Kenapa bayang-bayang wajahnya menari-nari dipelupuk mataku. Sudah sejak lama aku tak seperti ini, terakhir kali aku mengalami ini, ketika aku sedang jatuh cinta dengan Aqila. ~Reynaldi Johan Pratama~
****
"Bagaimana ini, Tuan?" tanya Bima setelah melihat mobil gadis tadi meninggalkan mereka.
"Sekarang, antar aku ke kantor!" perintah Rey. "Lalu nanti kamu hubungi bengkel langganan kita," sambungnya.
Bima mengangguk, keduanya segera memasuki mobil dan pergi dari tempat kejadian tak terduganya tadi.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, pikiran Rey dipenuhi oleh wajah gadis yang menurutnya menyebalkan itu. Gadis aneh yang menurutnya begitu berbeda.
Wajah putih mulus dengan rona kemerahan di pipinya, membuat seorang Rey sedikit terpesona tadi. Belum ada getaran di hati. Namun sedikit membuat perhatian Rey teralihkan.
Bola mata coklat biru keabuan itu begitu indah. Bulu mata lentik dengan hidung mancung, membuat wajah gadis itu semakin terlihat sempurna.
"Ya Tuhan, apa yang sedang kupikirkan" gumam Rey sambil memijat pelipisnya.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Bima mulai memasuki area halaman Perusahaan Pratama.
Satpam kantor yang melihat mobil bosnya, dengan sigap segera mengambil tempat untuk menerima kunci dari sekretaris yang tak kalah tampan.
Bima dengan tegas berjalan mengitari mobil, dan membukakan pintu untuk Bosnya, Rey.
"Silahkan, Tuan!"
Bima sedikit membungkukkan badannya, diikuti dengan satpam yang berdiri di dekat Bima.
Rey keluar dari mobil, dan segera melangkahkan kakinya masuk kedalam perusahaan.
Ketika kakinya pertama kali menginjakkan dilantai perusahaannya. Getaran dihatinya kembali bermunculan.
Perasaan sakit, rindu dan amarah kembali memuncak. Ini baru sampai dilobby belum ke ruangannya. Namun, Rey tetap berusaha mengontrol gejolak dihatinya. Lelaki itu berhenti sejenak sambil menarik nafas dalam, lalu segera melanjutkan langkahnya lagi.
****
Sejak Rey memasuki pintu masuk, banyak karyawan wanita yang langsung terpesona akan ketampanan bosnya itu.
Penampilan rapi dan bau maskulin tercium di indra penciuman para karyawan wanita. Bahkan banyak yang saling menyenggol hingga matanya tak lepas memperhatikan bosnya sampai masuk ke dalam lift.
"Gila bener, makin hari, Pak Rey makin ganteng yah," ucap gadis memakai kemeja putih.
"Iyah, padahal udah duda. Tapi ulalala sekali gantengnya," sahut temannya berambut keriting.
"Ingin rasanya aku merangkak naik ke ranjangnya," ujar gadis berlipstik merah.
"Bukan cuma kamu doang," gerutu gadis berkemeja putih.
"Ehem." Deheman seseorang menyadarkan mereka.
Ketiga gadis yang asyik bergosip ria itu langsung menunduk takut. Sejak kapan Tuan Daniel bagian HRD berada didepan mereka.
Ketiganya menelan salivanya secara susah. Merasakan aura mencekam dan dingin dari atasannya itu sudah membuat bulu kuduk ketiganya merinding.
"Jika kalian sudah lelah bekerja, bisa angkat kaki dari sini!" seru Daniel tegas.
"Oh jangan Tuan, jangan." Mohon gadis berlipstik merah.
"Tolong maafkan kami, Tuan. Kami tak akan mengulanginya lagi," sahut gadis berambut keriting.
"Kembali ke kubikel kalian masing-masing, sekarang!"
Seketika, ketiga gadis itu meninggalkan tempat mereka bergosip dan menuju meja kerja mereka masing-masing.
Ketakutan akan dikeluarkannya mereka dari sini begitu terasa menyeramkan. Karena, siapapun yang dikeluarkan secara tidak hormat dari Perusahaan Pratama, maka jangan harap, bisa melamar pekerjaan dimanapun. Karena so pasti, akan ditolak mentah-mentah.
****
Pintu lift perlahan terbuka.
Rey segera melangkahkan kakinya keluar dari ruang besi itu, dan menuju satu-satunya pintu di lantai itu.
Pintu coklat dengan ukiran indah itu masih sama. Bahkan tatanan meja sekretaris di depannya pun masih sama. Rey segera memperlambat langkahnya ketika jarak dirinya dan ruangannya sudah dekat.
Debaran jantung semakin menjadi, ketika langkahnya kian mendekat. Tangannya tiba-tiba dingin, bahkan bulir-bulir keringat sudah bermunculan di dahinya.
Bima yang berjalan dibelakang Rey pun memperhatikan perubahan sikap bosnya. Dirinya mencoba berjalan mendekat, dan melihat apa yang terjadi kepada bosnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya Bima khawatir.
Rey tersentak, sepertinya lelaki itu sedang melamun.
"Oh tidak ada, Bim." Rey menggeleng.
Menguatkan hati dan pikirannya, Rey mulai berjalan kembali dengan tegas. Menarik nafas perlahan dan dihembuskannya. Ditariknya pintu kayu itu dan didorongnya perlahan.
Seketika, pertama kali yang masuk kedalam dirinya adalah bau ruangan itu. Bau khas yang masih sama seperti dulu. Mungkin Bima tak mengganti wangi ini, karena memang ini salah satu bau kesukaan Rey.
Melangkahkan kakinya kembali, dia mulai masuk ke dalam ruangan lamanya. Semua tampak berbeda, dari penempatan barang, furniture yang dipakai, semuanya berubah drastis. Hanya dua benda yang masih ada disana. Lemari kaca berisi foto kenangan dan lemari rak buku yang Rey tolak untuk menggantinya.
Kakinya melangkah kembali ke satu titik yang sangat ingin dia lihat. Menelan ludahnya kasar, dia mencoba bersikap tegar. Namun sayang, bukannya rasa kuat, melainkan dadanya semakin sesak. Semakin dekat semakin sakit. Hingga akhirnya, ujung sepatunya berhenti tepat didepan lemari kaca.
Tangan kanannya dia tempelkan ke lemari kaca. Matanya menelisik isi tiap pigura yang ada disana. Masih sama, foto mamanya, foto dirinya dan sahabatnya. Foto almarhum istrinya dan satu lagi, foto seorang gadis yang dia cintai.
Dia tersenyum miris, kenapa saat mereka semua yang meninggalkannya sudah bahagia. Namun dirinya sendiri masih terperangkap. Seharusnya dirinya sudah bahagia saat ini, tapi sayang, hatinya sungguh belum siap membuka untuk jalan dan hubungan yang baru.
"Tuan!" panggil Bima sopan.
"Hm."
"Apa Tuan ingin memindahkan lemari itu?" tanya Biam takut-takut.
Dia takut jika pertanyaannya ini lancang. Namun Bima juga tak ingin bosnya itu kembali bersedih. Rey berbalik dan menggeleng pelan.
"Tidak usah. Biarkan saja lemari ini disini."
Setelah mengatakan itu, Rey berjalan menuju kursi kebesarannya. Dia langsung berkutat dengan berkas-berkas pekerjaan yang sudah menunggunya sejak tadi.
****
Dengan nafas terengah-engah, seorang gadia akhirnya telah sampai di depan ruangannya. Dirinya sudah takut ketika melihat didepan pintu ruang kerjanya, Direktur Keuangan Lama ternyata ada disana.
Jessica dengan pelan dan kepala menunduk segera mendekati wanita berkemeja putih dan berjas hitam.
"Maafin saya Bu Lidya, saya telat," ucap Jessi pelan.
Sumpah demi apapun dia ketakutan saat ini. Takut dirinya akan ditendang, atau takut dirinya lamgsung dipecat. Sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tak menetes.
"Ayo masuk!" ucap Wanita bername tag Lidya itu.
Jessica menurut, gadis itu mengikuti Direktur Keuangan yang lama itu. Bu Lidya duduk dikursi yang nanti akan diduduki oleh Jessica, dan gadis itu berdiri didepan meja kerjanya.
"Lain kali tolong jangan telat lagi yah!" peringat Bu Lidya.
"Baik, Bu," sahut Jessica
"Ayo duduk!"
Jessica mulai menarik kursi didepannya dan duduk dengan tenang. Bu Lidya mulai menerangkan satu persatu pekerjaannya. Dengan tenang dan kepintarannya, Jessica cepat tanggap dan mengerti dengan semua yang diperintah dan dijelaskan oleh Bu Lidya.
Hingga ketika Bu Lidya akan mengantarkan berkas map, entah kenapa tiba-tiba saja, perutnya melilit sakit.
"Ada apa, Bu?" tanya Jessica saat melihat seniornya itu merintih sambil memegangi perutnya.
"Perut saya sakit, bisa saya meminta tolong?"
"Bisa, Bu," sahut Jessica cepat.
Bu Lidya menyodorkan berkas bermap merah ke tangan Jessica.
"Tolong antar ini keruangan CEO yah, sekarang!"
~Bersambung~
Jangan Lupa Like, Komen dan Vote yah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
HARTIN MARLIN
wah akan ke temu lagi tu sama orang mobil nya kena tabrak
2023-10-05
0
re
Ketemu lg ntar
2021-10-26
0
Surtinah Tina
apa yg terjadi ya.? Jesika siapa ya? masih penasaran....🥰🥰🥰🥰
2021-06-05
0