BAB 3

“Ha a-aku gapapa Nyuk.” Lirihnya agak menyuruk, seketika ia siuman dari mabuk cendawannya. Pipinya memerah seperti kepiting rebus, Ia melirik kembali wajah muda itu lewat ekor mata, meyakinkan kalau semuanya sudah baik-baik saja.

Dan

Tap

Pandangan mereka saling bertemu, ternyata lelaki itu turut serta memperhatikan belingsatan Irene. Dengan cepat pria itu menarik parasnya dari mata Irene, menundukkan muka seraya menyematkan telapak tangan di atas dada bidangnya.

Memergoki itu, Irene kontak membenakan tatanan rambutnya yang sama sekali tidak bobrok, ia merasa setengah minder.

“Apa aku jelek di mata dia?” Batinnya dalam kalbu. Kali ini ia benar-benar dibuat kalang kabut oleh adam berpeci hitam itu.

~

***

“Kamu engga pulang Re?” Tanya Lulu, temen sekelas Irene.

“Iya sebentar lagi.” Jawabnya datar.

Siang ini matahari cukup menampakkan dirinya dengan sempurna. Tegak tanpa penyangga, membakar seperti api. Terik matahari itu sukses membuat Irene merasa malas untuk pulang ke rumahnya sendiri. Ia lebih memilih duduk di taman dengan tegukan lemon tea serta kebab sapi yang siap untuk dilahapnya.

“Kalau gitu aku duluan ya.” Tepuk Lulu pada pundaknya seusai mereka finish membereskan tugas.

Irene hanya tersenyum, siang ini dia cukup diberatkan dengan gunungan tugas yang dilayangkan oleh Bu Retno.

“Huh!” Hembusan nafasnya terdengar kasar. Ia memperhatikan gumpalan awan yang bergelantungan di kaki langit-langit alam. Kata orang langit itu adalah simbol kebahagiaan, maka dari itu acapkali ia menyoroti bentangan langit ketika merasa sesak ditimpa oleh rasa kewalahan.

“Assalamu’alaikum.” Suara familiar itu terdengar jernih di telinganya. Dengan cepat ia menoleh ke arah sumber suara untuk memastikan siapa orang yang sudah tercermin dalam benaknya.

Dep

Benar saja. Itu adalah suara lelaki yang kemarin membuat jantungnya serasa ingin copot. Energinya sempurna kembali, persis seperti saat pukul tujuh pagi tadi. Ditatapnya lekat-lekat paras syurga itu, ia tak menyangka bila akan dipertemukan kembali dengannya di pelataran hijau ini.

“A-aku harus jawab apa?” Gemingnya sedikit ketir. Pasalnya salam yang selalu dilafalkannya selama ini berbeda dengan salam yang dilontarkan oleh lelaki itu.

Dihantui perasaan canggung, ia coba menyambut salam lelaki itu dengan senyum termanis yang belum pernah diberikannya kepada siapapun. Perasaannya semakin ketar ketir karena dalam waktu yang bersamaan lajang itu kembali membalas mesam-mesemnya dengan lambaian tangan. Ah! ini benar-benar suatu keajaiban, sambit Irene pada fikirannya sendiri.

“Oh my god Irene.” Ia berdesis geram pada diri sendiri seraya menggigit bibir bagian bawahnya. Jantungnya kembali melompat tak karuan, bahkan lebih membahana ketimbang awal mereka bertemu, pasalnya kini lelaki itu mulai melenggang mendekatinya yang tengah termangu di atas bangku taman.

“Satu dua tiga…” Hitungnya dalam hati, dan

Plak!

Seketika nafasnya tersenggal, degub jantungnya melamban seakan stok oksigen sudah habis, senyumnya luntur, tatapan matanya bergeser pada dedaunan kering yang berceceran di atas tanah.

“Ternyata dia bukan menyapaku.” Lirihnya seraya memicingkan mata dalam. Betapa malunya dia kala itu, wajahnya menebal lebih tebal dari tembok pertahanan China.

“Tapi dia menghampiri siapa?” Herannya mengudara. Ia memutar kepala 180 derajat, membuntuti langkah kaki lelaki itu sampai persis berlabuh di hadapan seorang wanita. Kini keduanya tampak membincangkan sesuatu dengan akrab.

“Apa! Jadi dia udah punya pacar?” Irene terkejut bukan kepalang, ia seakan terperosok ke dalam lembah berduri sampai-sampai minuman yang belum ludes dibabatnya kini tumplak menggenangi sepatunya sendiri.

Wanita itu berpenampilan persis seperti ukhti cantik yang pernah ditemuinya satu minggu lalu. Semua serba menjulur dengan warna senada, bedanya wanita itu mengenakan pakaian berdasar merah muda. Ah! Tidak-tidak, itu memang dia, sorot matanya sangat persis dengan perempuan yang pernah ia kagumi kala itu.

“Hah!” Tangannya mengepal di atas kedua paha serta rahangnya yang mengeras seakan sedang menahan amarah. Moodnya benar-benar ambrol hari ini. Buru-buru ia merapikan perkakas sekolahnya yang masih berserakan di atas bangku, mencebloskannnya kembali ke dalam tas lalu pergi dengan tarikan gas motor di atas rata-rata.

~

***

Seperti biasanya, gelita singkat kali ini Irene tak henti menenggak beberapa gelas alkohol untuk mendinginkan alam sadarnya. Didampingi Ester sandingan akrabnya, ia meresapi bayang kerlap kerlip lampu diskotik.

Beginilah kehidupan malamnya. Ibarat bayi kucing yang kehilangan induk, jiwanya sempurna hancur melakoni hidup tanpa sentuhan tangan dari sepasang insan tercinta. Ia memang masih memiliki Antonius, mobil mewah dan harta yang berlimpah. Namun apalah arti dari seragam pusaka bila rohaninya total beristirahat dari cinta kasih mama.

Irene masih terjaga menyaksikan omnivora yang tubuhnya mulai ambruk diatas meja. Mereka adalah para manusia yang garis hidupnya mutlak seprihatin irene, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda.

“Irene Natalia.” Paras pria yang tidak asing mencongol dari balik keg bir yang tertata di atas meja tinggi. Pria berjambang lebat itu melisankan lengkap nama Irene, seakan sudah kenal dengan gadis berhidung mancung itu.

“Ka-kamu?” Katanya sendat-sendat dengan mata separuh membulat. Ia menyilau intens sepasang iris jejaka yang baru saja menegurnya, seakan tak percaya bila hadirnya akan terasa di bumi ini lagi.

“Bu- bukannya kamu udah-“

“Shhhht.” Potongnya cepat pada perkataan Irene seraya menempelkan jari telunjuknya tepat di depan kedua bibir tipis dara itu.

“Mana mungkin aku bisa meninggalkanmu.” Timpalnya dengan tilikan runcing. “Kamu adalah bagian dari kota Medan yang tak bisa untuk kulupakan.” Ia memampang raut doyan, menyelisik setiap kerjapan manik mata Irene.

Samuel. Pria berjambang rimbun itu adalah seseorang yang pernah ia patahkan hatinya. Keduanya pernah berkasih sebelum akhirnya Irene melakukan tindakan nekat pada lelaki itu. Meskipun jalinan mereka pernah berlayar selama enam semester, tetapi Irene tidak pernah secuil kapaspun untuk bisa menitikkan hati pada sosok Samuel. Ia hanya menunggangi Samuel sebagai tukang antar jemput gratisnya sebelum ia benar-benar bisa untuk mengendarai motor sendiri.

Irene terhenyak, tenggelam dalam rasa ketidaksangkaannya. Darahnya seperti merembas dari pangkal kepala menuju ujung kaki.

“Kamu mau apa?” Nadanya naik satu oktaf dengan bulir keringat pada pelipis kirinya.

“Mau kamu.” Pria itu melenggang kearah kiri seraya mengerlingkan sebelah matanya, melewati Irene yang kukuh hilang akal atas apa yang baru saja terjadi.

Limbung. Tubuh gadis itu tumbang di atas barstool berdasar hitam. Ia menyeka matanya yang mulai menjatuhkan titik air, was-was jika Samuel akan berbuat keji pada dirinya.

“Ada aku Re.” Pautan lengan Ester membungkus sekujur tubuh Irene.

~

***

“Re pergi dulu ya pa.” Irene mencium punggung tangan Antonius hikmat, membenakan rok abu-abunya yang sedikit miring lalu melaju menuju sekolah dengan matic mahkota hatinya.

Pagi ini berbeda. Ia pergi tanpa diiringi oleh sorotan sinar surya dari celah-celah ranting pohon. Mulutnya komat kamit di seturut jalan, persis seperti orang yang tengah memahfuzkan sesuatu.

Mangivera indica : mangga

Cocos nucifera : kelapa

Salaccaedulis : salak

Ma- ma- ma-

“Tuhkan lupa lagi.” Rengeknya pada diri sendiri. Semalaman ini isi kepalanya disesaki oleh bahasa latin dari nama buah-buahan. Tidak ada yang menjadi dorongan hatinya untuk mengingat 30 bahasa latin itu kecuali pak Bobby, guru anom yang menjadi dambaan setiap siswi.

“Bunyuk udah sampe belum ya?” Ia membuang muka dari jalan raya, meraih sesuatu dari dalam saku bajunya. Pagi ini dia memang ada janji dengan Ester untuk belajar bersama, tembakannya hanya satu yaitu agar ia dapat menerima cokelat dari pak Bobby atas kemenangannya menghafal 30 nama buah dari bahasa latin.

Anda

“Nyuk dimana? Aku udah jalan nih.”

Irene mengetik beberapa huruf pada layar ponselnya. Seharusnya dia bisa saja menelpon Ester saat itu juga, namun ia mengurungkan niatnya mengingat jalanan yang sedang gempal oleh pengendara. Percuma, suara Ester tidak akan terdengar, begitu fikirnya.

Kedua matanya kelewat asyik menekuni benda kecil yang tengah tergenggam di tangan kirinya. Ia terlalu antusias untuk pelajaran biologi hari ini. Sesekali ia menarik kedua sudut bibirnya seraya mengerjapkan mata, mengimpi-impikan cokelat manis yang akan diberikan pak Bobby kepada dirinya.

Tiba-tiba laungan empat oktaf memecahkan seluruh pandangan gadis itu. Mendadak tubuhnya terasa mengudara beberapa detik sebelum akhirnya terhempas di dataran yang terasa keras.

Sakit

Sangat sakit

***

Bersambung

Vote and Comment guys

Sehat selalu yaa🤗

Terpopuler

Comments

Abu Alfin

Abu Alfin

Ceritanya serem thor

2021-05-24

0

Bing Sauce🎫🧧🧧🧧

Bing Sauce🎫🧧🧧🧧

Kurang banyakkkk....Semangat

2021-04-16

2

Nurliah Kisarani Lia

Nurliah Kisarani Lia

keren thor...

2021-03-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!