban?” Antonius tersenyum tipis, mengintenskan tatapannya pada Irene dari ekor mata.

“Apa? Ban motor aku co-?”

“Bannya copot hahaha.” Tawa Ester menjadi-jadi, menggenapi rasa geli pada hati Antonius. Sebenarnya matic hitam berliris merah itu sudah diservice di bengkel terdekat, hanya saja Antonius tidak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi pada intan payungnya. Maka dari itu selama satu bulan kedepan, ia akan menjelma menjadi supir pribadi bagi putrinya sendiri.

“Terserah papa deh!” Sungunya sebal lalu menenggak habis air jahe itu dalam satu tarikan nafas.

~

***

“Maaf ya Re tadinya sih kita mau jenguk kamu hari ini, eh malah kamu udah dateng.” Fatimah mendekatkan jaraknya pada Irene, ia menenteng parcel berisi buah dan roti.

Siang ini cukup riweh namun terlampau semarak bagi Irene. Pasalnya pukul 13:00 menjelang pulang sekolah ini ia dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya yang sempat digemparkan oleh insiden yang menimpanya beberapa hari lalu. Ia disuguhi dengan deretan pertanyaan yang membuatnya terselit belit untuk membuka suara. Tapi tak apalah, setidaknya mereka cukup perduli meskipun ia salah satu siswi tanpa nihil kenakalan di sekolah, pikirnya.

“Ah iya ga apa-apa, aku juga udah lumayan sehat.” Jawabnya dengan wajah mendongak menghadap Fatimah.

Kriiing

Bel berdentang pertanda jam sekolah telah usai. Beberapa orang yang mengerumininya tadi mulai berjarak untuk membereskan alat tulis masing-masing.

“Lekas sembuh ya Re.” Kata mereka berbarengan sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Irene di pojok mejanya bersama Ester.

“Ini buat kamu.” Fatimah menyodorkan parsel berdominasi biru itu pada Irene, ia memajang raut sumringai dengan mata separuh menyipit.

“Terimakasih ya.” Balas Irene dengan senyum mengembang.

Kelas kosong, tidak ada aktivitas apapun lagi setelah semua siswa pulang termasuk Ester. Irene yang sempat menolak tawaran dari konconya itu untuk pulang bersama kini memilih duduk pada deretan bangku panjang di depan kelas.

“Lama banget sih papa.” Dengusnya sebal seraya memandang jam berkepala bulat yang memaut pada pergelangan tangannya.

Irene mengedarkan pandangan pada setiap penjuru sekolah, menganalisa bagian mana yang belum pernah ia cacatkan bangunannya. Terakhir kali ia pernah menjebol pintu toilet sebelum akhirnya dihadiahi surat peringatan dari pihak sekolah.

Gedebak gedebuk

Derap langkah dari arah kanan sukses memberantakkan tilikan Irene, pandangannya bersilih melacak sumber suara. Hentakan itu semakin kentara hingga terdengar persis di samping telinga kanannya. Dan...

“Ya Tuhan!” Sontaknya kaget dengan volume satu oktaf. Ia mengerjapkan mata, berharap kalau ini hanyalah delusi.

~

Bersambung

Vote and comment guys

Sehat selalu ya 🤗

Terpopuler

Comments

Nikodemus Yudho Sulistyo

Nikodemus Yudho Sulistyo

lnjut..

2021-04-22

1

Nurliah Kisarani Lia

Nurliah Kisarani Lia

next thor...

2021-03-27

2

Samsung J2prime

Samsung J2prime

Lagi

2021-03-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!