"Gimana Ilham, Rief?" suara perempuan paruh baya yang biasa dipanggil Bu Fatma, sesaat setelah keluar dari pintu terminal kedatangan bandara. Berjalan menenteng sebuah koper sambil menghubungi asisten anaknya.
Perusahaan peninggalan suaminya yang selama ini ia kelola, ia alihkan pada Ilham, putra keduanya yang saat itu baru pulang dari pendidikan magisternya di luar negeri. Setahun lebih di bawah kendali anaknya tersebut, dengan tetap dalam pantauannya, perusahaan berjalan lancar meskipun tidak ada perkembangan berarti.
Hingga laporan minggu terakhir ini, begitu mengejutkan. Meskipun tetap berjalan dalam kendali Arief, ketidakhadiran Ilham di perusahaan cukup mengguncang perputaran keuangan perusahaan.
Hal tersebut memaksa Bu Fatma meninggalkan Annisa, putri bungsunya yang selama ini ia temani dari masa hamil tua hingga melahirkan. Rencananya Bu Fatma akan menemani secara penuh selama Annisa memberi ASI eksklusif pada anak keduanya.
"Sudah lima hari, Pak Ilham tidak ke kantor Bu. Handphonenya mati dan ketika saya ke rumah, beliau tidak pernah mau menemui saya. Bahkan kata Mbok Sari, Pak Ilham menghabiskan hari-harinya di kamar saja," terdengar suara Arief dari telepon genggam milik Bu Fatma.
"Baik, terima kasih infonya Rief. Biar saya urus anak itu. Saya sudah di bandara sekarang," jawab Bu Fatma. Beliau sekarang sedang duduk di ruang tunggu yang berada di terminal bandara.
"Apa perlu saya jemput Bu Fatma?" tawar Arief, asisten Ilham yang sedang di kantornya saat ini.
"Tidak perlu Rif. Kamu handle saja urusan kantor. Ibu naik taksi saja langsung ke rumah," jawab Bu Fatma.
"Baik Bu. Assalamu´alaikum."
"Wa alaikum salam Rief," Bu Fatma mematikan layar handphone dan memasukkannya ke dalam tas.
Bu Fatma mengurut pelipisnya sambil bergumam dalam hati 'apaaaa maunya anak itu, tidak biasanya dia tidak bertanggungjawab seperti ini'.
Setelah beberapa saat, beliau memutuskan segera pulang dengan menaiki taksi bandara. Namun karena melihat di curb tidak ada taksi bandara yang standby, maka Bu Fatma memesan taksi melalui aplikasi di handphonenya. Tak lama, taksi yang diorder telah datang. Sebuah city car five seat warna silver dengan nomor plat yang sama dengan yang tertera di handphone Bu Fatma.
'Amar Nasiruddin... sepertinya nama yang familier' batin Bu Fatma.
"Dengan Ibu Fatma?" tanya driver taksi dari balik kaca samping yang baru terbuka.
"Ah... iya betul Pak. Tolong diangkatkan koper saya ya," sahut Bu Fatma saat melihat sang driver keluar dari mobil dan berputar membukakan pintu penumpang untuknya.
"Silahkan masuk Bu Fatma."
Kemudian meletakkan koper berukuran sedang ke dalam bagasi.
Amar masuk ke bangku driver dan menutup pintu pelan tapi pasti.
"Ke Telaga Golf ya Bu," Amar memastikan tujuan perjalanan.
"Iya Pak," jawab Bu Fatma.
Bu Fatma memandangi Amar dari tempatnya duduk, sesekali melihat melalui kaca kecil di atas dashboard.
"Maaf... ini Nak Amar kan?" tanya Bu Fatma sambil membuka kacamata hitamnya. Kebetulan waktu itu mobil berhenti karena lampu merah traffic light baru menyala. Amar yang baru saja menginjak rem seketika menoleh ke belakang.
"Masya Allah... Bu Fatma ummahnya Ilham kan? Maaf tadi kurang memperhatikan. Lama tidak berjumpa Bu... Ilham apa kabar?" sahut Ilham dengan antusias.
Ya... Amar mengenal Ilham, bahkan dengan keluarganya. Amar dan Ilham berteman karena satu SMA di angkatan yang sama hanya beda kelas saja. Beberapa kali Amar datang ke rumah Ilham untuk pergi bersama berlatih basket di club basket tempat mereka bergabung.
"Ilham baik, sudah hampir dua tahun kembali ke sini, apa tidak pernah ketemu?"
"Tidak pernah Bu... semenjak kuliah tidak pernah bertemu lagi. Waaah sudah berapa tahun ya... hehe," sedikit terkekeh, Ilham mengusap-usap tengkuknya.
Sedikit obrolan ringan mengisi perjalanan menuju rumah Bu Fatma. Bu Fatma menceritakan tentang kepergian suaminya dan pernikahan Annisa, adiknya Ilham, yang kemudian memberikan dua orang cucu padanya. Sekitar dua puluh menit, mobil yang dikendarai Amar tersebut memasuki kompleks perumahan elite yang mengitari padang golf yang luas.
Tidak banyak unit rumah yang ada dalam perumahan tersebut. Karena sebagian besar kawasan tersebut berupa hamparan lapangan golf sebagai view dari masing-masing unit. Sedangkan masing-masing unit memiliki luasan tanah yang juga sangat luas untuk ukuran sebuah rumah.
"Mampirlah sebentar saja... mumpung ada kesempatan bertemu. Rumah ke empat setelah gerbang ini Mar. Itu...rumah pojok hadap timur itu," ajak Bu Fatma sambil memberi petunjuk rumah yang dituju ketika melewati dan menyapa satpam penjaga kompleks perumahan tersebut.
Kompleks perumahan model cluster yang memakai one gate system sebagai fasilitas keamanannya ini memang menerapkan sistem penjagaan yang ketat. Penghuni perumahan wajib menyapa satpam penjaga dengan membuka jendela mobil, sehingga bisa dipastikan satpam mengenal masing-masing penghuni perumahan tersebut. Sedangkan untuk tamu atau pengunjung lapangan golf wajib mendaftarkan diri ke pos penjagaan tersebut.
"Pagar putih ini?" tanya Amar memastikan.
"Ya... Nak Amar langsung parkir di dalam saja."
Lalu Bu Fatma membuka kaca untuk menyapa Pak Hadi, suami Mbok Sari sekaligus penjaga rumah Ilham yang sedang membuka pintu pagar. Karena sebelumnya Bu Fatma sudah mengirim pesan bahwa beliau sudah dalam perjalanan menuju rumah, jadi Pak Hadi sudah standby di pintu pagar rumah.
"Assalamu´alaikum Hadi."
"Wa alaikum salam. Alhamdulillah Bu Fatma sudah sampai di rumah dengan selamat," balas Pak Hadi.
"Iya... Alhamdulillah akhirnya sampai juga. Tolong kopernya bawa ke kamar," ucap Bu Fatma seraya menutup kaca mobil.
"Baik Bu... " sahut Pak Hadi kemudian menutup pagar dan berlari kecil menghampiri mobil yang baru berhenti.
Setelah mobil parkir di halaman rumah Bu Fatma yang luas, Amar turun dari mobil, membukakan pintu untuk Bu Fatma dan mengambil koper di bagasi.
"Mari masuk Nak Amar, saya panggilkan Ilham dulu," ucap Bu Fatma sambil berjalan mendahului Amar membuka pintu masuk rumah.
"Baik Bu," jawab Amar sambil menyerahkan koper pada Pak Hadi.
Mengikuti Bu Fatma berjalan, Amar masuk ke dalam ruang tamu rumah Ilham. Kemudian Amar duduk di sofa cabriole berwarna dusty grey setelah dipersilahkan duduk oleh Bu Fatma. Amar membenahi posisi bantal kursi agar ia duduk dengan nyaman dan meletakkan tas kecilnya di sampingnya.
Tampak di dinding di hadapan Amar terpampang sebuah pigura besar yang membingkai sebuah foto keluarga. Tampak Pak Haikal almarhum dan Bu Fatma duduk di sofa dan ditengah-tengahnya seorang gadis kecil menampakkan senyum yang ceria. Kemudian di belakangnya tampak berdiri Rahmat dan seorang perempuan memakai busana syar´i lalu Annisa memakai busana syar´i juga dan Ilham yang memakai busana koko sama dengan yang dipakai oleh Rahmat. Sepertinya foto keluarga tersebut diambil ketika lebaran sebelum Annisa menikah.
Dari dalam rumah terdengar lamat-lamat suara Bu Fatma sedang berbincang dengan seorang perempuan yang sepertinya adalah asisten rumah tangga.
"Bentar ya Nak Amar, saya panggil Ilham di atas dulu," suara Bu Fatma terdengar dari dalam. Seketika Amar menoleh ke arah dalam dan melihat Bu Fatma menaiki tangga yang ujung bawahnya terlihat dari ruang tamu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments