HATI SUAMIKU
Selepas sholat isya, Yuana mengajak Nabila, buah hatinya yang berusia dua tahun untuk tidur di kamar. Satu-satunya kamar di rumah kontrakan yang ia tempati bersama Amar, suaminya.
Dari kaca nako kamar yang menghadap ke carport di depan rumah, terdengar sayup-sayup suara lelaki menyenandungkan sebuah lagu diiringi petikan gitar. Rupanya ada seseorang sedang mengamen di tetangga depan rumah.
"~~Kamu yang aku butuhkan
Untuk jadi teman hidupku
~~
Bidadari tak bersayap datang padaku
Dikirim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
~~
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sederhana namun indah kau mencintaiku
~~
Sampai habis umurku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?
~~
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan, kusayang sekali wanita ini
Tuhan, kusayang sekali wanita ini
~~
Sampai habis nyawaku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?~~"
"Suaranya bagus... kenapa tidak rekaman aja," sepertinya bu Martha keluar rumah untuk memberi lembaran rupiah kepada pengamen tersebut.
"Menthit Buk... mboten gaduk," jawaban lelaki tersebut masih sempat terdengar sebelum akhirnya suasana menjadi hening setelah terdengar suara pintu ditutup.
Yuana menepuk-nepuk paha Nabila sambil melantunkan bacaan sholawat untuk mengantarkan putrinya itu memasuki alam mimpi. Namun rupanya suara pengamen tadi mengusik rasa kantuk Nabila, karena ia tiba-tiba teringat pada ayahnya yang sampai saat ini belum pulang dari bekerja.
"Bila ndak mau bobok Bunda... Bila nunggu Buya pulang," rengek Nabila yang kangen dengan ayahnya.
Nabila memang jarang bertemu karena Amar, ayahnya, selalu berangkat pagi dan pulang malam.
Ketika bangun pagi tadi, ia hanya sempat salim dan melambaikan tangan saja mengantar kepergian ayahnya bekerja. Kemarin pun begitu... hanya kemarin lusa saja yang sempat sarapan bareng bersama.
Sedangkan malamnya, selalu saja ayahnya itu belum pulang ketika ia sudah sangat mengantuk.
Sejak Amar memutuskan menjalankan taksi online, jam kerjanya tidak sama dengan ketika ia menghandle pabrik garment peninggalan mertuanya. Jika dulu paling lambat menjelang maghrib sudah di rumah, maka sekarang paling tidak jam sembilan atau sepuluh malam baru pulang. Hal itu ia lakukan demi mengumpulkan tabungan guna menebus kembali rumahnya yang disita oleh bank serta menghidupkan kembali pabrik yang hangus terbakar.
Ya... kebakaran pabrik itu lah penyebab utama terpuruknya perekonomian keluarganya. Selain karena kebakaran yang menghanguskan pabrik peninggalan mertuanya tersebut, keputusan Amar terlibat riba demi menambah modal usaha turut membuat keluarga kecilnya kehilangan segalanya. Termasuk rumah yang mereka tinggali sebelumnya.
Pabrik yang berhenti operasional, menghentikan kemampuan Amar untuk membayar cicilan hutang di bank. Belum lagi tagihan dari supplier bahan baku yang barangnya ikut terbakar di saat belum jatuh tempo pembayaran serta pengembalian down payment dari outlet-outlet rekanan yang barangnya belum sempat terkirim.
"Bunda telepon Buya dulu yaa, biar cepat pulang. Tapi janji... kalau Buya sudah pulang, Nabila harus cepat bobok," akhirnya Yuana menyerah, setelah berulangkali tidak berhasil membujuk Nabila tidur.
"Assalamu´alaikum Mas... bisa pulang awal kah? Nabila kangen... ndak mau tidur kalau belum ketemu Mas," ujar Yuana begitu telepon tersambung.
"Alaikumussalam... Iya Dik... ini juga lagi otw pulang, uda hampir perempatan ini," jawab Amar.
Tak berapa lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Lalu terdengar pintu mobil ditutup dan suara alarm diaktifkan.
deb... tit... tit...
"Holeee... holee... Buya pulang... Bunda... Buya pulaaang...." sorak Nabila senang menyambut kedatangan orang yang dirindukannya.
"Assalamu´alaikum Bila sayang," sapa Amar ketika membuka pintu dan menemukan Nabila bersorak-sorak. Sedikit melompat-lompat membuat curly pada ujung rambut Nabila bergoyang-goyang.
"Atum salam Buyaaa," jawab Nabila.
"Bentar yaa sayang... Buya mandi dulu, baru nanti Bila gendong Buya. Oke?" ujar Amar sembari meletakkan kunci mobil dan handphone pada rak dinding dan menggantung tas selempang di paku yang tertancap di sebelah rak.
"Ote Buya. Buya mandi dulu bial ndak ada tuman ya?"
"Pinternya anak Buya. Iya... Buya mandi biar ndak ada kuman, biar bersih, biar sehat, biar ndak sakit. Emang Bila tadi uda mandi?" jawab Amar yang berganti bertanya pada bidadari kecilnya itu.
"Uda dong Buya," jawab Nabila sambil menghampiri bundanya.
"Masak apa Dik? Laper... ," tanya Amar pada Yuana.
"Masak sup ceker Mas," jawab Yuana dengan sedikit menyengir.
"Mas mandi dulu... tolong dipanasi ya."
"Okey... siap ndan!" Yuana memberi sikap hormat layaknya pada seorang komandan upacara, tapi sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Amar tergelak melihatnya.
Kelopak mata Nabila yang tadinya sedikit memerah di tepiannya karena sudah mengantuk, kini bulat sempurna demi merasakan antusias bermain bersama ayahnya.
Sebuah busy book menemani kebersamaan dua orang beda gender dan beda usia, yang jika mereka bermain bersama maka seolah tak ada orang lain di sekitarnya.
"Melah... Buya... butan tuning... itu melah," seru Nabila saat Amar dengan sengaja menempelkan pompom benang berwarna merah ke hook velcro berbentuk persegi berwarna kuning yang tertempel pada salah satu halaman busy book itu. Di situ terdapat lima buah persegi dengan lima warna yang berbeda sesuai dengan warna pompom yang menyertai.
"Waaah makin pinter princessnya buya ini... pasti diajarin sama bunda yang cantik itu kan?" puji Amar pada buah hatinya sambil mengerling ke arah Yuana yang sedang duduk tak jauh dari mereka berdua.
Yuana yang sedang mencoret-coret sebuah notes hanya tersenyum menanggapi kode dari suaminya itu. Demi memberi quality time untuk suami dan putrinya itu, ia mencoba mengisi waktu dengan membuat sketsa rancangan desain tas tangan.
Jika ia merasa puas dengan desain yang ia buat, maka ia akan mengirimkannya pada seorang pemilik sebuah butik tas di Singapura dengan royalti yang sepadan tentunya.
Setelah makan malam dan puas bermain dengan Nabila serta bercengkerama dengan Yuana di ruang depan, Amar mengajak anak dan istrinya tersebut ke kamar untuk menidurkan Nabila.
Seperti biasa, Nabila memilih tidur di dekat dinding, karena dihiasi stiker dinding favoritnya juga berderet aneka boneka tangan yang biasa digunakan Yuana untuk mendongeng. Jadi Yuana berada di tengah-tengah sedangkan Amar tidur di tepi, walaupun lebih sering tidur beralas hambal yang terbuat dari kain tebal yang digelar di atas karpet di ruang depan.
Setelah membaca doa sebelum tidur, Yuana membaca sholawat sambil menggaruk-garuk pungung Nabila sampai Nabila memejamkan mata. Jika Yuana menghentikan garukannya, maka Nabila yang belum tertidur sepenuhnya pasti akan bergumam, "galuuk..."
"Maafkan mas Dik..." bisik lirih Amar sambil memeluk pinggang Yuana dari belakang.
Yuana yang sedang melembutkan garukan pada punggung Nabila agar tidur nyenyak, menghela napas panjang, hingga dirasa Nabila telah terlelap.
"Harus berapa kali meminta maaf, Mas" sahut Yuana setengah berbisik sambil membalik posisi badannya.
Kali ini ia berbaring menghadap suaminya, tetap dalam pelukan Amar di pinggangnya. Tangan kanannya ia letakkan di dada Amar, sedang tangan kirinya mengelus pipi kanan Amar.
"Sudah kukatakan, aku ikhlas Mas. Berbaiksangkalah kepada Allah. Mungkin itu memang bukan rezeki kita. Kebakaran itu memudahkan kita melepasnya."
Melihat senyum dan tatapan mata Yuana, membuat Amar semakin merasa bersalah pada istri tercintanya.
"Tapi... pabrik itu... satu-satunya peninggalan orangtuamu Dik. Sungguh... aku... tak tahu diri, tidak bisa menjaganya dengan baik," lirih Amar menahan sesak di dadanya.
"Kita bisa selamat dari kebakaran itu, kita harus bersyukur Mas, itu yang penting. Sementara kita jalani dulu apa yang bisa kita jalani. Masih diberi kesempatan menemanimu dan merawat Nabila sudah nikmat yang luar biasa buatku, Mas," ucap Yuana pelan dengan tatapan dalam pada manik hitam mata suaminya.
"Aku menyayangimu Dik, lebih dari apapun di dunia ini. Kamulah satu-satunya nafasku. Mas janji, Mas akan berusaha keras mengembalikan milikmu Dik."
Demi apapun, Amar berjanji dalam hatinya, untuk selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan pada istri dan anaknya. Ia akan berjuang untuk bisa mendapatkan rumahnya kembali dan menghidupkan pabrik yang selama ini dipercayakan kepadanya.
Tak selamanya angin topan bertiup, tak selamanya badai menerjang. Akan ada saatnya topan berganti angin sepoi-sepoi, akan ada saatnya badai berganti pelangi. Itu yang harus kita yakini agar bisa tetap berdiri tegak, apapun ujian yang kita hadapi.
Beruntung mereka bisa menemukan rumah sewa yang asri dengan biaya terjangkau. Rumah kecil dengan satu kamar berukuran sedang, dapur mungil yang menyatu dengan ruang tengah, satu kamar mandi di belakang persis ruang tamu, teras jemuran di belakang rumah, taman kecil di depan bersebelahan dengan carport yang berpagar kokoh.
Walaupun jauh lebih kecil dari rumah mereka yang disita bank, bahkan tak jauh lebih besar dari kamar mereka dulu, tetapi cukup nyaman untuk dihuni keluarga kecil seperti mereka.
Beruntung juga mereka masih memiliki satu unit city car yang bisa digunakan untuk menyambung hidup. Satu-satunya mobil yang tersisa, yang tidak ikut terjual untuk menutup kerugian, mobil yang merupakan hadiah pernikahan dari ayahnya Yuana.
Ya... Amar menjadikan mobilnya sebagai taksi online berbasis aplikasi. Ia bertekad mengumpulkan modal untuk memulai usaha yang baru, tanpa harus terlibat riba lagi.
"Bersabarlah sayangku, aku sungguh menyayangimu. Percayalah, jiwa ragaku hanya untukmu. Hatiku milikmu selamanya. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu." Sambil mencium ubun-ubun Yuana, Amar menelusupkan tangannya ke punggung istrinya itu dan mengelus-elusnya dengan lembut.
"Terima kasih Mas, sudah mencintaiku sebegitu dalam. Semoga Allah memberkahi keluarga kita ya Mas." Kemudian Yuana mendongakkan kepalanya, mencium lembut dagu suaminya.
Dengan sedikit menunduk, Amar membalas ciuman itu dengan hangat.
"Kita pindah ke depan ya, biar Bila tidak terganggu."
Kemudian keduanya bangkit. Yuana mengambil selimut dan bantal panjang dan meletakkan di atas hambal kain tebal yang baru digelar Amar.
Berbaring berdua di atas hambal dan menutupi badan dengan satu selimut. Saling mendekatkan diri dalam pelukan hangat. Menyatukan rasa dan desahan dalam aktifitas jiwa dan raga yang mampu menumbuhkan bunga-bunga dalam hati keduanya.
Setelah saling menunjukkan besarnya rasa cinta dan kasih sayang dengan penyatuan raga yang hangat dan lepas, mereka memutuskan tetap tidur di atas hambal tersebut, saling memeluk dalam satu selimut.
Dikecupnya kening Yuana dengan dalam, lalu dipandangi wajah teduh nan ayu yang ternyata sudah tertidur. Amar menelentangkan diri sambil membiarkan istrinya tidur dalam pelukan.
Bayang-bayang kebakaran pabrik dan pengusiran kolektor eksternal sebuah bank, tempat Amar menggadaikan sertifikat rumahnya, pada keluarganya mengusik pikirannya. Mungkin menjelang fajar, baru ia bisa memejamkan mata.
\=\=\=
menthit \= terlalu tinggi
mboten gaduk \= tidak terjangkau
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Senajudifa
salam kenal...jika berkenan mari mampir kenovelku yg berjudul kutukan cinta
2022-05-03
0
Fufa Reys
revisi... done
mohon krisannya 😊
2021-04-13
0
🇮🇩كون كوني🇮🇩
Andaikata Amar tidak ada istri sebaik itu, dia pasti lemah...
2021-03-19
1