Hari berlalu dengan cepat. Tibalah mereka di hari pernikahan
itu. Pernikahan yang menyatukan hubungan Nathan dan Raniya menuju ke pelaminan.
Hari yang ditunggu-tunggu Nathan dari semenjak ia mengenal Raniya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Raniya Hafsyah Elnara binti
Aziz Khairullah dengan mahar tersebut dibayar tunai.” Nathan menerima ijab dari
Ayah Raniya dengan membalaskan kalimat qabul, dengan satu tarikan napasnya.
Senyuman bahagia tidak hanya merekah dari bibir keduanya,
tapi juga dari semua orang yang hadir menyaksikan sumpah sakral yang mereka
ucapkan di ruangan suci itu. Mereka saling bertukar cincin sebagai bukti ikatan
mereka di mata orang-orang.
Nathan mengulurkan tangan kanannya kepada Raniya yang sudah
sah menjadi istrinya, sedangkan Raniya menyambut tangan Nathan dengan sedikit
canggung. Dia tidak terbiasa melakukan hal itu, meski mereka sudah lama saling
mengenal.
Raniya menyalami dan mengecup punggung tangan Nathan,
sementara Nathan mengecup dahi Raniya dengan lembut.
Pernikahan mereka usai dengan begitu cepat, namun membekas
di hati mereka begitu dalam. Siap menjadi sejarah untuk keduanya kelak.
“Terima kasih, Raniya…” Ucap Nathan sambil memandangi wajah
Raniya yang baru saja halal untuk ia pandangi dengan perasaannya yang teramat
dalam.
“Terima kasih untuk apa, Nath?” Raniya bertanya dengan dahi
mengkerut.
“Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan untuk
merasakan hari bahagia ini, Ran…” Sahut Nathan lirih tanpa berhenti memandangi
wajah cantik istrinya.
“Kamu lupa, hmm? Dia yang sudah memberikannya kepada kita,
Nath…” Ucap Raniya sembari menunjuk ke atas.
“Iya, Ran… Alhamdulillah… Aku janji, aku akan jadikan kamu
yang pertama dan terakhir bagiku sebagai istri.” Ucap Nathan berikrar dan
disambut senyuman oleh Raniya ketika mendengarnya.
“Ran…” Panggil Nathan lagi. Mata mereka memang salin
menatap, namun hati Nathan merasa merindu.
“Hmm?” Sahut Raniya.
“Bolehkah aku memegang tanganmu?” Pinta Nathan berharap.
“Aku sudah menjadi milikmu sekarang, Nath. Sekeras apa aku
menolakmu, kamu tetap punya hak atas diriku. Aku pun juga tidak ingin
menolakmu, karena aku tidak ingin berdosa.” Jawab Raniya seraya mengulurkan
kedua tangannya ke hadapan Nathan. Raniya menoleh sebentar ke tangannya mengisyaratkan
Nathan untuk segera menyambutnya.
Nathan mengangguk senang. Dia segera meraih tangan Raniya
yang sudah menunggu tangannya. “Bolehkah aku mengutarakan banyak permintaan
untuk hari ini?”
“Apa itu?” Tanya Raniya heran. Alisnya tampak mengkerut,
melihat wajah Nathan yang sulit dibacanya saat itu.
“Aku ingin memanggilmu, istriku_Sayang…” Nathan mengangkat
kedua alis matanya terlihat berharap.
“Ummm… Bagaimana ya?” Gumam Raniya pura-pura ragu. “Boleh…
Suamiku_Sayang…” Sahut Raniya sembari menampakkan senyuman ketidakterpaksaannya
untuk mengucapkan panggilan itu.
Nathan terperangah. Dia seakan terbang dan melayang-layang
di udara ketika mendengar panggilan Raniya terhadapnya.
“Memelukmu, boleh?” Pinta Nathan lagi.
Raniya menatap Nathan begitu dalam. Dia sama sekali tidak
menemukan keserakahan dan keburukan di dalam mata Nathan. Dia masih Nathan yang
sama. Baik dan menjaga kehormatannya. Tidak ada bentuk balas dendam yang
tergambar di wajah Nathan karena telah menunggunya dengan begitu lama.
Ada apa dengan Nathan?
Dan kenapa juga dengan diriku? Bukan karena aku telah
menjadi istri sahnya, sehingga aku menurut begitu saja. Aku bahkan merasakan
takut saat ini. Takut dan terus merindukan Nathan yang jelas-jelas ada di
hadapanku.
Apa mungkin seperti ini rasanya menikah?
Raniya terus mencuri tatap hingga jauh. Jika dia bisa, maka
dia akan terus menelusuri ke jurang terdalam di manik mata suaminya itu.
“Nathan…” Panggil Raniya lirih.
“Hmm?”
“Peluk saja aku, jika memang kamu ingin memelukku. Aku ini
istrimu, bukan?” Pinta Raniya menggebu. Dia lebih sulit menahan gejolak yang
dia sendiri tidak tahu apa. Terus mengganggu hatinya, berdegup menyakiti
pikirannya.
Senyuma Nathan membludak. Dia memeluk Raniya begitu erat
tanpa ingin melepaskannya. Dia enggan, bahkan tidak ingin melepaskan tubuh
Raniya yang sudah utuh miliknya seorang.
Tanpa dia duga, ponsel Nathan berdering. Membuat Nathan mau
tidak mau melepaskan Raniya dari pelukannya.
“Hallo… Assalamu’alaikum…” Senyuman Nathan yang awalnya
terlihat permanen, mendadak pudar. Dia tampak terkejut karena panggilan yang diterimanya
saat itu. Matanya membulat, mulutnya ternganga seketika.
“Apa yang terjadi, Nath? Siapa yang menelepon?” Pertanyaan Raniya
membuyarkan keterkejutannya. Raniya ikut cemas menyaksikan perubahan di wajah
suaminya itu.
“Saya akan segera ke rumah sakit…” Ucap Nathan cepat. Meski
dia sudah mendapatkan Raniya seutuhnya, Nathan tetaplah Nathan sebelumnya.
Nyawa pasien lebih utama baginya yang merupakan seorang dokter.
“Ada apa, Sayang?” Tanya Raniya kembali ketika Nathan telah
mengakhiri percakapannya lewat telepon.
Nathan tersenyum. “Terima kasih, istriku. Cemasku sedikit
terobati karena panggilan sayang darimu. Aku harus pergi menyelamatkan seorang
ibu dan calon bayinya, Sayang. Dia adalah perempuan yang pernah aku ceritakan
kepadamu sebelumnya.” Ucap Nathan terdengar berat.
“Haruskah kamu? Tidak kah ada dokter yang lain?” Protes
Raniya terdengar lirih. Suaranya serak menahan perasaan yang dia sendiri ragu
entah apa.
“Maaf, Sayang… Tidak ada dokter yang kosong pada jam ini.
Istri polisi itu sedang kesakitan di sana.” Nathan mengecup punggung tangan
Raniya, mencoba meminta pegertian. “Kamu tahu? Papa bahkan harus ke rumah sakit
sebelum acara kita usai tadinya. Banyak pasien yang menunggu kami seorang
Dokter. Aku tidak bisa mengabaikan dua kewajibanku. Sedangkan dua kewajiban itu
sama-sama ada di depan mataku saat ini. Kamu, istri sah yang baru saja aku
nikahi. Atau malah pasien yang sedang meregang nyawa mempertahankan bayinya?”
Raniya mengangguk pelan sebagai persetujuan darinya. Berat
baginya untuk melakukan itu. Air matanya bagai hujan, menderas membasahi
sebahagian wajahnya.
“Terima kasih, istriku. Jangan menangis…” Nathan mengusap
lembut pipi Raniya yang basah karena air matanya sendiri.
Raniya tersedu. Dia mencoba menahan air matanya. Lagi-lagi
dia hanya bisa mengangguk. Dia tidak boleh juga egois. Bukankah itu yang
diharapkannya dari sosok lelaki yang dia impikan dari dulu?
“Raniya… Izinkan aku mengecup dahimu sekali lagi. Boleh?”
Ucap Nathan meminta.
Raniya memejamkan matanya, pasrah. Tidak peduli sekali, dua
kali, ataupun seratus kali. Dia akan dikecup oleh suaminya sendiri saat itu.
Orang yang selalu mengusahakan kebahagiaan untuk dirinya.
Nathan mengecup dahi Raniya begitu lama. Meluahkan semua
yang dia rasakan, yang tertanam di dalam hatinya dari semenjak lama ia menyukai
Raniyanya.
“Terima kasih, Sayang. Aku pergi ya. Jangan lupa bahagia
dari hari ini, dan jangan menangis lagi.” Ucap Nathan yang membuat hati Raniya
semakin merasa sesak karenanya.
“Hati-hati, Sayang…” Pesan Raniya memaksakan senyumannya.
“Kamu makanlah dahulu. Jangan tunggu aku pulang, aku akan
lama sepertinya.” Balas Nathan.
Nathan pergi tanpa ingin menoleh lagi. Tapi baru saja
beberpa langkah, Raniya berlari mengejar dan memeluk Nathan dari belakang. “Aku
ikhlas jika tujuanmu pergi untuk menunaikan tugasmu seorang dokter, Sayang. Aku
mengagumimu suamiku.” Ucap Raniya seraya melepaskan pelukannya dengan perlahan.
“Assalamu’alaikum…” Ucap Nathan. Dia pergi meninggalkan
Raniya yang masih berbalut gaun pernikahan di tubuhnya.
“Wa’alaikumussalam…” Sahut Raniya memandangi punggung Nathan
yang lama kelamaan menghilang dari penglihatan matanya.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Ning Tyaz Arum
mulai mewek lagi dech😭😭
2021-07-22
1
@azma@
perasaan q dah g enak sih
2021-06-15
0
Ade Riki
cakeppp bngt seh nih kata2.
saluttt dahh ma authorku 😘😘
2021-06-13
0